Telusur Sejarah

Mengenang Kembali Revolusi Kain Timor di Ayamaru Papua Barat

Oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan (Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-agama se-Indonesia [FORMASAA-I] Manokwari, Papua Barat)


“Saya sering bertukar pikiran dengan Kawandake yang cerdas dan berani itu. Farok (guci saguer) yang indah hadiah dari dia ketika saya pergi, masih selalu di tempat terhormat di dalam almari buku saya. Kawandake serta-merta setuju dengan penghapusan kain Timor. Ketika bobot-bobot lain yang berpengaruh juga setuju, kelihatannya kebijakan sudah dapat diambil keputusan dengan suara bulat”.

Kiprah Jan Massink dalam Menghapus Tradisi Kain Timor dan Perubahan Besar yang Terjadi di Ayamaru Hampir 70 Tahun Lalu (1954-2022)

Pengantar (Prolog)

Rumah kayu itu terletak di bagian barat Danau Ayamaru. Orang-orang menyebutnya sebagai kawasan Mefkajim. Lokasinya berada di Kelurahan Ayamaru, Distrik Ayamaru, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat. Tampak dua orang berada di ruang tamu rumah itu. Seorang adalah tuan rumah, seorang lagi merupakan tamu. Keduanya tampak sedang serius berbincang. Itu adalah pertemuan ketiga mereka berdua, sejak tiga hari sebelumnya, Jumat (10/6) sore di Markas Koramil 1809-01 Ayamaru.

Tuan rumah itu tidak lain adalah Simson Sonny Bless, tokoh adat Ayamaru. Sedangkan seorang lagi adalah tamunya, yang datang jauh-jauh dari Manokwari untuk menelusuri sesuatu jejak sosok disana. Tamunya tidak lain adalah penulis sendiri, yang telah dikenal sebagai penelisik Sejarah, Antropolgi, Etnografi dan Manuskrip Kuno di Maluku, Papua dan Papua Barat.

Baca Juga: Telusuri Bangunan Pillbox di Manokwari, Jejak “Threatre of Pacific” di Bumi Kasuari

Simson Sonny Bless merupakan tokoh masyarakat dan adat yang sangat terpandang di Ayamaru. Kapan pun ada pejabat datang ke Ayamaru, maka Sonny –demikian panggilan akrabnya—akan dihadirkan dan tanpa diminta mulai menceritakan jejak legenda yang ada di Ayamaru.

Tak pelak lagi, legenda Bung Karno pun disampaikannya. Menurutnya, legenda itu dia peroleh dari orang tua-tua disana. Saat Panglima Daerah (Pangdam) XVIII/Kasuari Papua Barat Mayor Jenderal Gabriel Lema, S.Sos. berkunjung ke Ayamaru, kisah itu pula yang disampaikan.

Karena legenda itu pula, akhirnya penulis diminta untuk menelusurinya ke Ayamaru. “Segala akomodasi selama disana akan ditanggung oleh kami dan KODIM 1809 Maybrat,” kata Wakabintal KODAM XVIII/Kasuari, Letkol. Mustagfirin, S.Ag., M.Sc. melalui telpon. Alhasil, Jumat pagi, penulis pun telah terbang ke Kota Sorong untk selanjutnya menuju ke Distrik Ayamaru, Kabupaten Maybrat melalui perjalanan darat.

Setelah agenda penelusuran jejak legenda Bung Karno di Ayamaru dan sekitarnya dilakukan, pada hari ketiga, penulis pun kembali mengunjungi rumah tokoh adat Ayamaru itu. Setelah perbincangan selama hampir 30 menit lamanya, penulis pun kemudian menghadiahkan selempang (stola) kain Timor berwarna merah marun dengan motif hias flora di sepanjang sisinya. Kain itu penulis dapatkan saat ditugaskan di Ambon, Maluku. Kain itu dibuat oleh orang-orang NTT yang kini tinggal di Desa Laha, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon.

Baca Juga: Kunjungi Lokus Perang Wamsisil di Saparua, Menguak Sosok Misterius Pattimura

Mendadak, raut muka Simson Sonny Bless tampak berbinar. Matanya terlihat bersinar. Senyuman sumringah pun muncul di bibirnya saat penulis mengalungkan kain Timor itu di lehernya.

“Saya memang ingin menghidupkan kembali tradisi kain Timor ini,” katanya seolah bergumam. “Sudah lama tradisi itu musnah. Begitu juga tradisi pengangkatan raja dan kapitang.” Sudah dua kali penulis mendengar kata-kata ini. Kali pertama, saat bertemu dengan mantan anggota DPRD Maybrat dan Kepala Distrik itu di Kantor Danramil 1809-01 Ayamaru, Jumat (10/6) sore itu.

Sebegitu pentingnyakah kain Timor bagi masyarakat Ayamaru dan umumnya Maybrat pada masa itu? Tidak tanggung-tanggung, Jan Massink, Prof. H.G. Barnett dan F.J.M. Cappeti selalu menyinggung masalah kain Timor ini dalam tulisan-tulisannya.

Jan Massink yang merupakan seorang kontrolir Belanda dan kemudian menjadi Kepala Pemerintahan Lokal di Ayamaru alias Hoofd van Plaatselijk Bestuur (HPB) pada tahun 1954 itu sangat mahir dalam membahas revolusi kain Timor. Ini wajar, sebab Jan Massink adalah pelaku sejarah saat itu.

Baca Juga: Napak Tilas Sejarah Leluhur, Genosida Wandan yang Nyaris Terkubur

Begitu juga nama berikutnya: Drs. F.J.M. Cappeti. Tetapi, hal ini juga tidak mengherankan karena Frans Cappeti memang pernah menjadi HPB Onderafdeling Ayamaru dan berkantor di Teminabuan. Keduanya bisa dibilang Camat yang belajar Antropologi atau Antropolog yang Camat. Sebab, dalam melaksanakan tugas-tugasnya, selalu berlandaskan pada keilmuan, terutama Indologi dan Antropologi. Ini terbukti, saat memegang jabatan sebagai kontrolir di Ayamaru, mereka berdua menggunakan kemampuan itu dalam menyelesaikan setiap permasalahan.

Kiprah Camat yang Pakar Antropologi

Drs. Jan Massink mengambil kuliah Indologi di Universitas Utrecht selama lima tahun (1945-1950). Lelaki kelahiran Madiun (1926) ini memulai karirnya sebagai amtenar BB di Dutch Nieuw Guinea dari tahun 1951-1962. Ia berturut-turut berkantor di Hollandia (Jayapura), Merauke, Tanah Merah (dan Mindiptana), Teminabuan, Wisselmeren dan Merauke. Di tempat yang terakhir itu, ia juga menjadi Ketua Dewan Daerah (Streekraad).

Sesudah selama beberapa saat di Direktorat Kerjasama Pembangunan pada Departemen Luar Negeri, ia bekerja di Universitas Amsterdam di bidang bimbingan dan penyuluhan, dan kemudian di Technische Universiteit Delft (1963-1982). Sejak 1986 ia menulis buku-buku wisata, antara lain mengenai Swedia, Irlandia dan Australia.

Jan Massink meneruskan tugas pendahulunya Win van der Veen, sebagai kontrolir di Onderafdeling Ayamaru, Juni 1953. Bila sebelumnya selama 20 bulan Jan Massink masih menjadi adspirant-controleur yang diperbantukan di Direktorat Departemen Dalam Negeri, kemudian menjadi Residen Zuid Nieuw Guinea di Merauke dan Kepala Pemerintahan Lokal (Hoofd van Plaatselijk Bestuur) Boven Digul di Tanah Merah, maka kini ia menjadi seorang pemimpin dengan wilayah kerja sendiri yang mandiri.

Baca Juga: Pencipta Pataka Kodam XVI/Pattimura itu Kini Telah Tiada

Mengenai Ayamaru, Jan Massink menggambarkan dengan kata-katanya sendiri sebagai berikut: “Ayamaru adalah onderafdeling yang menarik, terutama karena keragaman alam dan penduduknya. Secara garis besar, kawasan ini terdiri atas dua bagian. Pertama, daerah pantai yang datar dengan sungai-sungai lebar, pohon sagu, dan penduduk yang sudah lama berada di bawah pemerintahan, telah menjadi Kristen dan berpusat di desa-desa yang besar. Kedua, daerah pegunungan dengan segala fenomena daerah karst: sungai yang deras, sering di bawah tanah, gua-gua, danau dengan air yang kebiruan dan genangan air.”

Pos Ayamaru didirikan pada 1950 oleh Kontrolir Piet Merkelijn. Setelah Onderafdeling Bintuni dipisah (yang terlaksana pada 1952), maka letak ibukotanya yang lama, Inanwatan, tidak berada di tengah-tengah lagi. Selain itu konsentrasi penduduk yang terbesar terdapat di sekitar danau-danau Ayamaru (Ajamaroe meren).

Hal ini menyebabkan ibukota Onderafdeling Ayamaru kemudian dipindahkan ke Kampung Teminabuan (1954). Sedangkan untuk di Ayamaru sendiri direncanakan akan ditempatkan seorang adspirant-controleur. Hal itu baru terlaksana saat Jan Massink digantikan oleh Jan Dubois pada September 1955, hampir bersamaan dengan tibanya Max Lapre, adspirant-controleur di Ayamaru.

Menurut Jan Massink, saat dirinya dimutasi dari Ayamaru ke Teminabuan, Mei 1955, diperlukan setidaknya 16 kuli angkut peti uang. Perjalanan itu melewati Kampung Sauf, Kamak, Wehali dan Skendi. Saking hafalnya jalanan setapak antara Ayamaru ke Teminabuan atau sebaliknya, Jan Massink menghitung ada sebanyak 38 kali melakukan perjalanan kaki dengan waktu tempuh selama satu atau dua hari lamanya. Dalam kata-katanya sendiri, Jan Massink “melewati jalan setapak sepanjang 35 kilometer, melintasi perbukitan dan melewati lembah-lembah yang sesudah hujan lebat kadang-kadang banjir hingga sebatas leher”.

Baca Juga: Batik Motif Mega Mendung dan Wadasan: Serupa Tapi tak Sama

Jan Massink dan Revolusi Kain Timor di Ayamaru

Hingga tahun 1950, masalah kain Timor di Ayamaru masih belum banyak diketahui. Tetapi sejak itu, tak terhitung banyaknya publikasi yang diterbitkan. Bahkan, ada tiga disertasi yang sebagian membahas mengenai masalah ini: J.M. Schoorl (1979), J. Miedema (1984) dan P.H.W. Haenen (1991). Ketiga disertasi tersebut menjadi petunjuk awal yang komprehensif mengenai fenomena yang khas di seluruh Kepala Burung (Vogelkop) khususnya di Danau Ayamaru.

Kain Timor –terutama dari Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku—melalui jalur perdagangan dari Jawa ke Dutch Nieuw Guinea sudah sejak lima ratus tahun yang lalu terlihat di pantai selatan Kepala Burung (Vogelkop), yang ditukarkan dengan budak belian, burung cenderawasih, hasil hutan dan lainnya.

Menurut Jan Massink, dengan mengutip Schoorl, bahwa kain Timor sudah dibawa oleh raja Ternate dan Tidore “dari pangkalan mereka di pantai selatan berdagang dengan penduduk pedalaman”. Hal ini terjadi sejak paruh kedua abad XVII, dimana Tidore sudah melakukan perdagangan di pantai utara Papua dan di pantai selatan dari Ternate, Seram, Keffing dan Gorom.

Menurut Jan Massink, ada dua jenis kain Timor: yang sakral dan yang profan. Dalam bahasa Dr. Haenen, disebut dengan bahasa yang puitis, erfdoeken (kain pusaka) dan zwerfdoeken (kain jalan). Kain pusaka (bahasa Maybrat: wan) memiliki fungsi magis-religius.

ezgif.com gif maker 64 scaled

Baca Juga: Batik: Warisan Budaya yang Stylish

Kain ini biasanya dimiliki turun-temurun (dari ayah sebagai anak laki-laki tertua turun kepada anak laki-lakinya yang tertua) dan dimanfaatkan untuk menjalin kontak dengan leluhur. Biasanya terlaksana di rumah tengkorak saat berjangkitnya suatu penyakit tertentu.

Kain pusaka juga dapat berfungsi sebagai jaminan atas kasus pembunuhan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Pihak keluarga korban mengambil kain pusaka itu dengan harapan, bahwa keluarga pelaku dapat segera membayar ganti rugi.

Selain itu, kain pusaka juga dianggap memiliki kekuatan supranatural, terutama dalam hubungan suami istri. Kain Timor ini melambangkan juga kekuatan vitalitas laki-laki untuk mendapatkan jodoh, juga bagi seorang perempuan agar dapat mengimbangi pasangannya.

Karena faktor-faktor tertentu, akhirnya tradisi kain Timor di Ayamaru kemudian ditiadakan. Hal ini setelah pihak yang dianggap memiliki pengaruh disana, yaitu “Bobot” atau “Popot” menyetujui penghapusan tradisi ini.

Sebagai kontrolir Ayamaru, Jan Massink saat itu mengunjungi Kampung Kofait –berjarak beberapa jam dari Ayamaru—dan disana muncul celetukan bahwa banyak percekcokan antar masyarakat diakibatkan oleh kain Timor. Saat itu, Jan Massink nyeletuk, “Kenapa tidak kalian hapus saja kain Timor itu?”

Baca Juga: Sumba, Kuda, dan Warisan Marapu

Ziarah ke Makam Raja Bobot Hwaintake Abraham Kambuaya

Dalam kunjungan ke Ayamaru, penulis juga berkesempatan mengunjungi Tugu Pendaratan Injil pertama di Ayamaru. Lokasinya hanya beberapa menit saja dari Kampung Mefkajim, yaitu di Kambuaya. Selain patung Yesus, juga ada enam patung lainnya, yaitu patung Pdt. Ruben Rumbiak dan kelima warga Ayamaru yang pertama dibaptis menjadi Kristen.

Di sebelah Tugu Pendaratan Injil itu terdapat makam Raja Bobot Hwaintake Abraham Kambuaya (1920 – 5 Mei 1998). Menurut penulis, inilah Bobot berpengaruh yang namanya pernah disebut oleh Jan Massink dalam Revolusi Kain Timor 1954 itu.

Jan Massink menyebutkan nama Kawandake, sebagai Bobot berpengaruh yang menyetujui penghapusan tradisi kain Timor. Tentu saja, pelafalan (pronounciation) antara orang pribumi dengan para penulis asing berbeda.

Dalam bahasa Ayamaru disebut Hwaintake, sedangkan dalam tulisan Jan Massink dan para penulis Belanda lainnya disebut Kawandake. Ini bisa diterangkan, bahwa sebagaimana terjadi di Biak, pelafalan untuk istilah Tidore mengalami perubahan: kolano (menjadi korano), momole (mambri), gimelaha (dimara) dan seterusnya.

Baca Juga: Jelajah Situs: Belajar Toleransi di Kawasan Pecinan Kota Bandung

Begitu juga istilah Bobot, dalam analisa penulis, merupakan penyebutan yang keliru dari kata Bobato. Bobato sendiri dalam istilah Kesultanan Tidore merupakan suatu jabatan untuk pejabat di seberang lautan, yang jauh dari Pusat Kesultanan Tidore.

Bobato biasanya berhubungan dengan pemerintahan, meskipun saat ini konotasinya lebih cenderung ke magis. Termasuk, penyebutan kitab Bobato yang biasanya banyak ditemukan di Pulau Seram dan lokasi lainnya di Maluku. Sebenarnya itu bukanlah kitab magis, melainkan kitab yang berisi tata pemerintahan dalam huruf Arab pegon.

ezgif.com gif maker 66

Ini semakin memperkuat posisi Abraham Kambuaya, bahwa sebenarnya, ia memang seorang raja yang ditetapkan oleh Kesultanan Tidore beserta dua raja lainnya di Teminabuan. Oleh sebab itu, gelar raja melekat pada namanya.

Begitu juga sebutan Bobato, yang merupakan istilah khusus Kesultanan Tidore, untuk orang yang berpengaruh dalam urusan pemerintahan, melekat dalam kepribadiannya. Sosok Bobot atau Bobato memang sangat dihormati.

Baca Juga: Kenangan pada Kota Ambon dalam Lukisan Poster dari Masa ke Masa

Jan Massink sendiri dengan terus terang menyebutkan, bahwa Bobot Kawandake adalah “Raja dari Kambuaya dan bobot paling berkuasa disana. Ia adalah tokoh yang ramah dan berfikiran maju, yang tidak takut menghadapi zaman baru yang tidak takut menghadapi zaman baru dan sudah tentu mengangankan kalau bukan meramalkan, bahwa sesudah “revolusi kain Timor” ia juga masih dapat mempertahankan pengaruhnya.”

Mengenai kedekatannya dengan Raja Bobot Kawandake dari Kambuaya itu, Jan Massink menulis, “Saya sering bertukar pikiran dengan Kawandake yang cerdas dan berani itu. Farok (guci saguer) yang indah hadiah dari dia ketika saya pergi, masih selalu di tempat terhormat di dalam almari buku saya. Kawandake serta-merta setuju dengan penghapusan kain Timor. Ketika bobot-bobot lain yang berpengaruh juga setuju, kelihatannya kebijakan sudah dapat diambil keputusan dengan suara bulat”.

Kedekatan antara Jan Massink dengan Raja Bobot Kawandake itu salah satunya karena perbedaan usia yang terpaut tidak jauh. Bila saat itu (1954), usia Raja Bobot Kawandake adalah 34 tahun, maka usia Jan Massink masih sekitar 28 tahun. Artinya, ada selisih sekitar enam tahun di antara mereka berdua. Dan, mungkin, hal inilah yang menyebabkan hubungan di antara keduanya –Kontrolir/HPB Ayamaru dengan Raja Kambuaya—tersebut dapat terjalin dengan baik.

Dengan posisinya sebagai Raja, Hwaintake Abraham Kambuaya juga dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembangunan-pembangunan. Tercatat di atas batu nisannya di komplek Tugu Pendaratan Injil di Kambuaya itu, bahwa Raja Kambuaya itulah yang memprakarsai pembangunan jalan tembus antara Teminabuan dengan Ayamaru (1958) dan Ayamaru ke Klamono/Sorong (1961). Dengan upaya ini, kemajuan Ayamaru menjadi semakin pesat.

Baca Juga: Perbedaan Itu Indah, Parsis Sang Dwiwarna

Penutup (Epilog)

Menelusuri jejak Jan Massink, Kontrolir Dutch Nieuw Guinea di Onderafdeling Ayamaru, kawasan Kepala Burung (Vogelkop, Papua Barat sekarang) itu memberikan semangat bagi penulis. Seorang pemuda berusia 25 tahun, yang baru saja lulus dari mempelajari Indologi di Belanda, ternyata berkeinginan menjadi pegawai negeri sipil (ambtenaar) di Dutch Nieuw Guinea. Selama 20 bulan mendapat tugas sebagai adspirant-controleur, ini memang sesuai dengan kualifikasinya sebagai alumni Indologi.

Empat tahun kemudian karirnya melonjak pesat. Tahun 1954, Jan Massink diberi kepercayaan sebagai kontrolir di Onderafdeling Ayamaru. Disanalah, ia mulai memahami begitu pentingnya antropologi. Bahkan, Jan Massink sempat bergaul dengan Prof. H.G. Barnett, seorang profesor antropologi dari Universitas Oregon, Amerika Serikat. Selama beberapa tahun, Barnett melakukan penelitian antropologi di kawasan Ayamaru (Ajamaroe gebied).

Jan Massink juga melakukan pendekatan yang sangat baik kepada Raja Bobot Hwaintake Abraham, raja muda Kambuaya yang dilantik oleh Kesultanan Tidore yang juga masih seumuran dengan dirinya. Raja Bobot Hwaintake atau Kawandake tersebut menjadi teman bincang yang mengasikan bagi Jan Massink. Melalui pengaruh Raja Bobot ini juga, tradisi kain Timor dapat dihapuskan pada tahun 1954 itu. Ini terjadi bukan saja di Ayamaru, melainkan juga di Teminabuan dan kawasan sekitarnya hingga Kebar (Amberbaken).(*)

Catatan: Selesai ditulis pada Selasa (28/6) malam pkl. 22:31 WIT di Perumahan Arfai Indah Permai, Anday, Manokwari, Papua Barat. 

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button