Telusur Sejarah

Tugu Peradaban Islam di Babo*)

Catatan Perjalanan (Bagian 4)

Mengukuhkan Jatidiri, Melestarikan Tradisi dan Meraih Kemajuan di Bawah Naungan Ilahi (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuwr)

“Hanya Islam di Tanah Papua, khususnya di Babo yang mampu merepresentasikan nilai-nilai rahmatan lil-‘aalamiin (kasih sayang untuk semesta). Disini tidak ada hujatan, tidak ada cacian, tidak ada kebencian, apalagi perseteruan antar agama. Bahkan, saling hormat-menghormati dan mempersilakan yang berbeda agama bisa hidup nyaman di sini.”


Disusun oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)

Pentingnya Sebuah Tugu

Selama berkecimpung dalam penelitian sejarah, arkeologi, filologi, kodikologi dan etnografi di Maluku, Papua dan Papua Barat, Penulis merasakan sedikit kesulitan dalam hal identifikasi terhadap sesuatu lokus tertentu.

Sebabnya, di tempat itu tidak terdapat suatu catatan tertulis atau prasasti atau tugu apapun. Padahal keberadaan sebuah tugu atau prasasti akan dapat mengungkap rahasia yang terkandung di dalamnya.

Dalam dunia akademik, ilmu yang membicarakan mengenai tugu atau prasasti dikenal sebagai Epigrafi. Penulis prasasti disebut dengan nama Citralekha. Bila ditemukan inskripsi atau prasasti di tempat tertentu, artinya lokasi itu sudah memasuki masa sejarah.

Sebab, sejarah selalu dihubungkan dengan tulisan. Tidak heran bila prasasti juga disebut sebagai “batu bertulis” atau “batu bersurat”.

Baca Juga: Jejak Pejuang Tri Komando Rakyat di Babo*)

Pengertian prasasti adalah suatu sumber sejarah yang ditulis di atas batu, logam, kayu, tanduk atau media berbahan keras atas pesanan penguasa setempat. Sedangkan media berbahan daun tal (lontar) atau kertas disebut sebagai naskah (manuskrip).

Prasasti biasanya ditempatkan di lokasi yang dianggap penting. Misalnya di suatu bangunan bersejarah (tugu peresmian), perbatasan (tugu batas wilayah), atau lokus lainnya.

Di Telaga Kodok yang masuk petuanan (Datisuul) dari Kerajaan Hitu atau Hitumessing (Maluku), Penulis pernah meneliti sejenis tugu atau inskripsi berbentuk cangkul terbuat dari besi yang menceritakan pembangunan suatu masjid di dataran tinggi itu, lengkap dengan petunjuk arah dan ukurannya.

Telaga Kodok, sejak beberapa abad yang lalu, memang merupakan hunian bagi pendatang dari Jawa.

Baca Juga: Perayaan 40 Tahun Pemerintahan Ratu Wilhelmina (1898-1938), Babo Jadi Kota Modern di Belantara Papua*)

Jejak Islam di Tanah Papua

Ketika menelusuri perkembangan Kerajaan Hitu dari naskah Hikayat Tanah Hitu, Penulis juga mendapati fakta, bahwa ada inang (perempuan) Papua (mace) yang berada di Kerajaan Hitu, Maluku tersebut.

Bila melihat kronologisnya, peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1499 atau bersamaan dengan kembalinya Sultan Zainal Abidin dan Pati Pote dari menuntut ilmu di Pesantren Sunan Giri di Tuban, Jawa Timur.

Menurut naskah yang ditulis oleh Imam Rijali dalam masa pengasingan di Makassar antara 1647-1653 itu, Pati Pote melakukan dakwah ke Tanah Papua sekembali dari mondok di Jawa.

peradaban islam di babo

 

Ketika pulang kembali ke Kerajaan Hitu, dia membawa serta seorang perempuan (mace) Papua yang dalam naskah itu ditulis sebagai “inang Papua”. Perlu kajian lebih mendalam mengenai hal ini.

Namun, beberapa catatan lain mengenai masuknya Islam di Tanah Papua juga perlu disebutkan. Menurut, Dr. Toni Victor Mandawiri Wanggai, ada tujuh teori masuknya Islam di Tanah Papua.

Teori itu mengandaikan Islam masuk, artinya berasal dari luar Papua dan dibawa oleh para juru dakwah (dai/mubalig). Tetapi, ada satu teori yang diungkapkan juga, bahwa sebenarnya Islam sudah ada di Tanah Papua sejak lama.

Teori Papua, demikian Dr. Toni menyebutnya. Teori ini menyatakan bahwa nenek moyang orang Papua yang berada di kawasan Gunung Nabi sudah menjadi muslim sejak lama.

Baca Juga: Jejak Perang Pasifik di Babo*)

Bahkan, diskursus Nabi Adam dan Siti Hawa turun di Gunung Nabi, begitu juga kapal Nabi Nuh terdampar disana, menjadi perbincangan mengenai eksistensi Islam di Papua yang sudah berlangsung sejak lama. Merekalah cikal bakal leluhur Suku Irarutu, Kuri dan Mairasi.

Namun, kisah historis yang dianggap fakta, adalah datangnya para penyebar Islam –baik tujuan awalnya berdagang maupun sengaja menyebarkan Islam– di beberapa lokasi di Tanah Papua (Nuu War).

Baca JugaMengenang Kembali Revolusi Kain Timor di Ayamaru Papua Barat

Pantai barat Tanah Papua, seperti di Kaimana, Fak Fak, Sorong dan Raja Ampat adalah lokasi yang biasa didatangi oleh pedagang muslim. Jazirah Onim sejak lama dikenal oleh orang diluar Papua. Naskah peninggalan Kerajaan Majapahit menyebutnya dengan nama Wwanin.

Nama-nama penyebar Islam di Tanah Papua, di antaranya Syarif Mu’adz al-Qaththan alias Syekh Jubah Biru, Siti Hawa Syarifah Farouq, Abdurrahman Rifana dan lainnya.

Jejak tinggalan Islam di Tanah Papua, masih terlihat dari dua hal: living monument dan dead monument. Makanan khas, tarian khas, prosesi pernikahan termasuk ke dalam living monument. Sedangkan naskah, makam, masjid dan tiang alifnya serta benda lainnya termasuk ke dalam dead monument.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2 3Next page

Berita Serupa

Back to top button