Telusur Sejarah

Pencipta Pataka Kodam XVI/Pattimura itu Kini Telah Tiada

MEMOAR DARI SAHABAT

Oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan, Pembina Nasional Forum Studi Agama-Agama se-Indonesia.

Prof. Drs. Muhammad Noer Tawainella
( 29 November 1944 – 6 April 2021 )

Dua sejarawan Maluku berpulang,
Maluku kembali berduka. Setelah Dr. Usman Thalib, M.Hum., pakar Sejarah Islam Banda kembali ke pangkuan Ilahi Rabi tahun lalu, kini salah seorang Sejarawan Maluku juga telah kembali ke haribaan-Nya. Ya, almarhum adalah Prof. Drs. Muhammad Noer Tawainella.

Penulis mengenal dan bertemu almarhum pada dua tahun lalu. Menurut orang rumah, beliau saat itu sedang sakit-sakitan. Tidak bisa duduk berlama-lama saat menerima tamu. Tetapi begitu penulis datang ke rumah beliau, seolah beliau memiliki kekuatan. Langsung ke ruang tamu dan duduk di sofa.

Meski saat itu kondisinya sedang sakit, beliau tampak bersemangat menceritakan berbagai sejarah di Maluku. Dibalut stagen warna coklat, perut beliau tampak semakin mengecil. Namun semangat menjelaskan sejarah terlihat berapi-api. Suatu pemandangan yang tampak kontradiksi.

Menurut beliau, banyak buku-buku berbahasa Belanda yang telah beliau lahap dan baca. Kemampuan berbahasa Belanda beliau memang sebanding dengan usia. Beliau pernah mengalami masa-masa penjajahan Belanda.

“Kini dunia telah menjadi modern dan jarak tidak berarti lagi. Kalau dulu saya perlu waktu hingga dua hari dari sini (Tulehu) ke Masohi, maka kini hanya dengan hitungan jam saja sudah sampai di sana,” kata pencipta pataka Kodam XVI/Pattimura, Ambon itu.

Pencita Pataka Kodam XVI/Pattimura

Sejak 1999 Kodam XVI/Pattimura menjadi mandiri lagi dan lepas dari Kodam Trikora. Mengenang pencarian pataka Kodam Pattimura pada 1965, Prof. Noer menerangkan, bahwa beliaulah dulu yang menemukan pataka itu atas saran Ate Mewar.

Pataka itu berbunyi “Lawamena Haulala” lengkapnya “Lawamena Hailala Hiti-Hiti Hala-Hala“. “Namun karena terlalu panjang untuk sebuah pataka, maka disingkat saja menjadi Lawamena Haulala,” kata Prof. Noer mengenang proses penemuan pekik perang Kapitan Talukabessy pada 1965 itu.

Kapitan Talukabessy sendiri adalah Kapitan Hitu asal Negeri Morella yang mempertahankan Benteng Kapahaha dalam Perang Kapahaha (1637-1646). Pekik itu diteriakkan saat menahan serbuan VOC di bawah Pimpinan Jacob Verheijden.

Begitu juga saat istri Kapitan Talukabessy yang adalah putri Komandan VOC tersebut tertembak oleh ayahnya sendiri. Saat melihat istrinya, Carolina “Poetijah” Verheijden terluka dan tewas, Kapitan Talukabessy pun kembali memekikkan “Lawamena Haulala Hiti-Hiti Hala-Hala“.

Menurut Prof. Noer, Lawamena Haulala artinya adalah “berjuang hingga titik darah penghabisan”. Sedangkan “Hiti-Hiti Hala-Hala” biasanya diterjemahkan dengan Ringan sama Dijinjing, Berat sama Dipikul. Haulala sendiri arti harfiahnya adalah “bau (hau)” dan “darah (lala) “.

Nyaris Dilupakan

Ketika pataka itu diterima oleh Jakarta, Jenderal Achmad Yani sendiri yang datang ke Ambon, Maluku, dan menyerahkannya ke Kodam. Saat itu, Noer juga menerima hadiah langsung dari Jenderal Achmad Yani berupa sepeda doortrap. Acara itu dilaksanakan di Lapangan Merdeka, Ambon.

Pataka Lawamena sendiri diresmikan sebagai Pataka Kodam XVI/Pattimura dengan Surat Telegram Menteri/Panglima Angkatan Darat Nomor: T-1799/1965, dan diresmikan penggunaan oleh Jenderal Achmad Yani di lapangan Merdeka Ambon tanggal 5 Agustus 1965.

Selama puluhan tahun kemudian, penemu pataka Kodam XVI/Pattimura Ambon itu nyaris dilupakan oleh Kodam sendiri. Tidak pernah ada undangan resmi yang diterima oleh almarhum. Kalaupun ada, tidak ada sangkut-pautnya dengan pataka tersebut.

Harapan Noer Terhadap Sejarah Maluku

Dalam perbincangan dua tahun lalu itu, Prof. Noer kembali menyampaikan obsesinya, bahwa Maluku harus memiliki sejarawan kaliber internasional. Bukan saja memahami sejarah Maluku dari sudut pandang lokal melainkan memiliki wawasan internasional dan mampu membaca literatur terkait Maluku dalam bahasa Belanda.

“Sebab, tulisan tentang Maluku bertebaran di Negeri Belanda dan di Eropa sana. Oleh sebab itu bahasa Belanda untuk Sejarawan Maluku merupakan suatu keniscayaan,” paparnya kepada penulis, Maret 2019 lalu. “Saya memiliki literatur itu, sayang sekali bila tidak ada yang meneruskan.”

Prof. Noer juga sempat menyinggung leluhurnya yang datang dari seberang lautan. Makam Keramat di Tulehu –hanya berjarak sekitar beberapa puluh meter dari rumahnya– menjadi bukti. Menurutnya, leluhurnya datang dari suatu tempat yang jauh. Penulis didampingi dosen Fisika IAIN Ambon Arman Kalean, M.Pd. menyempatkan ziarah ke makam leluhur beliau.

Selamat jalan Prof. Muhammad Nur Tawainella. Semoga jejak pemikiran dan karyamu tetap dikenang dalam sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.

Lisa’ena Makana, Lawamena Haulala, Hiti-Hiti Hala-Hala! 

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button