Pendapat

Para Srikandi dari Kepulauan Rempah-rempah

Oleh: Pdt. Fridolin R. Kwalomine (Kolumnis/Penulis)

Sejarahwan Adnan Amal dalam bukunya berjudul Kepulauan Rempah-Rempah; Perjalanan sejarah Maluku Utara 1250-1950, melihat Maluku dan Maluku Utara sebagai satu kesatuan yang utuh. Sejatinya Maluku dan Maluku Utara (secara administratif) adalah satu gugusan kepulauan yang memiliki pergulatan sejarah yang panjang dari masa kolonial sampai Reformasi hingga hari ini.

Kepulauan Rempah-rempah adalah satu identitas yang terbangun sejak masa-masa kejayaan di era kolonial yang masih terwarisi. Namun yang diwariskan hanyalah sejarahnya saja, kejayaannya sudah tenggelam oleh perubahan zaman.

 Dalam lintasan waktu nan panjang itu, dapat disebutkan bahwa dunia tidak hanya mengenal kepulauan rempah-rempah ini dari aroma semerbak cengkih dan palanya saja, atau dari Ternate di Utara dan Banda di Selatan, dua kutub  yang diperebutkan oleh bangsa-bangsa Eropa atau keindahan pulau-pulau eksotis semisal Tidore, Bacan, Halmahera, Saparua, Seram, Buru, Geser, Koon, Neiden, Kepulauan Kei dan Aru serta pulau-pulau di selatan daya Maluku; Tanimbar, Kisar dan Wetar.

Adapun dari Kepulauan Rempah-rempah ini, lahir srikandi-srikandi sejati, anak zaman yang membela bangsanya. Sebut saja Rainha Boki Raja atau Nyai Cili Nukila, Putri Kesultanan Tidore yang legendaris. Rainha putri adalah srikandi pejuang yang bertarung untuk identitas kaumnya di tengah pusaran dominasi patriarkhi dan monarki serta kolonialisme. Nukila kini diabadikan namanya pada sebuah taman di tepi pantai tengah kota Ternate.

Ada pula Martha Cristina Tiahahu, putri Nusahulawano Pulau Nusa Laut yang sudah dikenal luas sebagai pahlawan nasional, juga Mathilda Batlajery, Seorang istri polisi yang gugur dengan kisah heroik bersama ketiga anaknya saat mempertahankan pos asrama Polisi Kurau, Kabupaten Tanah Laut ~kala itu disebut Kewedanaan Tanah Laut~ pada tahun 1950-an di Kalimantan Selatan, ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Ibnu Hajar dengan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT).

Mathilda Batlajery kini diabadikan namanya pada ruang Aula Bhayangkari di Polda Kalimantan Selatan serta nama Bandara di Kota Saumlaki, tanah asalnya di Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Per hari ini, ada tiga “Srikandi Senayan” dari kepulauan Rempah-rempah yang perlu kita kenal bersama. Irene Yusiana Roba Putri, S.Sos., M.Comn&MediaST (38 tahun). Perempuan yang lahir tanggal 4 April 1984 ini adalah seorang politisi muda yang memulai kariernya setelah menamatkan studi di Universitas Monash, Australia pada tahun 2010.

Masuk ke Senayan tahun 2014 setelah mendapatkan dukungan dari masyarakat di Bumi Moloku Kie Raha melalui PDI Perjuangan. Anggota Komisi V DPR RI dengan lingkup tugas Pendidikan, Olahraga, Sejarah dan Bantuan KIP ini dikenal dekat dengan Ketua DPR RI, Puan Maharani. Sebelumnya ketika masih di Komisi I, Iren pernah mengkritik keras Mabes TNI yang hendak menerapkan metode tes keperawanan bagi calon Komando Wanita Angkatan Darat dan calon istri prajurit. Menurutnya metode ini dinilai tidak manusiawi, diskriminatif, melecehkan dan melanggar Hak Asasi Manusia.

Secara pribadi, pertama kali saya mengenal Iren sebagai narasumber pada kegiatan Dialog Kebangsaan yang dilakukan oleh PB AMGPM di Kota ternate, November 2022 silam. ada suatu kesempatan, kami nyaris bertemu dan ngopi bersama di Wisma Nusantara Jakarta. Sayangnya, agenda tersebut urung terlaksana karena ia harus mendampingi Ketua DPR RI untuk menjamu tamu negara dari Vietnam pada forum Asean.

Iren dikenal disiplin, konsisten dan rajin mengunjungi dapilnya. Dukungannya sangat besar bagi dunia pendidikan di Maluku Utara, setidaknya itu dapat dibuktikan dari data-data yang tersaji oleh sejumlah media yang menunjukan keberpihakannya secara konkrit untuk pembangunan manusia.

Namun sayangnya, Iren yang dibesarkan di Jogjakarta ini dikabarkan belum maksimal menunjukan keberpihakannya bagi daerah kepulauan karena memiliki minezet yang cenderung berorientasi pada kawasan kontinental seperti pulau Jawa. Semoga kabar ini tidak benar.

Selanjutnya, di pelosok sisi selatan laut Arafura, diantara jejeran Kepulauan Aru, ada srikandi cerdas yang dilahirkan diantara butir mutiara dan indahnya burung cendrawasih Bumi Jargaria. Dialah Mercy Chriesty Barends, ST (50 tahun).

Alumnus Fakultas Teknik, Jurusan Perkapalan pada Universitas Pattimura Ambon ini, merupakan seorang organisator ulet yang terbentuk dari bawah sejak bergulat di kampus. Terlibat di berbagai organisasi intra maupun extra kampus, termasuk di GMKI, AMGPM dan Mapala.

Menjadi aktivis LSM yang memberi perhatian bagi penanggulangan HIV/AIDS dan Pemberdayaan Perempuan Maluku. Perempuan tangguh dan bernyali kelahiran 25 Desember 1972 ini, telah malang melintang dalam dunia politik. Setelah tamat kuliah pada tahun 2000, ia terjun ke politik 4 tahun kemudian dan memulai karier politiknya di Banteng Muda Indonesia, organisasi sayap PDI Perjuangan.

Dua (2) tahun berikutnya ia dilantik sebagai anggota PAW DPRD Maluku. Dua periode di DPRD Maluku, Mercy masuk ke senayan tahun 2014 dan 2019, setelah mendapatkan kepercayaan signifikan dari rakyat di Bumi Raja-raja ini dan mengunci kursi pertama dari Dapil Maluku.

Mercy bukanlah Inalatu yang memaksakan diri masuk ke hati rakyatnya, ia memiliki tempat tersendiri di hati rakyat karena perjuangannya di Senayan. Dipercayakan sebagai Ketua Divisi Energy, Mineral, Riset dan Lingkungan DPP PDI Perjuangan, Mercy mendapatkan kepercayakan di Komisi VII dengan lingkup tugas Energi, Riset dan Teknologi. Mercy sangat menguasai tugasnya. Hal ini nampak dari data dan angka-angka yang dipaparkan di luar kepala. Suara nyaringnya cukup menggetarkan ruang komisi dan membuat mitranya ketar-ketir.

Srikandi ketiga kita adalah Saadiah Uluputty (50 tahun). Perempuan kelahiran Negeri Lima – Maluku Tengah 7 April 1973 ini, adalah seorang politisi perempuan bernyali dari Partai Keadilan Sejahtera yang menjabat sebagai anggota DPR RI sejak 2019 setelah merebut kursi ke-3 dari dapil Maluku.

Sebelumnya, alumnus ITS Surabaya ini adalah anggota DPRD Maluku dua periode pada pemilu 2009 dan 2014. Sejak masa kuliah, Saadiah telah terlibat aktif di organisasi intra dan ekstra kampus. Ia juga dikenal sebagai seorang aktivis ulet, mengurusi beberapa aktivitas yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan tugas utamanya sebagai legislator. Dia konsen di bidang pendidikan dan masih intens mengurus berbagai hal berkaitan dengan penguatan kapasitas dan profesionalitas guru di Maluku.

Berkat kiprahnya itu, Saadiah Uluputty pernah menerima penghargaan Anugerah Pendidikan Indonesia (API) yang berlangsung di Jakarta Convensional Center (JCC), 28 September 2018. Penghargaan API ini diserahkan oleh Ketua Umum PP Ikatan Guru Indonesia (IGI), disaksikan oleh Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan dan Menteri Agama yang saat itu dibuka langsung Wakil Presiden Jusuf Kalla, kemudian dilanjutkan dengan pembukaan Rapat Koordinasi Nasional IGI 2018.

IGI memilih Saadiah Uluputty sebagai calon penerima API berdasarkan masukan masyarakat dan diskusi panjang dengan berbagai kriteria, diantaranya adalah sebagai tokoh sentral yang mampu mempengaruhi kebijakan politik pendidikan di Maluku. Saadiah diketahui juga dikenal kritis terhadap Menteri Pertanian ketika melakukan Rapat Kerja bersama mitranya pada 26 Januari 2023 yang mendorong peningkatan nilai komodi eksport Cengkih, Pala dan Kelapa.(*)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button