Oleh: Tamara Soukotta (peneliti doktoral dari International Institute of Social Studies, dan bekerja dengan pemikiran/praktek dekolonial dan politik pengetahuan)
Hari ini baca banyak komentar soal klip yang beredar dengan interview, yang isinya soal Ikan Kuah Kuning di Tanimbar rasanya tidak enak.
Isinya sebagaimana kutipan berikut:
“gue pernah ke satu daerah di Maluku Tenggara, namanya Tanimbar. Di mana nyaris tidak ada orang yang pernah datang ke sana karena itu jauh banget dan terpencil.
…penduduknya cuma 500 orang. Makanannya ga enak. Nah pas gue liat, misalnya ibu masak apa? Masak ikan kuah kuning. hari ini sama besok masaknya dua-duanya kuah kuning. Bumbunya bisa beda, rasanya bisa beda, dua-duanya ga enak. Tapi pas ngobrol-ngobrol sama mereka, gue lebih percaya bahwa oh ini karena tidak ada yang menularkan tradisi budaya makanan.”
Klip wawancara ini lalu menuai banyak sekali komentar yang penuh beragam emosi. Mungkin si Mba Ade Putri Paramadita yang diwawancarai itu bingung: koq pada marah sih, gue kan cuma mengutarakan observasi gue, bahwa di sana makanannya ga enak, karena ga ada yang menularkan tradisi budaya makanan? Niat gue baik kan?
Mungkin Mba Ade tidak terpikir bahwa komentar Mba Ade sarat kolonialitas dan privilese. “gue pernah ke satu daerah di Maluku Tenggara, namanya Tanimbar, dimana nyaris tidak ada orang yang pernah datang ke sana karena itu jauh banget dan terpencil. … penduduknya cuma 500 orang”
Pertama, tergantung pengertian Mba soal siapa yang dihitung sebagai ‘orang’, ‘jauh’, dan ‘terpencil’. Kalau yang dihitung sebagai ‘orang’ cuma yang kayak Mba Ade, yang dari ‘daerah maju sana’, mungkin iya. Jauh, iya sih kalo dari Ambon atau dari Jakarta. Tapi dari tetangga-tetangga pulau, ya ga gitu-gitu amat, kali.
Sama kalau soal terpencil. Plus soal terpencil ini ga cuma karena lokasi Tanimbar, tapi juga soal paradigma pembangunan yang hanya akan menjangkau, kalau ada keperluan investasi, tapi buang muka kalau hanya soal menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan dan lain-lain buat penduduk lokal.
Kedua, soal “cuma 500 orang”. Mba Ade di sini terperangkap dalam logika kolonial di balik paradigma pembangunan dan modernitas, yang melihat serba banyak dan serba besar itu baik.. kuantitas daripada kualitas. Bisa panjang sih diskusi ini, tapi biar cukupkan di sini saja. Soalnya soal ikan kuah kuningnya masih menunggu.
“Makanannya ga enak. Nah pas gue liat misalnya ibu masak apa? masak ikan kuah kuning. Hari ini sama besok masaknya dua-duanya kuah kuning. Bumbunya bisa beda, rasanya bisa beda, dua-duanya ga enak.”
Mba, di sini Mba Ade membawa logika kolonial soal rasa. Bahwa lidah mba itu lebih valid dari lidah lokal, karena lidah mba datangnya dari pusat sana. Jadi kalau mba bilang ga enak, maka itu valid. Mba juga bisa dengan pede dan angkuh mengatakan ga enak, karena privilese yang selalu menempatkan mba pada posisi pusat itu. Pada posisi valid itu.
Toh selama Indonesia merdeka, mba jadi pusat dan orang Tanimbar margin. Dari pusatlah orang datang dan menilai Tanimbar, membuat tulisan, penelitian, berita, liputan, dan macam-macam soal Tanimbar, dan orang Tanimbar tanpa pernah dikritisi atau dipertanyakan soal apakah representasi ini pas atau tidak.
Sekarang tiba-tiba mba dilawan. Kenapa? Well, the power of social media. Kalau dulu orang Tanimbar mungkin susah dapat akses untuk melawan representasi dan framing pusat, sekarang beda, mba. Media sosial memungkinkan mereka yang direpresentasikan dalam klip wawancara mba sebagai orang-orang yang secara implisit mba mau bilang terbelakang itu, bisa langsung melawan lewat platform social media. Mereka ga perlu cari wartawan untuk membantu mereka melawan, cukup dengan meninggalkan komentar di postingan mba.
Ikan Kuah Kuning
Tapi lalu kenapa soal ikan kuah kuning saja jadi besar? Mba, ketika mba mengatakan ikan kuah kuning itu ga enak, yang mba hujat dan hina bukan cuma sepiring ikan kuah kuning itu saja. Mba menghujat, menghina, merendahkan ikan, kunyit, laut, tanah, manusia Tanimbar. Relasi manusia Tanimbar dengan tanah dan lautnya.
Mba merendahkan ibu dan tangan yang memasak dan menghidangkan ikan kuah kuning itu. Nelayan yang membawa pulang ikan itu, dan cinta serta ketulusan yang mereka persembahkan ke Mba Ade dalam bentuk sepiring ikan kuah kuning itu.
“Tapi pas ngobrol-ngobrol sama mereka, gue lebih percaya bahwa oh ini karena tidak ada yang menularkan tradisi budaya makanan.”
Ini masih lanjutan soal kolonialitas dan privilese, ya mba. Pertanyaan saya: ketika mba ‘ngobrol-ngobrol sama mereka’, apakah mba menempatkan diri sebagai interlokutor yang setara? Idealnya sebagai pendatang, pengunjung, mba harusnya menempatkan diri sebagai orang yg bertanya, belajar, dan mereka ahlinya.
Tapi itu mungkin terlalu ideal dan ga pas karena mba kan datang dari pusat ya, jadi pastilah mba lebih ahli dari mereka (ini sarcasm loh, mba). Jadi minimal mba menempatkan diri setara.
Tapi saya curiga mba sejak awal melihat diri mba sebagai ahli. Mba udah punya frame tentang apa yang layak disebut makanan, dan makanan yang enak itu rasanya bagaimana.
Jadi kecurigaan saya lebih lanjut: ngobrol-ngobrolnya sebenarnya di benak mba sendiri, mereka itu hanya pelengkap penderita untuk bisa jadi bukti bahwa pendapat mba itu sudah didasarkan pada pembicaraan dengan orang lokal.
Ini lalu mengantar pada kesimpulan mba soal ‘tidak ada yang menularkan tradisi makanan’. Ini yang mba bilang, yang tersurat, yang terdengar, yang eksplisit, yang salient. Yang tidak mba bilang, yang tersirat, yang tidak terdengar, yang implisit, yang silent, adalah: karena mereka ga pernah ketemu orang kaya saya, yang ahli soal makanan.. karena mereka ga ketemu budaya saya.. kalo ketemu pasti mereka lalu bisa diajar soal rasa biar bisa menyesuaikan dengan rasa saya, lidah saya. Jadi besok-besok kalau saya datang, makanannya sudah enak karena sudah sesuai lidah saya.
Semoga mba cepat sadar, dan lain kali kalau mau berkunjung ke rumah orang logika kolonialnya dibongkar dulu, privilesenya direnungkan dulu. Atau kalau masih mau dibawa, komentarnya disimpan di hati saja..
Nah, saya nulis ini hanya berdasarkan sepotong klip, bisa saja salah paham dan salah representasinya. Iya sih. Tapi mba juga pede aja bicara di publik dan merepresentasikan Tanimbar lengkap dengan tanah, air, manusia plus ikannya dari kunjungan singkat.
Jadinya saya juga merasa sah-sah saja menulis ini dari sepenggal klip wawancara. Sekian, mba. Eh, btw ceviche ala Maluku Utara-nya enak, mba? Karena tuna atau karena nama bisa dikaitkan dengan kata eksotis macam ceviche? Lain kali ya mba diskusinya, soalnya itu topik panjang lagi. salam..
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi