Oleh: Erika Widyaningsih (Founder Jelajah Bineka)
Nusa Tenggara Timur (NTT) kini menjadi tujuan destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi. Provinsi yang terdiri dari beberapa pulau ini, menarik bagi wisatawan yang ingin melihat keindahan alamnya, seperti laut hingga padang rumputnya.
Tapi kini, banyak wisatawan berkunjung ke NTT tidak lagi hanya untuk menikmati alamnya, tetapi juga untuk melihat keindahan seni dan budayanya. Maumere, Waerebo, Labuhan Bajo, Sumba Timur, dan Ende merupakan beberapa daerah yang sering menjadi destinasi wisata pelancong luar negeri maupun dalam negeri.
Meskipun begitu, setiap daerah memiliki keunikan, potensi dan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kali ini kita akan mengunjungi Sumba Timur, salah satu daerah yang terkenal dengan padang rumput (savanna) dan pacu kuda.
Bagi Masyarakat Sumba Timur, setidaknya terdapat tiga hewan yang memiliki arti dan peran penting dalam kehidupan, yakni kerbau, babi, dan kuda. Ketiganya bahkan juga dapat menunjukkan status sosial seseorang di masyarakat.
Ketiga hewan tersebut sangat lekat dengan kehidupan masyarakat, tidak hanya terkait dengan ekonomi, tetapi juga dalam kepercayaan dan upacara adat. Dalam berbagai kegiatan upacara adat, seperti pernikahan dan penguburan, ketiganya merupakan hewan yang dihadirkan sebagai syarat. Maka tidak heran bila harga jual ketiga hewan tersebut tinggi.
Salah satu hewan yang memiliki peran penting bagi masyarakat Sumba Timur adalah Kuda atau ndara, sebutan bagi masyarakat Sumba Timur. Kehadiran kuda dalam masyarakat Sumba Timur bahkan sudah dianggap sejajar dengan arwah nenek moyang. Maka tidak ada kuda yang diberi nama di masyarakat Sumba.
Bagi masyarakat, kuda melambangkan kekuatan, ketangguhan, dan keperkasaan. Kita dapat menjumpai gambar atau ukiran berbentuk kuda pada banyak benda, seperti motif dalam tenun ikat, sisir rambut perempuan, ukiran pada batu makam, termasuk pada lambang daerah Pemerintahan Sumba Timur. Kegagahan dan peran kuda sejak masa nenek moyang bahkan dapat ditemukan berupa motif pasola dan motif papanggang berkuda.
Pasola merupakan upacara adat lempar lembing atau tombak. Pasola merupakan salah satu upacara adat yang diwariskan turun-temurun dari leluhur. Pasola berasal dari kata sola atau hola, yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan.
Upacara adat pasola biasanya diadakan pada Bulan Februari atau Maret dan kini telah menjadi salah satu atraksi adat yang dinantikan wisatawan. Tanggal pelaksanaan tradisi pasola ditentukan oleh seorang Rato atau tokoh adat. Dan sebelum tradisi ini dilakukan ada sejumlah ritual yang harus dilakukan terlebih dahulu. Pasola diadakan untuk merayakan musim panen serta memohon pengampunan.
Selain pasola, peran kuda dalam upacara adat kematian juga dapat dilihat melalui motif papanggang berkuda dalam prosesi pemakaman raja. Papanggang merupakan orang kepercayaan raja yang dipilih langsung. Pada saat upacara kematian raja, papanggang akan menaiki kuda dan memimpin iringan jenazah raja menuju pemakaman sambil membawa perhiasan milik raja. Kini tradisi tersebut sudah tidak dilakukan lagi di masyarakat, meskipun begitu, kuda tetap menjadi syarat yang dihadirkan dalam prosesi upacara adat.
Selain itu, kuda juga merupakan belis atau seserahan dalam prosesi pernikahan. Seorang laki-laki Sumba Timur yang ingin menikahi perempuan Sumba Timur harus memberikan sejumlah hewan ternak kepada keluarga mempelai perempuan. Jumlah belis ditentukan oleh keluarga mempelai perempuan. Semakin tinggi status sosial mempelai perempuan, maka jumlah belis yang harus diberikan pun akan semakin tinggi.
Selain sebagai belis, kuda juga hadir sebagai syarat dalam upacara adat pemakaman. Kuda dihadirkan sebagai kurban dalam prosesi adat, tetapi juga menjadi hiasan ukiran pada batu makam bagi keluarga raja yang masih menganut kepercayaan marapu.
Bila mengunjungi sejumlah kampung raja di Pau dan Prailiu di Melolo, kita dapat menemukan ukiran berbentuk kuda di atas penji (makam raja dan keluarga) yang masih menganut Marapu. Namun, tidak semua makam akan memiliki ukiran kuda diatasnya.
Di Sumba, kuda dipelihara oleh keluarga dalam jumlah sedikit atau banyak. Untuk mencari makan, kuda biasanya akan dilepas untuk merumput, dan kembali pada sore hari. Apabila kita pergi ke daerah padang rumput, kita dapat melihat kuda-kuda yang baru keluar dari kendang berlari mencari tempat untuk merumput. Melihat pemandangan ini, kita mungkin akan membayangkan kuda di film koboi di luar negeri. Meskipun kuda Sumba tergolong kuda yang kecil, jika dibandingkan dengan jenis sandalwood lainnya, tetapi mereka memiliki Keistimewaan yang terletak pada kecepatan dan daya tahannya, maka tidak heran bila kuda Sumba merupakan salah satu kuda poni terbaik di Indonesia.
Rubrik KAWAN JEBI merupakan kerjasama redaksi potretmaluku.id dengan Jelajah Bineka (Jebi), sebuah komunitas yang dibentuk dengan tujuan merangkul anak muda Indonesia untuk lebih peduli terhadap keragaman budaya Indonesia
Rubrik KAWAN JEBI diharapkan dapat menjadi wadah untuk kawan-kawan yang memiliki ketertarikan untuk menulis. Rubrik ini juga merupakan sebuah wadah untuk berbagi informasi maupun pemikiran yang dituliskan secara kreatif.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi