Telusur Sejarah

Kunjungi Lokus Perang Wamsisil di Saparua, Menguak Sosok Misterius Pattimura

PENDAPAT

Oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan, Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAA-I) Manokwari, Papua Barat.

Tulisan Ringan Mengenang Perang Pattimura ke-204 (20 Mei 1817-2021)*

Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit.

Pengantar

Raja Negeri Haria, Jacob Mier Manuhuttu menerima penulis di rumahnya, di RW 08 RT 02 Negeri Haria, Kecamatan Saparua Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Selasa (8/1) pagi. Negeri Haria yang dikenal sebagai “Singa Laut” merupakan negeri terluas di Pulau Saparua. Rumah Thomas  Matulessy yang terkenal dalam Pertempuran Pattimura melawan kolonial Belanda, terletak di dekat sini.

Perbincangan dengan Raja Haria berlangsung dengan hangatnya. Setelah mengutarakan maksud kedatangan ke Haria, sang raja kemudian menelpon bawahannya untuk mengantar penulis ke rumah Thomas Matulessy. Rumah itu terletak di Lingkungan 05, dekat saja dari rumah Bapak Raja.

Penulis kemudian melihat-lihat catatan sejarah terkait Thomas Matulessy yang ditempel di dinding. Seluruh dinding bagian dalam dipenuhi keterangan yang dikutip dari surat-surat A.A. Buijkes terkait para Kapitan yang terlibat dalam Perang Pattimura. Tidak lupa foto Thomas Matulessy dan celana, sorban serta pedangnya masih ada dalam lemari kaca.

Saat ini rumah Thomas itu dipelihara oleh ahli waris dari pihak kakak Thomas, yaitu Anky Matulessy, sebab Thomas sendiri saat itu belum menikah. Anky berprofesi sebagai guru SD di Haria. Ketika mendengar bahwa ada tamu di rumahnya, dia pulang dan mendampingi penulis. Beberapa informasi disampaikan oleh yang bersangkutan. Sekitar pukul 12.00 WIT, penulis berpamitan dan kembali ke Negeri Siri-Sori Islam setelah sebelumnya mampir sebentar di Benteng Duurstede.

Sosok Pattimura yang Diperebutkan

Dalam perjalanannya, sosok Pattimura yang sudah mapan kemudian mengalami gugatan. Beberapa penulis kemudian menyampaikan, bahwa Kapitan Pattimura bukanlah Thomas Matulessy melainkan ada sosok lain sesuai perspektif mereka. Dan, jumlahnya bukan hanya satu melainkan banyak.

Dr. Fahmy Salatalohy, misalnya. Dalam buku “Said Perintah, Rekayasa Kolonial dan Pengkhianatan Thomas Matulessy dalam Perang Pattimura”, Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon, Maluku itu membeberkan teori baru mengenai sosok Kapitan Pattimura.

Bagi Doktor Filsafat alumnus UGM Yogyakarta ke-1154 dan Doktor ke-53 Pasca Sarjana itu, Kapitan Pattimura bukanlah Thomas Matulessy melainkan Said Perintah, Raja Negeri Siri-Sori Islam (SSI), Saparua, Maluku Tengah. Alasannya, Thomas hanyalah pelaksana lapangan saja. Sedangkan pimpinan tertinggi adalah Said Perintah.

Meskipun Des Alwi tetap menyatakan bahwa Thomas Matulessy itulah Kapitan Pattimura, tetapi ada suatu data yang dia tulis dalam bukunya “Sejarah Maluku: Banda Neira, Ternate, Tidore dan Ambon” (Dian Rakyat, 2005). Nama Bapak Buang, demikian Des Alwi menyebutnya, muncul dalam tulisannya mengenai Perang Pattimura sepanjang hampir 50 halaman. Siapa Bapak Buang itu?

Des Alwi hanya menyebutkan, bahwa dia adalah sosok anonim, seorang nelayan yang menyanyikan lagu di pinggir pantai. Bahkan, posisi Bapak Buang kemudian seolah menjadi penasihat Thomas Matulessy. Buang yang juga menanamkan semangat nasionalisme kepada Thomas muda, dengan mengatakan, “Lihat sekelilingmu, Thomas. Semua begitu bagus. Ini tanah airmu. Kau bertanggung jawab atas tanah ini.”

Dalam bukunya, Prof. Dr. Dieter Bartels menyinggung mengenai “Misteri Pattimura”. Buku “Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah”, Jilid II: Sejarah, menyebutkan, bahwa “Tidak ada satu pun laporan dari zaman itu yang menyatakan Matulessy pernah memakai gelar (Pattimura) tersebut, yang sebenarnya memang tidak masuk akal mengingat kedudukannya”.

Penulis lain, Van Doren menyebut, bahwa ada Pattimura (Patti Muda) yang memimpin perang melawan Belanda di Teluk Saparua. Namanya adalah Patti Muda Gaga Bavanu, seorang yang diperkirakan berasal dari Ternate dan ada kemungkinan utusan Sultan Ternate yang dicurigai turut menyokong pemberontakan melawan Belanda. Bukunya ditulis 40 tahun setelah Perang Pattimura.

pattimura
Penulis saat melihat pakaian dan pedang peninggalan Thomas Matulessy di rumah ahli waris keluarga Anky Matulessy, di Negeri Haria, Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Selasa (8/1/).(Foto: Dok. Penulis)

Pattimura dan Kebangkitan Nasional

Meskipun pada saat Perang Ambon (atau Pemberontakan Pattimura 1817), pemikiran untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun Hindia-Belanda belum muncul, dan tujuan perang itu hanyalah untuk mengenyahkan penindasan penjajah asing dari Maluku, khususnya Maluku Tengah. Namun, demi kepentingan politik, dapat dipahami Thomas Matulessy dijadikan pahlawan nasional.

Bahkan, dalam bukunya, Bartels dengan lebih keras menyatakan, bahwa “selain Pattimura, para pencipta mitos nasional memasukkan sejumlah pemimpin rakyat lainnya ke dalam cerita mereka. Di antaranya, Anthony Rhebok, Said Perintah, Philip Latumahina dan Paulus Tiahahu serta anak gadisnya, Martha Christina.”

Mengabaikan pandangan penulis asing itu, tidak dapat dipungkiri bahwa Perang Pattimura telah membangkitkan suatu semangat persatuan di antara muslim dan kristen di Maluku. Tujuan utama mereka bersatu tidak lain adalah mengusir penjajah dari Negeri Rempah-rempah. Sosok-sosok yang telah disebutkan di atas adalah buktinya.

Anthony Rhebok adalah seorang Kristen dari Saparua, Said Perintah merupakan Raja Negeri Siri-Sori Islam, Philip Latumahina adalah orang Kristen yang berasal dari Paperu sedangkan Paulus Tiahahu dan putrinya Martha Christina adalah penganut Kristen dari Abubu. Bahkan, nama Ulupaha dari Negeri Islam Hitu juga sering disebut terlibat dalam Perang Pattimura. Semua itu membuktikan, bahwa persatuan telah terjalin di antara mereka tanpa memandang suku, agama, ras dan antar golongan.

Pattimura Muda dan Kiprah untuk Bangsa

Sebelum menaiki tiang gantungan, Thomas Matulessy dikatakan pernah mengucapkan kata-kata yang bernada profetik. Itu diucapkan pada 16 Desember 1817 alias tujuh bulan setelah Thomas ditangkap oleh prajurit Belanda di Liliboi. Kata-kata itu menggambarkan tekadnya yang membara dan kepercayaannya yang kuat akan kebangkitan rakyat.

Kini, setelah 204 tahun kemudian, enam hingga tujuh generasi telah berlalu. Keturunan para pejuang Perang Pattimura –baik yang Muslim maupun Kristen– telah tersebar di berbagai tempat. Setiap tahun, mereka yang ada di perantauan juga melaksanakan peringatan untuk mengenang Perang Pattimura itu. Tarian Cakalele tidak pernah dilupakan.

Untuk di Maluku sendiri, guna mengenang sosok itu telah didirikan Universitas Pattimura (UNPATTI) Ambon. Sebagai Universitas Negeri, kampus terbaik di Maluku ini menerima semua mahasiswa dari berbagai latar belakang agama, bahkan suku. Dari kampus inilah diharapkan Pattimura-Pattimura Muda akan bermunculan.

*)Selesai ditulis di Arfai, Manokwari, Papua Barat, 20 Mei 2021 pkl. 10:50 WIT bertepatan dengan 204 Tahun Perang Pattimura, 20 Mei 1817.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button