Pulau Biak, Pesona Tinggalan Sejarah Perang Dunia II
“Karena Schouteneilanden tidak memiliki nilai ekonomis, maka tetap tidak dihiraukan hingga pada Perang Dunia II, Jenderal Douglas MacArthur membuat Basis H disana, basis Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang sangat besar di atol Wundi. Seperti Hollandia, menjadi ibu kota Nugini-Belanda berkat fasilitas Basis G, demikian pula Biak berkat Basis H telah menjadi pusat perhubungan udara dan pusat Geelvinkbaai bagian utara.”
Oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan (Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-agama se-Indonesia [FORMASAA-I] Manokwari, Papua Barat)
Menelusuri Jejak Perang Pasifik di Pulau Biak dan Sekitarnya (Schouteneilanden)
Pengantar
KOMANDAN Pangkalan Angkatan Laut (DANLANAL) Biak, Kolonel (Mar.) Karlos Rehabiem Deda, M.Tr. (Hanla), M.M. menerima Penulis di Gedung Wiratno di dalam Komplek LANAL Biak, Jl. Dempo, Waupnor, Biak Kota, Biak, Papua, Kamis (28/7) malam waktu setempat. Lelaki asli Sentani itu masih mengenakan seragam dinasnya, karena malam itu masih ada acara dengan Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) melalui video-conference (vicon). Sebuah layar monitor dan seperangkat peralatan elektronik masih menampilkan tayangan vicon.
“Saya masih istirahat untuk makan selama 10-30 menit,” ucapnya sambil mempersilakan Penulis duduk di sofa yang ada di pojok ruangan itu. Sesaat kemudian, perwira menengah Angkatan Laut itu memerintahkan ajudannya untuk menyiapkan makan malam yang dipesan dari salah satu warung Padang di dekat Pangkalan. Aneka minuman –air mineral dan jus— serta buah-buahan juga sudah dihidangkan di atas meja yang berada di hadapan mereka. “Silakan Abang makan saja dulu, kami barusan sudah makan diluar tadi.”
Usai santap malam, perbincangan pun dilanjutkan. Danlanal Biak itu sangat tertarik dengan sejarah Perang Dunia II terutama yang pecah di kawasan Biak. Karena menganggap Penulis adalah pakar Perang Pasifik tersebut, ayah tiga anak itu meminta ijin untuk merekam pembicaraan. “Sangat sulit mencari pakar Perang Dunia II disini. Meskipun ada, kadang yang diceritakan berbeda dengan fakta. Kecuali orang seperti Abang yang memang menelitinya secara ilmiah dan berdasarkan data-data ilmiah.”
Baca Juga: Mengenal Pillbox Jepang Tinggalan Perang Dunia II di Pulau Doom Kota Sorong
Dengan mobil dinas DANLANAL Biak, Penulis pun diantar langsung oleh DANLANAL ke tempat menginap di salah satu homestay yang memiliki nama seperti nama suatu kampung di Kecamatan Teluk Waru di Seram Bagian Timur (Maluku). Penginapan itu berada di Jl. Dahlia, Burokub, Biak Kota. Perwira yang 22 tahun ditugaskan di Surabaya itu mengenali pemilik penginapan itu. “Bukannya ini milik Ibu Alin?” kata dia yang disambut anggukan kepala sopirnya.
Besoknya, Penulis pun kembali ke Pangkalan Angkatan Laut Biak itu dan mulai melihat lokasi pillbox serta fasilitas peninggalan Perang Dunia II. Pillbox itu terletak di tepi pantai, hanya beberapa meter saja dari pos penjagaan. Kondisi terkini sudah ditimbun dengan tanah sehingga membentuk mirip bukit kecil. Pillbox itu mirip dengan pillbox di Manokwari dan di Momi Waren (Kampung Momi atau Kampung Dembek), bentuknya kubus dengan pintu masuk dan lubang intai pada sisi-sisinya. Penutup atas pillbox itu menggunakan material besi yang tampak sudah berkarat dimakan usia.
Biak pada Masa Kesultanan Tidore
Meskipun terkadang peran Tidore sebagai penguasa yang membawahi Papua tidak terdengar gaungnya, bahkan ditolak. Namun, secara tidak sadar, diakui juga oleh para penulis Belanda meskipun dengan alasan yang berbeda. Sebut saja Frits Sollewijn Gelpke, mantan kontrolir Schouteneilanden di Biak tersebut menuliskan di dalam makalahnya, “Biak pada Awal Abad Jet”, bahwa untuk membuktikan kepada Jerman dan Inggris bahwa Nieuw Guinea bagian utara adalah milik Sultan Tidore, maka gelar-gelar Tidore dihambur-hamburkan di kawasan itu.
Bagi Penulis, tentu saja wacana ini merupakan sesuatu yang tidak benar. Sebagaimana di Ayamaru, Maybrat, gelar Raja dan Bobato telah mengakar, begitu juga di Biak dan sekitarnya yang kemudian dikenal sebagai Schouteneilanden itu, gelar Tidore pun telah mengakar dan bukan hanya sekedar permainan politik kotor Belanda belaka. Nama keluarga (familinam/marga) di Biak, telah menggunakan Mayor, Kapisa, Dimara (Gimalaha) dan Korano (Kolano).
Baca Juga: Mengenang Kembali Revolusi Kain Timor di Ayamaru Papua Barat
Meskipun memang Kesultanan Tidore atau Ternate tidak secara luas menancapkan pengaruhnya di Papua, tetapi beberapa penguasa lokal, telah dilantik dan bertanggung jawab kepada Sultan Ternate atau Tidore ataupun melalui perwakilannya. Sebut saja gelar Raja Bobot Kawandake (Hwaintake) Abraham Kambuaya di Ayamaru, Maybrat. Begitu juga raja-raja lainnya di Papua semisal di Raja Ampat dan di Pulau Doom. Bukti-bukti itu juga tidak dapat dinafikan begitu saja sebab telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
Biak pada Masa Nederlandsch Nieuw Guinea
Pada masa Nederlandsch Nieuw Guinea alias Nugini-Belanda, Biak juga beberapa kali pernah menjadi pusat pemerintahan. Entah, menjadi Afdeling atau Onderafdeling dan bahkan menjadi kawasan administratif yang mandiri. Sejak 1925, misalnya, Biak pernah menjadi Onderafdeling dari Residen Ternate. Dalam Staatblad van Nederlandsch-Indie No. 640 tahun 1925 disebutkan, bahwa bersama lima onderafdeling lainnya, Schouteneilanden berkedudukan sebagai onderafdeling. Kelima onderafdeling lainnya yang bersama-sama di bawah Residen Ternate adalah: Manokwari, Sorong, Jappenroep, Hollandia, dan West Nieuw Guinea.
Pada 10 Mei 1952, Biak menjadi onderafdeling dari Afdeling Nord Nieuw Guinea yang beribukota di Hollandia (Jayapura). Sedangkan enam onderafdeling yang bersama-sama dengan Biak adalah: Hollandia, Nimboran, Sarmi, Waropen dan Yappen. Sedangkan pada 1 April 1953, Gubernur J. van Baal merubah kembali wilayah administratif dan berlaku sejak 31 Oktober 1953, bahwa Biak, Yappen, Waropen masuk ke dalam Afdeling Geelvinkbaai dengan ibukota di Biak.
Perkembangan Biak (Schouteneilanden) menjadi onderafdeling dan afdeling dapat diketahui dari masa jabatan berikut: J.V. de Bruyn menjabat sebagai kepala Onderafdeling (KOA) dari September 1945-April 1950. Posisinya digantikan oleh R. Stephan yang menjadi KOA sejak April 1950 hingga Oktober 1951. Sebulan kemudian, G.J. van Gendt menjadi KOA, tepatnya November 1951-Desember 1954. Dua bulan kemudian, C.H. Stefels menjadi KOA mulai Februari 1955 hingga Januari 1957. J.H.F. Sollewijn Gelpke menjadi KOA selama hampir tiga tahun, Mei 1957-Maret 1960.
Baca Juga: Kunjungi Lokus Perang Wamsisil di Saparua, Menguak Sosok Misterius Pattimura
Sedangkan Afdeling Geelvinkbaai dengan ibukota di Biak mulai dibentuk pada November 1953 dengan Residen pertama H. Veldkamp. Setelah itu F.P.W. van Nouhuys melanjutkan sebagai penjabat Residen mulai Oktober 1957-Maret 1958. Sejak Maret 1958 hingga Maret 1960, H. Veldkamp diangkat kembali sebagai Residen Biak sampai enam bulan berikutnya diangkat penjabat Residen yaitu J.H.F. Sollewijn Gelpke, Maret 1960-September 1960. Untuk ketiga kalinya, H. Veldkamp menjadi Residen di Biak, mulai Oktober 1960-Februari 1961.
Biak pada Masa Perang Dunia II
Tanggal 2 April 1942, tentara Jepang terutama dari Angkatan Laut Armada III yang bermarkas di Makassar menaklukan Fak Fak. Setelah itu Manokwari juga ditaklukan pada 12 April 1942. Berikutnya Hollandia (Jayapura) juga ditaklukkan, 27 April 1942. Segera setelah itu Jepang mulai memberlakukan unit-unit pemerintahan sipil di berbagai tempat yang telah dikuasai.
Istilah yang dipergunakan, biasanya disebut Meinseiku Chokan, yaitu kepala daerah setingkat residen. Sedangkan untuk tingkat distrik (kecamatan) disebut Gun Cho, sedangkan di bawahnya lagi adalah Ku Cho (para raja). Sedangkan untuk kepala kampung dan orang terkemuka disebut Sun Cho, di bawahnya ada Kumi Cho (kepala-kepala soa/marga). Seluruh aparat sipil pemerintahan itu didukung oleh petugas penjaga keamanan atau polisi yang dinamakan Kempeitai.
Tentara Jepang baru masuk ke Pulau Biak pada 1942. Sebelumnya Jepang di Hollandia, lalu Sarmi. Namun karena mengalami kekalahan akibat strategi Jenderal Douglas MacArthur dengan teori “lompat katak” (leapfrog), maka pasukan Jepang mulai berpindah-pindah tempat. Setelah banyak yang gugur di Sarmi, tentara Jepang kemudian pindah ke Biak.
Di Biak, saat itu diperkirakan ada sekitar 10 ribu tentara Jepang, yang tersebar di Biak Kota, Biak Barat, Biak Utara hingga ke Supiori. Mereka mulai membangun benteng-benteng pertahanan dan juga tempat logistik. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila saat ini, di Pulau Biak dan sekitarnya banyak ditemukan bekas tinggalan Jepang. Pillbox, goa Jepang, landasan pacu dan aneka tinggalan lainnya.
Baca Juga: Napak Tilas Sejarah Leluhur, Genosida Wandan yang Nyaris Terkubur
Begitu juga dengan pasukan Sekutu (Allied Forces) yang dikenal sebagai ABDA (America-British-Dutch-Australia) juga membangun pangkalan militer di atol Wundi. Mantan kontrolir Belanda di Schouteneilanden (Mei 1957-Mei 1960) dan merangkap penjabat Residen Geelvinkbaai di Biak (Maret-September 1960), yaitu J.H.F. Sollewijn Gelpke menuliskan dengan sangat baik sebagaimana dikutip pada bagian atas tulisan ini. Gelpke menulis:
“Karena Schouteneilanden tidak memiliki nilai ekonomis, maka tetap tidak dihiraukan hingga pada Perang Dunia II, Jenderal Douglas MacArthur membuat Basis H disana, basis Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang sangat besar di atol Wundi. Seperti Hollandia, menjadi ibu kota Nugini-Belanda berkat fasilitas Basis G, demikian pula Biak berkat Basis H telah menjadi pusat perhubungan udara dan pusat Geelvinkbaai bagian utara.”
Istilah atol dalam tulisan Geplke tersebut merujuk pada pulau karang (koral) yang berbentuk cincin atau mirip cincin. Pulau ini biasanya terbentuk di sekitar gunung berapi bawah laut yang muncul ke permukaan air laut. Habitat air di dalam pulau atol biasanya terjaga dari laut lepas dan disebut sebagai laguna. Oleh sebab itu, menurut Gelpke, Wundi merupakan sebuah pulau karang yang disebut atol. Dan, disanalah Jenderal Douglas MacArthur membangun fasilitas pertahanan militernya untuk menghadapi Jepang.
Baca Juga: Jelajah Situs: Belajar Toleransi di Kawasan Pecinan Kota Bandung
Meskipun kelihatannya Wundi bukanlah pulau atol murni (pseudo-atoll), akan tetapi Gelpke mungkin mengaitkan dengan Atol Kwalajein di Kepulauan Marshall dan Atol Suvadiva di Maladewa. Sebab, untuk di Indonesia, atol (pulau karang) itu adanya di Wakatobi dan Takabonerate Selayar. Ada tiga pulau atol di Wakatobi: Atol Kapota, Atol Kaledupa dan Atol Tomia. Masyarakat setempat percaya, bahwa kesemua atol itu akan melindungi Wangi-Wangi bila terjadi gempa bawah laut dan terjadi tsunami.
Serangan Udara Sekutu Terhadap Jepang di Biak
Selama tahun 1942, Pulau Biak diduduki oleh Angkatan Darat Jepang yang membangun tiga landasan pacu (drome) di Pantai Selatan: Mokmer Drome, Sorido Drome dan Lapanngan Udara Borokoe. Pada awal tahun 1944, Jepang mulai memperkuat posisi pertahanan mereka di Biak guna mengantsipasi pendaratan pasukan Amerika di lokasi ini.
Pada akhir April 1944 setelah pendudukan Angkatan Darat Amerika di Hollandia (Jayapura), para insinyur menemukan bahwa tanah di daerah tersebut terlalu lunak untuk operasi pembom berat dan Pulau Biak menjadi sasaran landasan pacu berpermukaan karang dan dianggap lebih baik untuk operasi Angkatan Udara Angkatan Darat Amerika Serikat (USAAF). Oleh sebab itu, sejak April 1944 itu, Biak menjadi sasaran pemmbom dan pesawat tempur Amerika.
Pada 27 Mei 1944, Divisi Infenteri ke-41 Angkatan Darat AS melakukan pendaratan amfibi di Pantai Selatan Biak di Bosnik. Pertempuran tank versus tank terjadi di Biak, ketika tank Jepang tipe 95 Ha Go berusaha menyerang lokasi pendaratan. Mereka dihancurkan oleh tank M4 Sherman. Pasukan Jepang bertahan di goa alam dan mampu menyerang pasukan Amerika sehingga Amerika sempat menunda penggunaan landasan pacu Mokmer.
Baca Juga: Pencipta Pataka Kodam XVI/Pattimura itu Kini Telah Tiada
Sejak 9 Mei hingga 7 Juni 1944, pasukan Sekutu telah melakukan pemboman terhadap area logistik Jepang di Bosnik sedikitnya delapan kali. Pemboman itu dilakukan oleh Angkatan Udara AS ke-5 (5th AF), Angkatan Darat AS Divisi Infanteri ke-41 yang dikenal sebagai “Jungleers” dan Angkatan Udara Timur Jauh (FEAF). Bosnik merupakan area target pesawat pembom Sekutu karena ditengarai menjadi pusat logistik. Selain Bosnik di Biak, pesawat pembom yang sama juga mengebom Morotai di Halmahera, Maluku Utara.
Pada 23 Mei hingga 13 Juni 1944, menggunakan pesawat pembom B-24, A-20, P-38, B-25, melakukan pemboman terhadap lokasi Borokoe (Burokub) dan Landasan Borokoe. Sebanyak lima kali pemboman dilakukan mulai 23 Mei, 4 Juni, 7 Juni dan 13 Juni sebanyak dua kali. Pemboman itu masih dilakukan oleh pasukan Amerika yang sama, yaitu Angkatan Udara AS ke-5 (5th AF) dan Angkatan Udara Timur Jauh (FEAF). Selain menyerang Biak, pesawat itu juga membombardir Manokwari.
Berdasarkan data, pertempuran pasukan Amerika dan Jepang di Pulau Biak menelan korban tewas sebanyak 435 orang tentara Amerika dan 2.360 orang lainnya luka-luka. Sedangkan di pihak Jepang, ada 6.125 orang yang tewas, 460 orang menjadi tawanan perang dan 360 orang menjadi tawanan perang di Formosa.
Baca Juga: Telusuri Bangunan Pillbox di Manokwari, Jejak “Threatre of Pacific” di Bumi Kasuari
Setelah mengamankan Pulau Biak, Angkatan Darat AS menetapkan Pulau Biak sebagai Pangkalan H (Base H) dan mengembangkan bagian selatan pulau dengan lapangan terbang dan area pangkalan. Biak menjadi US Army Post Office 920 (PO 920).
Dalam penaklukan pasukan Jepang di Pulau Biak, pasukan Amerika menggunakan sedikitnya 14 unit pendukung. Di antaranya, 245th, 246th, 247th Quartermaster Laundry, 50th Ordanance Ammunition Co., 1932nd Quartermaster Truck Co., 745th Sanitary Co., 311th Quartermaster Battalion, 325th Gas Supply Co., 603rd Port Co., 436th Aviation Squadron, 91st Engineer General Service, 85th Engineer Dump Truck Co., 738th Ennngineer Base Depot Co., 1315th Engineer Construction, 993rd Quartermaster Service Co. dan 1518th Engineer Water Supply Co.
Goa Jepang: Salah Satu Tinggalan Perang Dunia II di Biak
Sejak 1942, goa alam di tengah hutan itu telah dikembangkan oleh Jepang sebagai lokasi benteng pertahanan alami. Ribuan prajurit dan peralatan tempur berat ditempatkan di dalamnya hingga tahun 1944. Ketika 27 Mei 1944 pasukan Sekutu mendarat di Pulau Biak, mereka mulai mencari lokasi penyimpanan logistik Jepang.
Pada 7 Juli 1944, Jumat dini hari, Divisi Infanteri AS mulai mendekati mulut goa itu. Untuk menghilangkan gangguan, tentara AS mulai memompa drum berisi gas ke area mulut goa dan membakarnya. Sebanyak 3000 tentara Jepang pun tewas di dalam goa tersebut.
Baca Juga: Pengajian Rahmat deng Sagala Caritanya
Goa Jepang atau dalam bahasa setempat disebut Abyab Binsari memiliki arti “nenek”. Itu karena sebelum Jepang tiba dan mendiami goa tersebut, menurut cerita, ada seorang nenek yang tinggal di sekitar sana. Tetapi setelah Jepang datang, nenek itu secara misterius menghilang. Tidak ada jejaknya sama sekali.
Untuk mencapai Goa Jepang dari Pelabuhan, dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat atau roda dua. Hanya memerlukan waktu sekitar 3-5 menit saja untuk tiba disana. Kini, sebuah topi tentara Jepang menjadi ikon selamat datang, yang menyambut setiap pengunjung. Di sebelahnya, tampak sebuah poster terpampang. Isinya, ucapan selamat datang untuk Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kanasugi Kenji.
Sebuah Pusat Informasi menyambut pengunjung setelah memasuki gerbang berupa topi Jepang itu. Setelah mengutarakan maksud kedatangan, pengunjung bisa langsung melihat goa Jepang yang berada di bagian sebelah kanan, atau museum tinggalan perang di sebelah kiri jalan. Sesuai urutan, sebaiknya melihat Goa Jepang dulu, baru melihat museum.
Jalanan di lokasi wisata Goa Jepang itu kini telah dilapisi dengan konblok. Konsekuensinya, lokasi yang lembab dan sering diguyur hujan akan memunculkan lumut di atas konblok tersebut. Ini akan menjadi licin pada saat masih pagi hari dan matahari belum menyinari kawasan itu. Beberapa kali, sepatu Penulis juga sempat tergelincir dan hampir jatuh saat berjalan di atasnya.
Mengingat dulu sekitar 3.000 prajurit Jepang tinggal di dalamnya, tentulah goa itu terbilang besar. Bila dilihat sepintas dari atas, menghubungkan lobang satu dengan lobang lainnya, memang luas goa itu terbilang besar. Kita bisa membandingkan dengan KM Labobar yang dapat menampung sekitar 3.000 hingga 4.500 penumpang.
Selain tinggalan Perang Dunia II berupa pesawat tempur Jepang, kendaraan, senjata ringan dan berat, teleskop, radio komunikasi, peralatan pribadi prajurit, juga beberapa foto (asli) yang menggambarkan suasana pada masa itu. Disana juga terdapat peta Pulau Biak dan sekitarnya serta foto Jenderal Douglas MacArthur yang menjadi legenda dengan strategi “lompat katak”.
Baca Juga: Melukis untuk Cari Uang Deng Dapa Nama
Sejak kedatangan Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji, di lokasi Goa Jepang telah dibangun semacam tugu peringatan (memorial monument). Lokasinya sebelum pintu masuk Goa Jepang Abyab Binsari, sejajar di sebelah kanan. Seorang Jepang berusia lanjut dengan rutin membersihkan rerumputan liar dan menata bebatuan yang ada di kawasan itu. Dia merupakan adik dari serdadu Jepang yang tewas di tempat itu.
Penutup
Tinggalan Perang Dunia II atau Perang Pasifik (Theatre of Pacific) di Papua, tersebar di berbagai lokus. Mulai dari Fak Fak, Raja Ampat, Sorong, Tambrauw, Manokwari, Manokwari Selatan, Babo (Bintuni), Wondama, Nabire, Serui, Sarmi, Jayapura hingga Biak dan pulau-pulau sekitarnya.
Pada masa Belanda, Biak disebut sebagai Schouteneilanden karena orang pertama yang dianggap menemukan Pulau Biak adalah Willem Cornelisz Schouten. Schouten merupakan seorang nahkoda kapal “Eendracht” yang mendeskripsikan Pulau Biak sebagai “sebuah pulau hijau dan menyenangkan” (1616).
Sebagaimana Pulau Doom di Sorong yang menjadi pusat pemerintahan pada saat itu, Pulau Biak juga sejak lama menjadi pusat pemerintahan. Silih berganti kontrolir dan residen Belanda ditugaskan disana. Adakalanya jabatan kontrolir dan residen dipegang orang yang berbeda, pada saat lainnya, dirangkap oleh satu orang yang sama.
Setelah Jepang menguasai Pulau Biak hampir dua tahun lamanya, pasukan Sekutu di bawah Amerika Serikat pun mulai dapat menguasai pulau itu sebagai basis pertahanan dan pangkalan angkatan lautnya. Melalui Pulau Biak, Morotai di Halmahera pun dapat dikuasi kembali oleh Sekutu, dan terakhir Filipina pun dapat diambil alih.
Baca Juga: Kenangan pada Kota Ambon dalam Lukisan Poster dari Masa ke Masa
Kini, 78 tahun telah berlalu, Pulau Biak mulai ditata kembali menjadi kota yang maju. Bekas tinggalan Perang Dunia II dilanjutkan fungsinya: ada yang difungsikan sebagai perkantoran, sekolah, tempat/obyek wisata. Beberapa tinggalan lainnya, hanya sedikit saja mendapat sentuhan pemeliharaan. Bahkan, beberapa tinggalan lain menjadi terbengkalai dan seolah tidak terawat. Pillbox peninggalan Jepang di Komplek Pangkalan Angkatan Laut Biak, misalnya.
Pillbox ini telah tertimbun oleh tanah dan tidak terlihat lagi keberadaannya. Padahal secara cagar budaya, dapat didaftarkan ke Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pemeliharaan dan dapat dijadikan sebagai obyek cagar budaya. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 dan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2022.
Bila semua ini dilakukan, maka masyarakat setempat akan dapat memahami sejarah Perang Pasifik di aras lokal mereka. Ini selain akan meningkatkan literasi, juga akan dapat menjadi arah pembangunan Biak ke depannya. Pembangunan berlandaskan sejarah Biak yang panjang. Semoga!(*)
Manokwari, 1 Agustus 2022
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi