Amboina

Dramatisasi Jalan Salib Hidup di Ambon: Ketika Kota Musik Berkidung Tentang Pengorbanan dan Persatuan

Di pagi yang hangat pada Sabtu, 19 April 2025, langit Ambon perlahan disapu cahaya keemasan. Suasana di jantung Kota Ambon berubah menjadi khidmat dan penuh haru. Bukan karena kemeriahan pesta atau keramaian pasar, melainkan karena denting doa dan langkah perlahan umat Kristiani yang mengikuti Dramatisasi Jalan Salib Hidup Oikumene.

Ribuan pasang mata menatap lurus ke depan, mengikuti setiap adegan dramatis tentang penderitaan Yesus Kristus menuju Golgota. Tangis tertahan, suara doa lirih, dan aura syahdu menyelimuti jalanan.

Diselenggarakan oleh Gereja Paroki Katedral St. Fransiskus Xaverius, bersama Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM), prosesi ini menjadi salah satu kegiatan rohani paling menyentuh dan ikonik di Maluku. Lebih dari sekadar ritual, Dramatisasi Jalan Salib ini adalah peristiwa budaya, sosial, dan keagamaan yang menjelma jadi napas kerukunan masyarakat di kota yang dikenal dengan sebutan Ambon City of Music ini.

Makna di Balik Luka: Jalan Salib Sebagai Refleksi Iman

Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, hadir langsung dalam prosesi tersebut. Dalam sambutannya, ia menyampaikan bahwa Jalan Salib bukanlah sekadar pertunjukan. Ini adalah cara umat Kristiani menghayati penderitaan Kristus sebagai bentuk penebusan dosa umat manusia.

Namun, Gubernur juga menegaskan, bahwa makna sesungguhnya tidak terletak hanya pada narasi luka dan penderitaan. Bagi Hendrik, Jalan Salib adalah simbol penyerahan diri secara total kepada Sang Khalik. Sebuah pengingat bahwa di balik kematian, ada kemenangan; di balik penderitaan, ada kebangkitan. Sebuah pesan cinta tak terbatas dari langit untuk manusia.

Ia pun mengajak umat Kristiani untuk tidak terjebak dalam ritual yang sekadar simbolik. Melainkan menghidupi makna di balik setiap langkah, setiap jeritan, dan setiap tetes air mata dalam prosesi tersebut.

“Ini adalah ajakan untuk bertobat, untuk hidup dalam kasih, dan untuk memperjuangkan keadilan,” ujarnya penuh harap.

dramatisasi jalan salib
Dramatisasi Jalan Salib Hidup di Ambon.(Foto: Mario Zacharias Hallatu)

Toleransi yang Tertanam dalam Tradisi Maluku

Yang membuat prosesi ini begitu istimewa bukan hanya karena kekhusyukannya, tetapi juga karena siapa ikut menyaksikannya. Warga kota dari berbagai latar belakang etnis, golongan dan agama, memadati jalan untuk menonton Dramatisasi Jalan Salib Hidup tersebut.

Kehadiran lintas iman ini menjadi cerminan nyata dari semangat hidup orang Maluku. Nilai-nilai seperti Sita Kaka Walike (kita ini saudara), Ain ni Ain (satu rasa, satu hati), hingga Masohi (gotong royong) hidup bukan hanya dalam kata-kata, tapi dalam aksi nyata.

Tidak ada sekat, tidak ada curiga. Hanya persaudaraan dan penghormatan pada iman masing-masing. Inilah potret sejati Indonesia: beragam, tapi tetap satu.

Ungkapan lokal seperti Rete Mena Bara Sehe hingga Lolik Lalen Vedak Fena, menjadi penanda bahwa toleransi bukanlah konsep yang diimpor. Ia tumbuh dari akar budaya, dari petuah nenek moyang, dari hidup sehari-hari orang Maluku.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2Next page

Berita Serupa

Back to top button