LingkunganPendapat

Perlindungan Hutan Adalah Jalan Pulang Bagi Masyarakat Adat

PENDAPAT

Perjuangan melindungi hutan di Maluku bukan hanya tentang menjaga pohon tetap tegak, tetapi tentang mempertahankan identitas, hak, dan keberlangsungan hidup masyarakat adat.

Pagi itu, suara riuh gemericik air di sungai yang biasa mengalir deras di kaki Gunung Binaiya di Pulau Seram, Maluku, tak lagi keras terdengar. Sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat, tempat mereka memandikan hasil bumi dan mencuci diri setelah seharian bekerja di ladang, kini mulai mengering. Warnanya berubah keruh. 

Di sekelilingnya, pepohonan yang dulu rimbun, menjadi korban penggundulan. Beberapa pohon besar, yang dalam mitos dan cerita leluhur mereka dianggap sebagai penjaga alam, kini terbaring tumbang. Terbelah menjadi kayu-kayu besar yang siap diangkut.

Di tengah heningnya pagi yang tak lagi bersahabat ini, seorang petani tua bernama Bapak Ulu (bukan nama sebenarnya), yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya menanam cengkeh dan pala di tanah adat, memandang dengan perasaan teriris. 

“Kami sudah hidup bersama hutan ini sejak nenek moyang. Tapi sekarang, hutan ini seakan-akan kehilangan jiwa,” katanya dengan suara pelan namun penuh penyesalan. “Kami takut, jika hutan ini hilang, kami juga akan hilang.”

Masyarakat adat di Pulau Seram dan seluruh Maluku kini berada di persimpangan jalan yang sulit. Hutan adat mereka, yang selama ini menjadi penyangga kehidupan dan budaya mereka, tengah terancam oleh arus besar eksploitasi sumber daya alam. 

Maluku, dengan bentang alam yang kaya akan hutan adat, kini menghadapi dilema besar: antara mempertahankan warisan ekologis dan budaya atau tunduk pada kepentingan ekonomi jangka pendek yang menggoda.

UU Kehutanan Tak Sejalan dengan Putusan MK 35

Masalahnya dimulai dengan ketidakjelasan hukum yang melingkupi keberadaan hutan adat. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012, hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara. Putusan ini memberikan harapan besar bagi masyarakat adat untuk memiliki hak penuh atas hutan mereka. 

Namun, kenyataannya, implementasi dari keputusan tersebut masih berjalan lambat. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menjadi acuan pengelolaan hutan negara, belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan putusan MK tersebut, terutama dalam hal pengakuan dan perlindungan hutan adat.

Saadiah Uluputty, anggota Komisi IV DPR RI, seperti dikutip Potret Maluku (potretmaluku.id), menyoroti masalah ini di Gedung DPR, Kamis, 7 Mei 2025. Salah satu Srikandi Maluku di Gedung Parlemen ini, menyoroti sejumlah pasal yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja dan menyisakan berbagai persoalan hukum, ekologi, dan sosial yang belum terselesaikan.

“Revisi UU Kehutanan menjadi keniscayaan. Kita harus melihat kembali pengakuan hukum terhadap hutan adat, terutama di Maluku, yang belum mendapatkan pengakuan yang seharusnya,” katanya. 

Sampai saat ini, hanya dua negeri adat di Maluku yang hutan adatnya diakui oleh negara, yakni di Negeri Hukurila dan Negeri Hutumuri. Ironisnya, dua hutan adat tersebut berada di Kota Ambon padahal hutan adat di Maluku jumlahnya jauh lebih banyak. Bahkan menurut informasi, bukan hanya di Kepulauan Maluku, di wilayah bagian timur Indonesia, baru dua hutan adat itulah yang sudah diakui.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2 3 4 5Next page

Berita Serupa

Back to top button