Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)
Kreatif dan kreativitas itu kunci untuk dapat uang. Itu manfaat jangka pendeknya. Paling tidak, itu yang beta rasakan sejak masih anak-anak, pertengahan tahun 70an sampe 80an. Dampak jangka panjangnya, dengan modal kreativitas itu, beta bisa iko kegiatan, bergabung di kelompok, bahkan pigi ka tampa-tampa yang seng dibayangkan sebelumnya.
Asal jang balagu sa. Jang jual mahal, deng seng gengsi. Orang bilang, sepanjang itu halal, lakukan. Itu mungkin juga yang bikin beta parna karja apa saja: bikin nama oto, pi bajual, sampe jadi kanek juga parna.
Bikin nama oto itu karena angkot di Ambon pake nama, selain nama trayek. Biasanya, pemilik semprot nama oto di pintu muka, kiri-kanan. Beta hanya bikin polanya saja di karton manila, lalu potong deng piso cutter mengikuti bentuk huruf yang su dibuat. Nanti orang lain yang semprot pake cat atau Pylox. Paling sering itu bikin Om Amir Andalas pung nama oto “Dewy”, trayek LIN III. Antua kebetulan masih tetangga deng katong.
Kadang juga dapa orderan bikin tulisan di kaca depan oto atau di blakang pake stiker warna. Ada satu stiker yang beta bikin, pesanannya Mansyur, anaknya Daeng Baddu, yang bikin dia dapa masalah. Mansyur ini sopir, trayek Air Salobar. Setelah dia pulang dari Jakarta, rupanya dia terpengaruh bahasa gaul ibu kota. Jadi, begitu dia kembali bawa oto, dia pesan bikin tulisan “ngegele” untuk dipasang di kaca otonya. Seng lama setelah dipasang, tulisan itu diminta oleh Polantas untuk dilapas. Maklum, artinya jelek: isap ganja. Ya, Tuhaaan.
Bikin tulisan bagini butuh ketrampilan menulis indah dengan macam-macam variasi. Parlu berimajinasi supaya bentuk hurufnya menarik. Bukan hanya nama oto, beta juga parna diminta bikin tulisan pesan-peaan edukatif untuk Rumah Sakit Tentara (RST) dr. J.A. Latumeten. Tulisannya pake spidol basar di karton manila. Bunyi pesannya macam-macam, sesuai dengan kalimat itu, akan dipasang di mana. Antara lain: “jagalah kebersihan”, “jangan meludah di lantai”, “jangan membuang sampah sembarangan”, dan “alas kaki, harap dilepas”.
Beta su lupa, bagaimana beta bisa dapat orderan itu. Yang pasti, beta diperkenalkan oleh dr. Mansur Tuasikal, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Waktu itu, tahun 1986, beta masih klas 2 SMA. Karumkit, saat itu, Mayor CKM dr. Mudammad.
Belakangan, beta dengar dr. Mansur Tuasikal ini meninggal saat musibah kecelakaan pesawat Mandala Ailines MDL 660, tanggal 24 Juli 1992. Pesawat jenis Vickers Viscount yang antua tumpangi dari Makassar, menabrak bukit Inahau di Kampung Liliboi, Pulau Ambon. Akibatnya, 64 penumpang, deng 7 awak pesawat tewas.
Beta juga parna bikin spanduknya Golongan Karya (Golkar), saat diajak bergabung di Sanggar Dinasty, yang sekretariatnya di belakang Toko Enam. Pendiri sanggar ini adalah Tat Padang, katong panggel antua Abang Tat. Antua pung bapak itu Usman Padang, Ketua DPRD Maluku, dua periode (1972-1982). Usman Padang pung kakak juga pejabat, yakni Muhammad Padang, Gubernur Maluku ketiga, menjabat tahun 1960-1965. Pengerjaan spanduk ini semacam fund raising untuk sanggar.
Beta liat, Sanggar Dinasty ini semangatnya dong mau bikin mirip Swara Mahardhika, kelompok seni yang didirikan putra bungsu Bung Karno, Guruh Soekarnoputra, tahun 1977. Makanya, tamang-tamang di Sanggar Dinasty, saat itu, bawakan tarian dengan lagu “Lenggang Puspita”, yang dinyanyikan Ahmad Albar. Lagu ini merupakan bagian dari album pergelaran “Gilang Indonesia Gemilang”, yang dirilis tahun 1986.
Selain bikin spanduk Golkar deng tamang-tamang, beta juga diminta desain busana anak-anak parampuang yang iko manari. Desain yang dibikin waktu itu, terinspirasi dari baju penari flamenco. Bajunya banyak renda dengan warna-warni mencolok: merah, kuning, hijau, biru. Dong kemudian tampil di Gedung Wanita Ambon.
Sesekali, beta juga karja musiman, sebagai kanek (kondektur), saat libur sekolah. Kebetulan, katong pung tamang ada beberapa yang jadi sopir. Selain Mansyur Baddu, juga Salim, anaknya Tanta Mimi, deng Nyong. Dua orang ini sopir trayek berbeda. Salim bawa oto trayek LIN III, yang rute Tana Lapang Kacil, sedangkan Nyong bawa oto trayek Air Salobar.
Paling sering itu jadi kanek par Salim. Biasanya, kalo pas liburan, dia minta dia pung kanek tetap istirahat do. Katanya, “Anak skola mau ganti dolo, untuk cari uang SPP.” Dolo itu, meski skola di skola negeri, masih bayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Padahal, kalo beta jadi kanek, kebanyakan uangnya hanya untuk bali kaset penyanyi kesayangan atau yang lagi hits saat itu. Bukan untuk bayar SPP.
Ada banyak carita deng Salim ini. Dia bagitu percaya beta. Orangnya baik. Sehingga, uang ongkos naik oto setiap rit, dia seng langsung ambe akang. Tapi beta tetap pegang. Nanti sebelum pi setor ka bos, saat mau kasi pulang oto, baru dia hitung penghasilan hari itu. Sebagian basar disetor ka pemilik mobil, sebagian dia ambil, sebagian kacil dia kasi par beta, sebagai upah kanek hari itu.
Maklum jua, saat itu ada istilah kanek tou. Kanek yang tukang tilep, kasi sambunyi uang di tampa-tampa rahasia. Bisa di lipatan kaki calana, dekat tampa rim/ikat pinggang, atau tampa-tampa tersembunyi, yang niatnya memang seng jujur. Ini penggelapan! Kalo beta iko dia, uang setoran aman.
Salim ini kalo dia ada suka parampuang, dia minta tolong beta tulis surat cintanya. Kata-katanya itu diambil dari gabungan lirik-lirik lagu cinta yang ada di sampul album kaset. Jadi beta hanya berfungsi sebagai editor saja. Soalnya, syairnya su bagus, bisa mewakili perasaan orang yang lagi jatuh cinta.
Kutipan lirik-lirik lagu diambil dari lagu-lagu cengeng yang memang lagi tren. Dolo itu, ada sebutan lagu cengeng untuk lagu-lagu pop manis yang memang iramanya mellow. Paling menonjol itu lagu-lagu yang diproduksi oleh JK Records. Artis-artis JK Records antara lain, Meriam Bellina, Dian Piesesha, Lydia Natalia, deng Heidy Diana. Sedangkan, komposer yang kondang di masa itu, antara lain Pance Pondaag, Deddy Dores, dan Obbie Messakh.
Ada juga perusahaan recording Lolypop, yang memproduksi lagu-lagu yang sama melankolisnya. Perusahaan rekaman ini didirikan oleh musisi dan pencipta lagu, Rinto Harahap. Dia pung artis-artis yang diorbitkan juga banyak, seperti Nia Daniati, Betharia Sonata, Christine Panjaitan, deng Iis Sugianto. Masih ada lagi Musica Studio, yang mengorbitkan artis seperti Grace Simon, Rafika Duri, Dian Mayasari, Andi Meriem Matalatta, deng Harvey Malaihollo. Saking populernya lagu-lagu cengeng, sempat diprotes oleh pemerintah Orde Baru. Menteri Penerangan, Harmoko, menyebut lagu-lagu bagini ini “melumpuhkan semangat” pembangunan nasional.
Era itu memang, lagu-lagu yang diputar di angkot bisa jadi trend setter. Katong bisa dengar lagu-lagu yang lagi populer di angkot dengan kualitas sound system lumayan bagus. Orang bilang, era 80-an merupakaan era keemasan musik karena samua genre hidup, bisa diterima masyarakat. Sesuai selera. Lagu pop, rock, balada, country, jazz, sampe dangdut samua ada. Jang tanya lai kalo irama break dance deng lagu-lagu remix semacam disco-dut (disko dangdut) juga bisa didengar.
Tahun 80-an itu bayak skali komposer, musisi deng penyayi asal Maluku yang wara-wiri di blantika musik nasional. Bob Tutupoly, Broery Marantika/Pesolima, Utha Likumahua, Chris Manusama, juga Jopie Latul yang meledak lewat album Ambon Jazz Rock. Balong lai, lagu-lagu pop etnik yang dibawakan Ongen Latuihamalo. Salah satu lagunya, “Oya”, begitu terkenal, sampe-sampe memunculkan frasa “jang biking muka bangka”. Seng sala kalo pada Oktober 2016, Ambon dideklarasikan sebagai Kota Musik Dunia.
Ada fenomena menarik, kala itu, di mana sopir suka pacaran deng anak skolah. Jadi kalo lia ada cewe pake baju seragam, dudu di muka di samping sopir, seng turun-turun, itu akang tu. Su pasti, anak itu bolos, gara-gara paitua sopir hehehe. Bukan cuma sopir bisa bagaya, kanek juga bisa. Kalo oto balong stop, begitu ada penumpang bilang “kiri muka”, langsung kanek balompat bale blakang, deng gaya baputar 90 derajat. Ini keahlian yang kadang sengaja dipamerkan.
Kalo Nyong pung carita laeng lai. Dia ini hobi nonton bioskop. Penggemar Rano Karno. Makanya dia ada tato dagunya supaya mirip tai lalat Rano Karno yang ikonik itu. Rano Karno pung lawan main itu kalo bukan Yessy Gusman, Lydia Kandou. Kalo dia pulang nonton film, pasti dia carita lengkap dengan potongan-potongan dialognya. “Puspa Indah Taman Hati”, “Nostalgia di SMA”, deng “Gita Cinta dari SMA” adalah beberapa film yang dia nonton lalu dia carita akang dengan penuh semangat.
Jadi kanek itu, risikonya baku dapa deng orang yang katong kanal. Seng usah malu. Biasa saja. Kadang, katong bermurah hati, seng kasi bayar. Meski ongkos oto juga seng seberapa —deng yang pasti ini bukang katong pung oto— tapi seng kasi bayar penumpang yang dikenal itu lumrah, dan bisa dipahami sopir. Mungkin karena sudah tabiat orang Indonesia yang bae deng orang laeng.
Suatu hari, waktu beta kanek oto trayek LIN III, parna yang naik itu Ibu An Siahailatua, Kepala SMP Negeri 3. Antua masih inga beta. Padahal waktu itu beta su skolah di SMA Negeri 2 Ambon. Bagitu antua dudu, lalu lia beta, antua hanya senyum deng manggut-manggut. Antua malah kasi jempol. Antua turun di Jalan dr. J. Latumeten, dekat Polres Ambon dan Pulau-pulau Lease di Perigi Lima. Kantor Mapolres memang seng jauh dari sekolahnya, di Jalan dr. Apituley, yang juga merupakan beta pung almamater.
Gowa, 12 Juli 2021
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi