Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)
Dolo, saat masih aktif di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, antara 1998-2004, katong selalu kampanyekan penghapusan pekerja anak. Atau yang lebe keras lagi, menentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA). Tapi supaya orang seng sala mangarti, beta biasa perjelas, kasi contoh pake diri sandiri.
Beta sampaikan bahwa bedakan pekerja anak deng anak yang bekerja. Beta ini produk anak yang bekerja, yang masih berkesempatan skola, deng masih bisa barmaeng. Sebagai anak yang bekerja, katong bekerja untuk bantu orang tua, sebagai proses pembelajaran agar bisa mandiri. Tapi kalau pekerja anak itu, su cenderung tereksploitasi, hampir seng ada waktu untuk barmaeng, dia bekerja par orang laeng dengan menerima upah, serta kemungkinan besar su seng skola. Karena waktunya tersita untuk bekerja deng cari uang.
Kalo bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, kondisinya lebe parah lai. Karena pekerjaan anak itu su pasti berpotensi mengganggu tumbuh kembangnya, bisa menghambat perkembangan fisik, menggangu mental dan kesehatan jiwanya, bahkan moral si anak. Anak-anak yang bakarja di pasar seng mengenal waktu, anak-anak yang molo pada kedalaman tertentu sampe dia pung gendang telinga pica, adalah beberapa di antaranya.
Nah, beta ini anak yang bekerja. Memang saat itu karena alasan ekonomi. Tapi juga karena beta kreatif melihat peluang, memanfaatkan akses, terutama saat kerja musiman, deng karena memanfatkan bakat yang dimiliki, yang dikonversi jadi potensi ekonomi.
Jadi, akang pung carita bagini, biar seng talalu serius. Beta dolo-dolo, sejak SD, itu su bakarja macam-macam atau su bikin macam-macam par cari uang. Beta deng sodara parna jual gula-gula berhadiah. Parna jual kue. Parna juga bantu-bantu orang jual es hunkwe yang warna-warni itu, lalu nanti dapa persen. Daeng Rahmatia, istrinya Daeng Sangkala yang pung es. Es hunkwe ini parnah top, selain es lilin deng es mambo. Akang pung bentuk mirip kue lapis, tapi dingin. Karena kasi maso di kulkas. Dolo itu, bisa dihitung deng jari, brapa orang yang pung kulkas. Kulkas, yang orang biasa bilang akang lamari es, masih merupakan barang mewah.
Beta juga parna diajak Daeng Mamu, iko antua bajual di Pasar Gotong Royong. Daeng Mamu ini baku spupu dengan H. Rapi Lewa, pemilik jualan itu. Dorang dua ini masih katong pung keluarga, masih baku spupu satu kali. H. Rapi Lewa saat itu, boleh dibilang pedagang yang cukup besar. Antua jualan kol, wortel, kantang, deng talor. Talornya macam-macam ada talor ayam ras, ayam kampong, talor bebe, deng talor asin. Saat beta diajak jualan, janjinya mau dibelikan baju baru kalo pas lebaran.
Beta inga, beta pung tugas itu kalo pagi, pilih-pilih kentang, wortel dan kol yang mulai busuk. Kalau su lia ada yang coklat lembe ba aer, tanda-tanda busuk, maka beta akang potong, buang bagian kentang atau wortel yang busuk. Sedangkan kalo kol, cukup kupas bagian busuknya saja. Kentang dan wortel yang su dipotong dan dibuang busuknya itu dijual per tampa. Ditanding, istilahnya. Seng ditimbang lagi, seperti yang masih bagus. Karena yang bagus-bagus itu biasanya dijual kiloan.
Laeng lai kalo mau sortir talor. Cukup pake senter. Talornya di pegang dalam genggaman, tapi jang talalu karas. Bisa-bisa talor pica. Kemudian disenter. Kalau ada bagian yang gelap, yang seng tembus cahaya, maka bisa diduga talornya mulai busuk. Talor setengah busuk ini dikasi pisah, lalu dijual dengan harga murah. Jadi, pembeli itu tau dan sadar bahwa dia bali talor setengah busuk. Biasanya, talor jenis ini dong rebus. Nanti bagian busuknya dibuang, yang masih bae bisa dimakan. Itu pekerjaan saat beta masih SD. Cuma karja musiman, saat libur puasa.
Beta juga parna iko bantu-bantu cuci piring di restoran coto Makassar, saat SMP. Waktu itu, restoran milik H. Rapi Lewa ini baru buka. Restorannya di dalam kawasan Taman Hiburan Rakyat (THR) di Waihaong, awal 80-an. Kalo sore, beta deng Kak Rusly (Cully), pi antar buras ka sana, saat THR balong buka. Buras ini terbuat dari baras, yang dikukus di daun pisang, yang diikat jadi satu bagian. Beta pung Kak Rusly, saat itu pung motor Honda 70. Suatu hari, dia dapa gigi dari anjing herder, saat pi antar buras, sampe kaki luka.
THR ini memang baru aktif kalo malam. Di THR ini dominan tampa hiburan malam. Ada diskotik, tampa maeng billiard, juga berbagai permainan ketangkasan. Ada permainan lempar gelang-gelang di botol bir, yang musti dikasi maso beberapa satu kaligus. Memancing ikan di kolam buatan, ada pula lempar anak panah/busur, dan lempar bowling. Kalo seng salah, juga ada permainan yang agak canggih: mesin dingdong atau game arcade. Selain itu, ada restoran deng stan-stan yang jual macam-macam produk. Sesekali, pemerintah juga bikin pameran pembangunan di sini.
Jadi kalo pi ka THR malam, setelah pulang skola siang, beta seng lewat pintu utama. Karna kalo lewat situ, pasti pake karcis. Harus bayar. Supaya lolos dari kena karcis, beta lewat blakang. Lewat lobang pagar tembok, sebagai pembatas antara kawasan THR dengan perkampungan warga. Sebelum jadi kawasan THR, tanah lapang ini dijadikan lapangan sepakbola. Akang memang cukup luas. Apalagi akang pung tampa berbatasan langsung deng pante.
Namanya juga THR, batul-batul jati tampa hiburan rakyat. Tampa pertemuan rakyat dari berbagai kelas sosial. Lama-lama THR itu tutup, karena jadi lokasi esek-esek terselubung. Maklum, para pekerja hiburan malam dong juga ada yang tinggal di sini. Selain itu, kawasan itu jadi semacam lokasi perjudian yang dilegitimasi pemerintah. Meski ini mungkin eksesnya saja. Potensi perjudian itu terjadi karena ada permainan ketangkasan deng permainan billiard. Belum lagi peredaran minuman keras. Samua lengkap di situ. Tapi lama-lama THR terasa kumuh dan kurang terawat.
Bicara billiard, dolo katong pung meja billiard ukuran mini. Hanya sebesar meja ruang tamu. Katong kasi sewa akang par tamang-tamang maeng. Kalo sudapa uang sewa, beta su bisa pi nonton di Bioskop Oriental, di Waringin. Billiard ini beta pung kakak yang beli. Kak Rustam (Ottang). Saat itu dia sering pi ka pulau-pulau di Maluku, terutama daerah penghasil cengkih deng minya kayu putih. Dong pi lakukan perdagangan antar pulau. Tapi pake pendekatan barter. Dong pi di Namlea, di Pulau Buru, deng beberapa tampa yang laeng.
Dong biasa bawa kaset lagu-lagu bekas untuk ditukar deng cengkih. Dorang juga bawa video home system (VHS) untuk dong putar par warga di desa-desa yang dong kunjungi. Dong putar film dari VHS itu untuk warga, nanti warga bayar pake cengkih. Jadi setiap kali, beta pung Kakak Ottang itu pulang, pasti bawa cengkih beberapa karong tarigu. Pernah juga dia pulang dari Pulau Buru, dia bawa pulang lukisan-lukisan kaca hasil karya para tahanan politik (tapol) di sana.
Pulau Buru, semasa Orde Baru, terkenal sebagai tempat pembuangan tapol PKI, mereka yang terlibat pemberontakan G30S. Yang bikin beta kagum waktu itu karena karya seni lukis kaca yang dong bikin, bukan hanya gambar bunga atau alam tapi juga gambar lambang negara, Garuda Pancasila. Lukisan-lukisan kaca ini butuh skill tersendiri karena digambar secara terbalik. Alias gambar dari dalam. Luar biasa.
Gowa, 1 Juli 2021
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi
