Oleh: Steve Gaspersz (Warga Kota Ambon)
Belum seminggu berselang sepenggal wilayah jagad maya hingar-bingar dengan cercaan dan umpatan kepada seorang pendongeng kuliner, dalam satu program podcast. Apa pasal? Ia dianggap melecehkan masakan khas suatu komunitas lokal di kepulauan Indonesia Timur.
Ujaran dan bahasa tubuhnya ditafsir sebagai bentuk penghinaan terhadap harga diri orang Tanimbar Kei, komunitas yang pernah menerimanya dengan keramahan jamuan makan “ikan kuah kuning”.
Derasnya hujan gugatan kepadanya menekuk lututnya untuk meminta maaf secara terbuka, atas apa yang sempat terlontar dari mulutnya. Sengaja atau tidak sengaja ia melontarkan pernyataannya, hanya ia yang tahu. Tulus atau terpaksa meminta maaf, ia toh sudah memutuskan melakukannya.
Hampir dua tahun penuh kita telah menjalani hidup dengan kondisi serba terbatas, hujan informasi di medsos yang tak terbendung oleh nalar kebenaran atau kepalsuan, tekanan ekonomi dalam keluarga karena kuatnya tuntutan yang harus dipenuhi sepanjang masa krisis pandemi, seliweran kabar duka yang memberondong linimasa medsos nyaris tanpa jeda, dan kegundahan terhadap rapuhnya kesehatan justru di tempat-tempat harapan terjadinya kesembuhan oleh para tabib farmasi.
Seluruh realitas pahit itu menyesaki rongga-rongga kehidupan dan membuat helaan nafas kita makin berat apalagi di tengah krisis tabung oksigen yang konon harganya meroket tinggi.
Belum lagi turun tensi emosi kita dengan peristiwa “ikan kuah kuning”, nalar kita kembali dibombardir oleh dua tayangan paradoks. Yang satu memperlihatkan ketegasan petugas pemerintah dalam menertibkan mama-mama papalele ikan karena tidak memiliki surat vaksin.
Tidak ada negosiasi. Ujungnya adalah “hukuman” karena mama-mama papalele itu dianggap tidak taat protokol kesehatan (prokes). Petugas pemerintah dengan gagah menyuruh mereka berdiri dan menyanyikan salah satu lagu Sekolah Minggu.
Mama-mama papalele pun dengan patuh menjalani “hukuman” itu demi berlanjutnya kehidupan mereka di hari itu jika ikan-ikan mereka terjual. Soal harga diri? Ah, mungkin lebih baik menguburnya ketimbang ikan-ikan mereka jatuh harga karena membusuk.
Selang beberapa jam saja, linimasa medsos kembali dihujani komentar terhadap tayangan sejumlah pejabat pemerintah yang konon usai syukuran dan berjoget ceria di salah satu kedai kopi. Salahkah orang berjoget dan bersenang-senang?
Tentu tidak salah tapi tidak pas. Mereka berjoget mengikuti orkes tanpa patuh pada prokes. Mereka menganggapnya tidak salah. Hanya saja mengguratkan keperihan karena jogat-joget itu berlangsung di tengah-tengah keprihatinan mendalam bangsa ini – sekali lagi, bangsa ini – didera oleh merebaknya rakyat yang sakit, yang tumbang hari demi hari entah karena tak tertangani oleh rumahsakit yang penuh, atau karena menurunnya imun akibat kurang nutrisi.
Tiga tayangan video tremor tersebut tidak perlu menggiring opini kita pada soal benar atau salah. Dalam situasi serba kalut ini apalagi yang bisa katakan sebagai kebenaran dan kepalsuan, jika batas keduanya kian melebur dalam hiper-realitas?
Namun toh di tengah kegalauan pandemi ini kita sebagai warga bangsa, termasuk warga kota ini, tidak boleh kehilangan kepekaan untuk tetap menyusun fragmen-fragmen solidaritas sosial agar kehidupan bersama tetap terkawal dengan selamat.
Fondasi terpenting dari solidaritas sosial tersebut pada hakikatnya adalah etika sosial. Etika sosial sebagai kemampuan untuk merasai denyut-denyut nadi kemiskinan dan penderitaan karena makin tergerusnya nilai kemanusiaan sebagai manusia atau subjek, hanya menjadi sekadar materi atau objek. Etika sosial yang saat-saat ini kian pejal dari cinta kasih karena luruhnya relasi intersubjektif, lantas mengendap menjadi lapisan lumpur sejarah marjinalisasi kaum bau tengik yang melata dengan mulut menganga berharap rizki Tuhan setiap hari.
Di jalanan, para petugas mencipta orkes mama-mama papalele karena mereka tidak patuh prokes. Di kedai kopi, para petinggi yang menyuruh petugas itu, bergoyang mengikuti irama orkes tanpa perlu patuh pada prokes. Dunia kita memang sedang diguncang orkestrasi pandemic tanpa “coda”.
Tapi kita manusia diberi nalar dan rasa untuk tetap menjaga harmoni dalam orkestrasi pandemic ini. Satu demi satu sahabat dan kerabat kita tumbang berjatuhan tanpa sempat membiarkan airmata kita menetes karena hanya menatap di kejauhan pusara tak bernisan. Ada yang pergi bahkan dalam iringan doa yang mencapai kata “Amin”, dengan suara parau melagukan ritme-ritme religi yang tidak bergigi karena meranggas oleh kecemasan akan kematian.
Prokes adalah aturan untuk menjaga kehidupan, tapi bukan orkes jalanan main-main untuk jadi guyonan. Irama orkes memang asyik membuat badan bergoyang dan penting untuk menyegarkan jiwa yang terlindas kekalutan, tapi bukan untuk melangkahi ketentuan prokes. Pejabat atau rakyat, dalam keprihatinan bersama sejagat ini, semua rapuh. Di saat-saat genting ini, panggilan bersama kita hanyalah merawat kehidupan bersama. Maka semua memerlukan etika sosial, etika kehidupan untuk menjaga keselamatan bersama. Ale deng beta. Katong samua. Hiduplah dengan beretika. Itu saja.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi