Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Pemerhati Sosial)
“Tunggu dia lapas susu jua” (=tunggu sampai dia lepas susu/masa memberi asi/menyapih). Ini biasa terjadi saat anak berumur dua/tiga tahun. “Dia su blajar makang” (=dia sudah belajar makan sendiri).
Masa itu adalah suatu masa yang berat khususnya kepada “mama deng ana janjiang” (=mama dan anak yang dijanjikan).
“Ana janjiang” (=anak yang dijanjikan/perjanjian) adalah anak yang “balong par jadi lai orangtatua su janji par kasih par orang” (=belum lahir orangtua sudah berjanji memberinya kepada orang). Sering terjadi pada “ana harta” (=anak yang ditentukan sebagai harta kawin/kepada keluarga ibunya) atau “ana pulang” (=anak yang dibawa kepada keluarga mamanya dan memikul marga mamanya), atau pada beberapa tempat masih ada tradisi “ana tampa kaweng” (=anak yang akan dinikahkan kelak/semacam konteks perjodohan).
Jadi “ana janjiang” itu akan hidup di “mama pung rumah bujang” (=rumah orangtua mama) atau “nene deng tete ambel” (=diambil nenek dan kakek). Jadi “tapisah dari sudara kandong” (=terpisah dari saudara kandungnya).
Namun demikian, “seng boleh kasih waktu masih merah-merah, balong putus susu” (=tidak boleh diberi saat masih bayi, belum selesai masa asi/belum selesai masa menyapih). Ternyata ada norma-norma kesehatan yang sudah dituruti sejak dahulu yang tujuannya adalah untuk kepentingan tumbuh kembang anak sesuai aturan kesehatan saat ini.
Ada pula “ana janjiang” dalam konteks “orangtotua su janji par eso lusa dia musti jadi pandita/imam” (=sudah dijanjikan orangtua agar kelak dia menjadi pendeta/imam”. Ini semacam “dong su biking nasar par ana tuh” (=mereka sudah bernasar tentang anak itu), dan tentu “akang ana tuh tar tau apapa” (=tanpa diketahui anak itu).
“Parcaya ka seng, mar pas ana tuh dia basar la pas abis skolah trus mau pi skolah tampa laeng, tar tambus-tambus, kalu jadi jua skolah tar abis” (=percaya atau tidak, ketika anak itu besar lalu mau bersekolah ke sekolah lain, tidak lulus ujian masuk, atau jika pun lulus, kuliahnya tidak selesai). “Akang konci satu sa, bale jua iko nasar tuh” (=kembali mengikuti nasar orangtua itu). Dan “pasti jadi” (=pasti jadi/berhasil).
Jadi “katong musti lia ana janjiang nih” (=kita mesti memahami anak perjanjian itu) dalam konteks pemenuhan haknya sebagai anak dan dalam konteks doa/janji dengan Tuhan.
Apa pun konteksnya, “musti bilang par dong, biar dong masih alus-alus” (=harus disampaikan kepada mereka walau mereka masih kecil/kanak-kanak). “Jang samua tuh turut orangtatua pung mau” (=jangan semuanya seturut kehendak orangtua), “skali-skali dengar dong lai” (=berilah kesempatan untuk mendengar mereka pula).
Kamis, 29 Juli 2021
Pastori Ketua Sinode GPM Jln Kapitang Telukabessy-Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi