Ketika Teror Covid-19 dan Ancaman PPKM Tak Mampu Membendung Ghirah Askar Abda’u Negeri Tulehu
PENDAPAT
Ritual tahunan pada perayaan Idul Adha ini di mulai dari rumah Bapa Imam. Beberapa ekor kambing kurban secara simbolik didoakan lalu diserahkan kepada rombongan tetua negeri, kemudian dihantar ke rumah Upu Latu / Raja, di-‘syarat’-kan selanjutnya diarak keliling kampung dan berakhir dengan penyembelihan di halaman Masjid Jamie Tulehu.
Tapi ceritanya tidak sesingkat dan sesederhana itu. Yang menjadi istimewa adalah rombongan di belakang iring-iringan tersebut. Selain tarian hadrat yang penuh hikmad dengan barisan rapi, ada ribuan pemuda yang berbondong-bondong dengan pakaian serba putih meramaikan dan menjadi high light dari keseluruhan rombongan.
Rambana / rebana ditabuh, tosi (sholawat & syair sejarah) didendangkan, ibarat bubara mandidi di lautan, para askar Abda’u mulai berlari, melompat dan penuh ghirah saling berebut meraih bendera hijau bertuliskan kalimat tauhid ‘Laa Illaa Haillallah, Muhammad Rasulullah‘.
Ekspresi penuh tekad keberanian terpancar dari wajah-wajah mereka. Tak ada sedikit pun rasa gentar meski adu fisik penuh resiko cedera kerap terjadi. Konon, yang sakit lemah di atas tempat tidur bisa seketika sehat segar bugar jika ikut Abda’u.
Semacam berebut berkah, siapa yang berhasil menyentuh panji Allah dan menegakannya dipercaya akan berlimpah rahmat dan kebugaran. Babak belur sepanjang ritual ini akan terobati dengan darah kurban yang diusapkan dan mengguyur seluruh tubuh, dengan air dari kolam wudhu di pelataran Masjid Jamie atau langsung menceburkan diri ke Wailatu yang juga dipercaya sebagai sumber mata air penuh berkah.
Sedikit mengulik sejarah, menurut budayawan Maluku Alm. Drs. M. Noer Tawainela, yang juga merupakan putra asli Negeri Tulehu, ritual Abda’u telah ada sejak ratusan tahun lalu. Dari berbagai literatul dan kajian yang beliau lakukan, masyarakat Negeri Tulehu sudah menjadi penganut Islam sejak dibentuknya negeri adat dan masuknya para saudagar dari Jazirah Arab, yang melakukan misi dagang sekaligus syi’ar keislam pada abad ke-13 di Maluku. Tepatnya pada tahun 1250an Masehi atau abad ke-8 dalam hitungan tahun Hijriah.
Umumnya yang bersyi’ar adalah para ahlul bait yang merupakan keturunan Nabi SAW dari Fatimah Azahrah dan Ali Bin Abi Thalib RA. Tak heran mengapa selain atraksi wajib dramatisasi sejarah peristiwa kurban antara Allah SWT, Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS, dalam tosi yang mengiringi Abda’u maupun sya’ir-sya’ir yang dilantunkan sehari sebelum, pada pembacaan tawasul di hari Arafah (9 Zulhijah), memuat sejarah perjuangan Hasan dan Husein cucunda tercinta dari Nabi SAW sebagai penyempurna wawasan Islami dari rangkaian perayaan Idul Qurban secara keseluruhan.
Adapun makna Abda’u berasal dari kata ‘Ibdah, yang artinya ibadah atau penghambaan kepada Allah SWT. Sedangkan berebut menegakan bendera adalah simbol sekaligus manifestasi tauhid, iman, penghambaan dan pengakuan masyarakat Tulehu akan keesaan Allah SWT dan Nabi Muhammad adalah benar utusan Allah.
Setiap tahun masuk dalam agenda tetap dan resmi kalender pariwisata Maluku, sayangnya dua tahun belakangan ini Abda’u dilarang pemerintah daerah karena pandemi covid-19. Kebijakan PSBB di tahun 2020 ketika awal wabah kemudian disusul tahun ini dengan ketentuan PPKM mengharuskan salah satu even ikonik Maluku ini ditiadakan.
Masyarakat kecewa, meski alasannya demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Tapi tak habis akal, walau tak semeriah biasanya dan tanpa persiapan matang, Abda’u spontan dilaksanakan lewat inisiatif anak-anak muda Negeri Tulehu, yang melawan dan gerah terhadap kebijakan PPKM. Jadilah siang kemarin Abda’u punya nuansa dan sensasi lain. Nuansa perlawanan yang jika diberi judul yang pas adalah “Ketika Teror Covid Dan Ancaman PPKM Tak Mampu Membendung Ghirah Askar Abda’u“… hehehe
Abda’u yang dikenal luas sebagai ‘Carnaval Abda’u Tulehu‘ sebenarnya tak melulu menyajikan pertunjukan Abda’u saja melainkan adalah sebuah perayaan besar, semarak, meriah dan melibatkan ratusan pertunjukan lain. Sejak bertahun-tahun lalu adat yang hanya ada di Negeri Tuirehui, Amang Barakate ini sudah dikelola dengan sangat apik dan mendapat atensi besar bukan saja dari masyarakat asli Tulehu tapi juga kunjungan ribuan masyarakat dari luar Tulehu . Sejak dari pembentukan panitia, persiapannya memakan waktu berbulan – bulan dan menelan biaya yang tidak sedikit.
Selain Abda’u, ada iring-iringan panjang dalam karnaval yang berisi pertunjukan adat, seni/budaya bernafaskan islam dan mengandung banyak nilai luhur tentunya menarik dan sangat menghibur.
Menjadi kewajiban, karnaval dimeriahkan dengan keterlibatan para kabilah/tribes dari rumatau (mata rumah) yang menjelaskan sejarah, kedudukan/peran sosial politik dan keahlian masing – masing marga dalam tatanan adat dan tata kelola pemerintahan Negeri Tulehu.
Misalnya marga Ohorella kedudukannya sebagai marga parenta, yang secara turun temurun memangku hak dan kewajiban sebagai upu latu / raja negeri Tulehu. Marga Lestaluhu sebagai panglima perang. Marga Tuasalamoni sebagai tuang guru (guru ngaji) dan tukang/ahli bangunan. Marga Umarella, Nahumarury, Tehuatuela, Kota, Hunusalela, Tawainela dengan perannya masing – masing. Semua pengetahuan tentang peran adat ini dikemas dalam berbagai simbol marga, bangunan, dan anak keturunan yang dikemas menarik dalam tiap rombong kabilah.
Selain itu, gambaran masyarakat yang pluralis dan keterbukaan anak dati Tulehu terhadap orang dagang (pendatang) ditegaskan dengan keikutsertaan puluhan paguyuban asing dengan sajian seninya masing-masing. Orang Geser, Orang Padang, Orang Jawa, Orang Buton dan lainnya boleh mengambil bagian dalam barisan karnaval.
Inilah uniknya. Para pendatang yang telah berpuluh tahun berdomisili dan beranak pinak di Tulehu dirangkul dan terakomodir sebagaimana keluarga sendiri dan dianggap ‘bukan orang laeng’ bagi warga asli Tulehu. Berpuluh tahun atau mungkin masuk seratus tahun terjadi proses asimilasi dan kawin campur antar anak dati dan orang dagang. Budaya luar dibiarkan hidup dan budaya asli pun tetap dominan dan diadopsi orang dagang dengan senang hati. Mereka juga diberi kebebasan membangun perekonomian lewat aktifitas perdagangan di dalam kampong. Jadilah Tulehu terframing sebagai negeri unik, berbeda dari negeri – negeri adat lainnya di Jazirah Al-Mulk yang cenderung statis, kaku dan tertutup untuk orang luar.
Selebihnya barisan karnaval juga dimeriahkan dengan penampilan tarian, drama dan sebagainya dari masing-masing wijk (kompleks) dan komunitas lain yang ada di Tulehu.
Intinya jika saja tak terkendala pandemi covid-19, Karnaval Abda’u akan sangat meriah, menghibur dan ditunggu tanpa rasa bosan meski tiap tahun berulang dilaksanakan. Sebuah bukti yang mengagumkan dari kondisi ini adalah apresiasi terhadap budaya dan kesadaran melestarikan tak pernah sirnah dari hati sanubari masyarakat adat negeri Tulehu apapun tantangan dan halangan yang ada. Termasuk tulisan singkat dan sederhana ini juga merupakan wujud pelestarian budaya lewat literasi.
Beta berharap kelak jika ada generasi Tulehu, Maluku pun dari daerah lain yang ingin tahu dan butuh referensi tentang Abda’u bisa menemukan tulisan ini dan sedikit membantu memuaskan rasa ingin tahu mereka. Selain itu besar harapan beta agar ada karya tulis susulan yang lebih luas, dalam dan lebih ilmiah membahas tentang hal ini atau budaya lain dari basudara dong samua.
Note : Permohonan maaf untuk masyarakat Tulehu jika ada kekeliruan dalam penulisan ini. Beberapa fakta dan pembahasan terkait Abda’u beta batasi agar tidak bias dan beta memilih berfokus kepada inti dan hal-hal positif yang layak dipublikasi.
Akhir kata,,,
Wa’a Salamat Ena Ike Amang Barakate, Tuirehui Tercinta
Tulehu, 11 Zulhijah 1442 Hijriah
Penulis: Nona J Pelu, ibu rumah tangga owner Dapur Nayeffa Cake & Cookies, yang suka menulis
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi