Menelusuri Jejak Landasan Pacu Jepang Dalam Perang Pasifik Di Wasior, Teluk Wondama*)
TELUSUR SEJARAH
“Perlu memberikan edukasi kepada generasi muda kita terkait Perang Dunia II yang terjadi di kawasan Pasifik termasuk Papua. Sebab, pertempuran di Papua juga tidak kalah hebatnya. Bahkan, Papua menjadi episentrum dari Perang Pasifik tersebut. Tinggalan sejarahnya bisa dijadikan sebagai benda cagar budaya.”
Disusun oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)
Awal Perang Pasifik di Tanah Papua
Pada 2 April 1942 Jepang menaklukkan Fak Fak dan mulai membangun sarana pertahanan di Kokas. Pillbox atau Louvrak dan Goa Pertahanan menjadi salah satu yang selalu dibangun oleh Jepang. Dua hari kemudian, Sorong pun dikuasai oleh Jepang. Di Pulau Doom, Jepang juga membuat pillbox dan Benteng pertahanan bawah tanah atau goa.
Seminggu kemudian, Manokwari pun ditaklukkan oleh Jepang. Tentara Nederland Nieuw Guinea yang jumlahnya tidak seberapa menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Di Manokwari, Jepang juga membuat pillbox dan goa pertahanan. Terakhir, Hollandia (Jayapura) pun ditaklukkan oleh Jepang pada akhir April 1942.
Baca Juga: Mengenal Negara Curacao Unikameral, Tempat Asal Suami Kopral Costavina “Cosje” Ayal
Memang, ada beberapa kelompok tentara Belanda yang kemudian melakukan perlawanan atau gerilya. Bahkan, dalam sejarah Perang Dunia II, kita mengenal nama Costavina “Coosje” Ayal, seorang perempuan muda asal Maluku yang berjuang membantu pasukan Belanda menghadapi Jepang.
Nama Coosje Ayal sangat terkenal dalam Perang Dunia II di Manokwari. Nama lengkap gerilyawan perempuan asal Titawai, Nusalaut (Maluku) tersebut adalah Costavina Ayal. Coosje dilahirkan pada 15 April 1926 dari pasangan Christoffel Ayal dan Josmina Nahuway. Oleh sebab itu tidak heran bila ditulis di belakang namanya, Ayal atau Nahuway.
Sejak kecil, Coosje ikut dengan paman dan bibinya yang ditugaskan sebagai pegawai negeri sipil (ambtenaar) di Manokwari Selatan, khususnya di Ransiki dan Momi Waren. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bila kemudian Coosje mengikuti pendidikan Belanda dan mahir berbahasa Belanda.
Ketika pada awal April 1942 didengar berita bahwa Jepang telah menaklukan Belanda, dan tiba di Teluk Doreh (Manokwari) pada 12 April 1942, maka paman Coosje diperintahkan untuk menyembunyikan senjata, makanan dan amunisi di hutan serta membentuk Milisi Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).
Bersama 62 orang lainnya, Coosje keluar masuk hutan untuk bergerilya menghadapi tentara Jepang. Selama 31 bulan, Coosje berperilaku sebagai tentara dan seolah laki-laki. Selama tujuh hari, ia pernah berjalan kaki ke markas mereka di Wasirawi, kini di Distrik Masni, Kab. Manokwari. Kawasan perbukitan itu kini terkenal dengan cadangan emasnya.
Beberapa kali kelompok Coosje menggempur dan digempur tentara Jepang. Oleh sebab itu, untuk memudahkan mobilisasi dan pergerakan, kelompok itu kemudian dibagi dua. Apalagi setelah mereka memiliki pengalaman diserang serdadu Jepang yang mengakibatkan banyak yang tewas.
Baca Juga: Haji Misbach; Sosok “kiri” Tokoh Pergerakan RI yang Diasingkan Belanda ke Manokwari
Coosje Ayal berperan sebagai juru masak bagi kelompoknya. Ia juga terkadang merawat yang luka-luka dan menjahitkan pakaian mereka yang berlubang. Terkadang, karena tidak ada makanan, mereka menyantap buaya, ular dan kura-kura. Dengan berbagai cara, mereka bertahan hidup di belantara Raya Papua yang dikenal ganas dan berbahaya.
Ketika pasukan Sekutu atau ABDA mendarat dan menguasai Jayapura pada akhir April 1944, mereka mendengar ada kelompok kecil milisi yang tetap bergerilya melawan Jepang di hutan-hutan Manokwari. Akhirnya Sekutu meminta Belanda mencari kelompok ini. Lima bulan kemudian, barulah posisi kelompok Coosje Ayal bisa diketahui. Awal Oktober 1944, mereka pun dibebaskan. Ternyata hanya tinggal 17 orang saja yang masih hidup dari sebelumnya 62 orang.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi