Oleh: Ronny Loppies (Direktur Ambon Music Office dan Focal Point of Ambon UNESCO City of Music)
Salah satu lagu Ambon lama yang terkenal adalah “Biar miskin tapi tau s’nang sa” (biar miskin asal bahagia) telah menjadi moto hidup masyarakat Ambon bertahun-tahun. Kultur musik dan bernyanyi hanya sebatas hobby dan kesenangan yang makin lama makin terasa tidaklah menjamin kesejahteraannya. Karena ekonomi tidaklah berkorelasi dengan bahagia.
Banyak orang yang memiliki kekayaan tetapi belum tentu memiliki kebahagiaan moto di atas bila tidak segera diatasi akan menimbulkan masalah didalam masyarakat antara lain melahirkan pengangguran. Data Pemkot Ambon menunjukkan rata-rata angka pengangguran di Kota Ambon sebesar 8,5% dari tahun 2018-2020. Hal ini belum lagi dikaitkan dengan pandemi covid yang semakin membatasi pergerakan masyarakat dan geliat ekonomi.
Oleh karena itu sudah saatnya dibangun ide dan gagasan untuk merubah pola pikir masyarakat menggunakan potensi kultur musik yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat dengan inovasi dan kreativitas yang saya sebutkan dengan “cari makan jual suara”. Inovasi dan kreativitas ini memiliki aspek ekonomi kreatif (ekraf) yamg diharapkan mampu beradaptasi pada masa pandemi Covid-19 ini. Dimana akan sangat membantu bila dihubungkan dengan platform dijital atau media sosial (medsos) yang semakin menguasai pasar ekonomi kreatif dunia dengan sumbangsih terbesar. Penciptaan iklim Industri kreatif sangat baik bila diselaraskan dengan visi Pemerintah Kota Ambon “Ambon yang harmonis, religius dan sejahtera” (2017-2022) yang dianalisis Ambon Music Office (AMO) telah berdampak pada pengentasan pengangguran sebesar 1,5% (2019-2021).
Inovasi ini dengan sendirinya akan menciptakan Kota Ambon sebagai sebuah entitas dan menjadi wadah pemicu kegiatan kreatif dengan konsep pengembangan berorientasi:
1) pengembangan ide dan kreativitas dari masyarakat yang penuh dengan ide dan konsep kreatif,
2) eksistensi komunitas kreatif (bottom-up planning) dan
3) rantai nilai proses kreatif.
Analisis perkembangan Industri kreatif musik di kota Ambon yang dilakukan oleh AMO bekerjasama dengan ICCN dan Kemenparkeraf menunjukan peningkatan jumlah pelaku ekraf yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dengan munculnya komposer, arranjer dan penyanyi-penyanyi baru yang sebelumnya tidak berkarya secara live namun memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk berkarya dari rumah (WFH) merupakan kreativitas untuk mempromosi diri dan meningkatkan pendapatan dari media dijital.
Inovasi ini berhasil mengungkit jumlah pelaku ekraf musik sebesar 47,8% yang berdampak pada peningkatan 96,36% pelaku ekraf non-musik (2019-2021). Untuk pelaku usaha ekraf musik dalam bentuk kelompok relatif konstan karena disesuaikan dengan prokes Covid-19 dimana kerumunan dilarang. Sementara itu pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja diciptakan oleh kreativitas pelaku ekraf musik mendekati 50% melalui media dijital (live streaming, youtuber, uploader, facebook, instagram).
Sejak ditetapkan UNESCO sebagai kota kreatif berbasis musik pada tanggal 31 Oktober 2019 maka AMO bertekad untuk mendorong pembangunan kebudayaan berbasis musik, mengembangkan ide dan kreativitas, kerjasama dan inovasi sebagai fokus perencanaan kota dan pelayanan publik.
Capaian inovasi dan branding kota kreatif ini dibangun sejalan dengan agenda SDGs 2030 pada tujuan ke-11 “menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan”. Implementasi tujuan ke-11 ini berdampak secara langsung pada tujuan 8 (meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua). Diikuti oleh tujuan 1 (mengakhiri segala bentuk kemiskinan dimanapun); dan 9 (membangun infrastruktur yang tangguh, meningkatkan industri inklusif dan berkelanjutan, serta mendorong inovasi).
Ambon kota kreatif memiliki peran sebagai pusat eksprimen yang mengarah pada model pembangunan berkelanjutan dan dapat memberikan kontribusi kepada implementasi agenda SDGs 2030 seperti yang dicanangkan oleh pemkot Ambon lewat program pembangunan pariwisata berkelanjutan berbasis musik (music tourism), pembangunan creative hub, dan implementasi kurikulum muatan lokal musik pada satuan pendidikan dasar untuk keberlanjutan musik tradisional.
Inovasi yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan diawali dengan melakukan survey dan penelitian bersifat kualitatif maupun kuantitatif terhadap pelaku ekraf di kota Ambon. Tahapan penelitian kualitatif terdiri dari:
1) merumuskan masalah sebagai fokus penelitian;
2) mengumpulkan data lapangan;
3) menganalisis data;
4) merumuskan hasil studi; dan
5) menyusun rekomendasi untuk pembuatan keputusan.
Pengambilan data kuantitatif menggunakan kuesioner dan FGD melibatkan komunitas ekraf sebanyak 10 orang dengan sasaran 366 responden pelaku ekraf. Analisis data menggunakan statistik deskriptif dan analisis Norma Standar Prosedur Manual (NSPM) ekraf.
AMO sebagai inovator melihat inovasi ini inovasi yang asli, baru dan unik karena mengandalkan musik sebagai lokomotif utama penguatan ekonomi kreatif masyarakat serta memiliki kemampuan mendorong pertumbuhan subsektor lainnya. Inovasi ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan kesempatan kerja karena berakar pada ide dan konsep yang kreatif sehingga dapat bertahan dan beradaptasi dalam masa krisis pandemi Covid-19.
Inovasi ini memiliki nilai tambah pada sinkronisasi antara musik dengan pembangunan kota yang dianalogikan dengan ritmik = infrastruktur; melodi = kebijakan dan harmoni = program. Untuk konteks kota maka inovasi ini bukan saja dapat diadaptasi oleh kota-kota di Indonesia namun juga oleh kota-kota lain di dunia khususnya pada kota musik dunia yang memiliki kesamaan potensi musik sebagai ide dan kreativitas yang ingin membangun ekraf masyarakatnya.
Inovasi ini telah menjadi contoh untuk beberapa kota lain di Indonesia sejak tahun 2019. Berbagai kota di Indonesia berupaya mengadopsi inovasi ini dengan cara mendaftarkan kotanya atau kabupatennya pada Kemenparekraf/Baparekraf lewat program PMK3I untuk dinilai sebagai kota kreatif berbasis musik dan masuk pada jejaring ICCN.
Kota Salatiga dan DKI Jakarta merupakan kota-kota yang berdiskusi intensif dengan AMO karena berupaya menjadikan kotanya sebagai kota kreatif versi UNESCO di tahun 2021.
Secara internasional dampak inovasi ini dipelajari juga oleh kota-kota di Asia Tenggara seperti Suphanburi di Thailand yang bekerjasama dengan AMO dalam diskusi intensif secara offline dan online (masa pandemi Covid-19). Karena kota ini ingin mengikuti jejak kota Ambon untuk menjadikan potensi musik sebagai tumpuan pembangunan kota dan menjadi bagian dari UNESCO City of Music di tahun 2021. AMO juga membangun kerjasama dengan Havana-Kuba untuk menjadi sister city dalam konteks jejaring kota musik dunia dan tujuan wisata musik.
Sosialisasi inovasi melibatkan sumberdaya yang terdiri dari musisi/masyarakat, pelaku usaha, akademisi musik, pemerintah lewat OPD terkait, media center dan institusi anggaran (hexahelix).
Untuk pengembangan inovasi ini, maka langkah srategis yang dikembangkan antara lain bekerjasama dengan Kemenparekraf/ Baparekraf dan ICCN dalam menyusun buku dan survey pelaku ekraf tahun 2020. Survey ini mendukung inovasi dalam menggambarkan potensi sumberdaya pendukung berupa SDM, produk barang/jasa dan pasar di 5 kecamatan yang menunjukkan potensi sebagai berikut:
1) Kecamatan Leitimur Selatan (50% komunitas musik; 35% Kuliner; 15% lain-lain);
2) Kecamatan Nusaniwe (54% komunitas musik; 16% kuliner; 30% lain-lain);
3) Kecamatan Sirimau (44% komunitas musik; 11% kuliner; 45% lain-lain);
4) Kecamatan Teluk Ambon (54% komunitas musik; 6% kuliner; 40% lain-lain) dan
5) Kecamatan Teluk Ambon Baguala (59% komunitas musik; 3% kuliner; 38% lain-lain).
Secara internasional bekerjasama dengan Mannheim dan Katowice UNESCO City of Music dalam penyusunan Rencana Induk Pengembangan dan berpartisipasi aktif mengikuti event internasional seperti fete de la Musique dengan tema tifa booyratan.
Keberlanjutan sumberdaya dijamin dapat dipertahankan karena inovasi didukung oleh regulasi dan program serta skema kerjasama jangka menengah sampai dengan jangka panjang pada skala lokal, nasional dan internasional dalam bentuk jejaring. Hal ini sangat penting untuk mendukung AMO dalam mempertanggung jawabkan ke UNESCO di tahun 2023. Beberapa regulasi dan dokumen perencanaan yang telah disiapkan antara lain:
1) SK.Walikota Ambon No: 45/2019 tentang Ambon Music Office (AMO) yang bertugas menyusun strategi dan implementasi serta menjaga ekosistim Ambon City of Music,
2) Perda No: 2/2019 “Ambon Kota Kreatif Berbasis Musik”
3) Penetapan Ambon sebagai UNESCO City of Music lewat Surat Dirjen Kebudayaan UNESCO Ref: CLT/CPD/19/10683 tertanggal 31 Oktober 2019 sekaligus berjejaring dengan UCCN.
4) Perwali Ambon No: 39/2020 tentang Kurikulum Wajib Muatan Lokal Pendidikan Musik pada Satuan Pendidikan Dasar di Kota Ambon. Diluncurkan oleh Mendikbud pada tanggal 31 Oktober 2020 yang akan diterapkan di 10 daya tarik wisata musik Kota Ambon.
5) Buku Desain Strategis dan Rencana Aksi (DSRA) Ambon Kota Musik Dunia tahun 2020 oleh Kemenparekraf/Baparekraf sebagai terobosan baru pariwisata berkelanjutan berbasis musik (music tourism). Diluncurkan oleh Menparekraf pada tanggal 31 Oktober 2020 dan
6) Menghasilkan Buku Peta Jalan Pengembangan City of Music,
7) Strategi Branding dan Kewirausahaan tahun 2020 yang melibatkan masyarakat (200 responden) dan surveyor dari komunitas (50 orang) bekerjasama dengan Kemenparekraf/Baparekraf, ICCN dan AMO.
Penyusunan program, sosialisasi dan ekspose berbagai produk diatas dilakukan secara bersama melibatkan Pempus, Pemprov, Pemkot, UCCN, ICCN, AMO serta stakeholders terkait lainnya. AMO terus berbenah diri dan melakukan berbagai terobosan dan inovasi yang menjadi bahan dasar untuk menuju tahap perkembangan dan sampai pada kemapanan dari sebuah kota kreatif.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi