CitizenPendapat

Anthony Bourdain dan Ikan Kuah Kuning

SUARA WARGANET

Anthony Bourdain juara satu dalam perkara menceritakan makanan. ‘Food Poetry‘ begitu orang-orang menyebutnya. Saya belum menemukan lagi yang menarasikan makanan secara brilian seperti dirinya.

Saya menonton banyak—walau belum semua dari serialnya di Parts Unknown—dan menemukan hal-hal menarik dari bagaimana ia hadir dan berinteraksi dengan makanan khas dari suatu tempat. Berikut adalah amatan saya pada apa yang dilakukan Bourdain:

Kehadirannya Setara

Ketika menemui tempat baru, Bourdain selalu merayakan — menaruh perhatian penuh pada proses yang terjadi di sekitarnya sebagai manusia, yang menemui manusia lain. Sebab ia percaya, menghargai makanan sama dengan menghargai manusia. Ia tidak merasa dirinya ‘lebih tinggi’ (sebagai artis/turis), ia mudah berbaur dengan tanah yang dipijaknya.

Kaya dalam Penceritaan

Setahu saya Bourdain menulis semua skrip pada serial Parts Unknown. Ia mampu mengawinkan perspektif penulis seperti William S. Burroughs, Henry Matisse, dan satu lagi penulis siapa saya lupa—hanya untuk menjelaskan makanan, kota, dan nuansa politik dalam episode Kota Tangier, Moroko.

Episode ini, satu kesukaan saya. Bourdain ulet dan gigih dalam menjelaskan sesuatu—khusus perkara makanan, ia tidak pernah berhenti di jawaban kata-kata malas seperti: ‘enak’, ‘enak banget’, atau ‘tidak enak’.

Bukan Pemberi Legitimasi

Bourdain tidak bikin diri Tuhan. Seakan-akan ia yang paling tahu perkara bumbu, racikan yang paling tepat, atau cara makan yang paling benar.

Ketika datang ke tempat baru, ia sembunyikan apa-apa yang telah ia miliki dan menjadi ‘kosong’. Ia akan mencerap pengetahuan baru dari tempat itu dan menjadikannya sebagai identitas barunya, dan membagikannya pada penonton. Penonton mendapati suguhan ceritanya juga sebagai identitas baru.

Saya ceritakan panjang lebar mengenai Anthony Bourdain, sebab ia tidak pakai embel-embel ‘storyteller culinary‘ seperti “mbak ikan kuah kuning”.

Perkara ikan kuah kuning sudah selesai di permohonan maaf, tapi tidak di hati banyak orang Maluku. Mengapa? Sebab perkara merendahkan cita rasa makanan, ya, sama dengan merendahkan manusia. Yang jika dipikir secara logis, sudah mengupayakan dan menyuguhkan makanan itu sepenuh hati.

Kemudian perhatikan kalimat-kalimat yang dipakai oleh “mbak ikan kuah kuning” itu ketika klarifikasi mengenai mengapa ia katakan ikan kuah kuning tidak enak, ia malah sama sekali tidak menjelaskan apa-apa.

Ia hanya katakan, “barangkali tidak banyak ter-influence“—lalu pindah cas cis cus ke sana ke mari—kemudian malah menceritakan tentang dirinya yang sudah banyak mengenalkan bumbu, dan ada sedikit kesan ‘mengajari’—ia bahkan pakai kata ‘menularkan’ orang lain perkara makanan.

Melalui tulisan panjang ini, saya mau bilang, saya tidak percaya, makanan lokal kami (apalagi ikan kuah kuning) ditulis atau dikenalkan oleh orang-orang seperti anda.

Sebab, makanan itu sendiri juga tidak minta dikenalkan. biarkan mereka sendirian dengan cita rasanya. mereka tahu, kenal, dan membesarkan perut yang menghargainya. jika anda tidak menghargai makanan di gunung tanah orang lain, lebih baik angkat kaki saja.(*)

Theoresia Rumthe


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button