Mereka Bilang Kami Belum Beragama: Agama Orang Huaulu dalam Lanskap Sosio-Religius dan Politik Indonesia
PENDAPAT

Oleh: Vikry Reinaldo Paais (Baru saja menyelesaikan studi MA di Center for Religious and Crosscultural Studies [CRCS], Universitas Gadjah Mada [UGM] | vikryreinaldopaais@mail.ugm.ac.id)
Pada akhir 2022, ketika saya memutuskan untuk melakukan riset partisipatif di Huaulu, beberapa orang terdekat meragukan keselamatan saya. Dalam persepsi mereka, ada ketakutan jika saya berinteraksi dengan orang Huaulu yang distigma sebagai masyarakat “suku” yang “tidak beragama”. Tuduhan yang cukup masif adalah orang Huaulu masih mempraktikkan ritual “potong kepala”.
Namun, setelah kurang lebih tiga bulan hidup bersama dengan masyarakat Huaulu, semua tuduhan di atas adalah stigma yang tak berdasar. Negeri Huaulu terletak di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Saya justru beraktivitas sebagaimana rutinitas orang Huaulu: makan, tidur, bercerita, bergurau, masuk-keluar hutan, berburu, memancing, memanah ikan, memasang jerat (dadesu), termasuk berpartisipasi dalam beberapa ritual adat. Pengalaman luar biasa ini seakan membuka mata bahwa masyarakat adat tidak seperti yang selama ini distigmakan.
Riset yang berlangsung selama tiga bulan ini, bertujuan untuk mengemansipasi harkat dan martabat penganut agama leluhur, mendorong kesadaran pluralisme agama sebagai sebuah keniscayaan, serta memperluas diskursus hubungan antaragama pada konteks agama leluhur.
Tulisan ini hanya memuat beberapa fragmen riset yang kompleks, dan berfokus pada wacana religiusitas yang dipengaruhi oleh politik rekognisi agama di Indonesia (Paais, 2023).
Berangkat dari realitas orang Huaulu, artikel ini hendak menguraikan historisitas rekognisi agama di Indonesia serta pengaruhnya pada konteks sosio-politis yang partikular.
Judul artikel ini diangkat dari percakapan yang dilakukan dengan beberapa narasumber di Huaulu. Ungkapan “Mereka bilang kami belum beragama” memang cukup sederhana, namun membuka wajah ketidakadilan dan diskriminasi sosial.
Ungkapan tersebut merepresentasikan keadaan religiusitas orang Huaulu yang tersubordinat dalam wacana keagamaan yang lebih luas. Produk pengetahuan tersebut justru direproduksi pada masa pasca-kemerdekaan.
Berbagai macam kebijakan negara yang berkaitan dengan rekognisi agama justru memperuncing hubungan yang bias ini. Samsul Maarif menyebutnya sebagai “politik belah bambu”—yang secara historis juga dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda (Maarif, 2017).
Politik belah bambu mengilustrasikan kebijakan negara yang menekan suatu kelompok sembari menguatkan yang lain. Tak dimungkiri, meski pada 2017, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, yang secara legal melegitimasi rekognisi terhadap penganut agama leluhur, namun realisasinya masih jauh panggang dari api. Oleh sebab itu, penting untuk menelisik bagaimana pengetahuan tersebut direproduksi serta pengaruhnya terhadap wacana keagamaan kontemporer.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi