Pendapat

Marata, Ratap Tangis di Kaki Binaiya: Eksistensi Masyarakat Adat dalam Pasang Surut Kawasan Konservasi

PENDAPAT

Marata: Ratap Tangis di Kaki Binaiya adalah film pendek yang mengilustrasikan polemik masyarakat adat versus negara dalam kaitan dengan kebijakan konservasi yang problematis.

Oleh: Vikry Reinaldo Paais (Baru saja menyelesaikan studi MA di Center for Religious and Crosscultural Studies [CRCS], Universitas Gadjah Mada [UGM] | vikryreinaldo@gmail.com)
 
Film Marata ini diproduksi oleh Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) Daerah Telutih dan diikutsertakan dalam Festival Film Pendek (Fesfip) AMGPM tahun 2023.

Film ini berlatar belakang Desa Piliana, sebuah negeri adat yang terletak pada bagian selatan kaki Gunung Binaiya, tepatnya di Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Desa Piliana adalah salah satu dari sekian banyak desa yang terdampak kebijakan konservasi Taman Nasional Manusela, yang mana hutan adatnya dirampas untuk kepentingan konservasi tanpa mempertimbangkan hak ulayat masyarakat adat. Kebijakan tersebut tentu berimbas pada keberlanjutan hidup (survivability) komunitas di sekitarnya.

Taman Nasional Manusela (TNM) ditetapkan dengan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 732/Mentan/x/1982, tanggal 18 Oktober 1982 dengan luas 189.000 Ha. Selanjutnya, pada tanggal 31 Maret 1997, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts/II/1997, TNM ditetapkan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal PKA dengan nama Unit Taman Nasional Manusela (lihat Yohana, 1999: 245).

Hingga kini, yang terus menjadi polemik adalah penetapan pal batas serta larangan pemanfaatan sumber daya dalam kawasan konservasi yang juga adalah hutan adat.

Neo-Kolonialisme Struktural dan Keterasingan Masyarakat Adat

Januari 2023, di Desa Huaulu, Kecamatan Seram Utara, Polisi Hutan (Polhut) menyelenggarakan diseminasi tentang perlindungan dan pengamanan kawasan konservasi. Pada momen tersebut Polhut mendiseminasikan berbagai macam spesies yang dilindungi, termasuk larangan perburuan serta konsekuensi hukumnya.

Hampir keseluruhan jenis spesies tersebut adalah penyangga kebutuhan masyarakat, baik pangan, ekonomi, maupun ritual adat. Spesies-spesies tersebut misalnya kuskus, rusa, kasuari, dll., termasuk di dalamnya kayu gaharu.

Saat sesi tanya-jawab, seorang warga bertanya kepada Polhut: “Kalau Bapak melarang kita untuk berburu, lalu kita mau makan apa? Kecuali bapak beri kita uang tiap bulan.” Menanggapi pertanyaan tersebut, Polhut menjelaskan bahwa “Ya, ini sudah aturan, kita hanya melaksanakan”.

Pertanyaan warga tersebut mengekspresikan keterancaman hak dan keberlanjutan hidupnya. Ia adalah representasi dari banyaknya kelompok masyarakat adat yang tereksklusi akibat kebijakan konservasi.

Dalam konteks ini, kawasan konservasi justru menjadi ancaman terhadap keberlanjutan hidup masyarakat adat. Sebaliknya, tanggapan Polhut adalah respons yang pragmatis. Tidak salah secara praksis, tapi bermasalah secara paradigmatis.

ada suku noaulu
Suku Noaulu yang merupakan warga Dusun Piliana, yang ikut terlibat dalam pembuatan video klip lagu milik Satu Garis Band.(Foto: Dok. Satu Garis Band)

Tidak salah karena berkaitan dengan tupoksi yang diatur dalam UU RI No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Namun ia bermasalah karena melanggengkan diskriminasi dan penindasan terhadap masyarakat adat.

Marcia Langton, dalam artikelnya The ‘Wild’, the Market and the Native: Indigenous People Face New Forms of Global Colonization, mencatat bahwa bentuk kebijakan yang menyubversifkan masyarakat adat telah berlangsung lama.

Misalnya, masyarakat adat harus kehilangan wilayah yurisdiksinya akibat kebijakan politis, pasar global, dan tentu saja korporasi (Langton, 2003: 79). Problematika tersebut tentu berkaitan dengan imperialisme negara terhadap masyarakat adat.

Dalam hubungannya dengan negara, masyarakat adat menghadapi tantangan struktural sehingga mereka sendiri bahkan harus berjuang untuk mempertahankan hak atas tanah adatnya. Kebijakan-kebijakan preservasi sumber daya alam, misalnya TNM—dengan mempertimbangkan tata kelola yang kini diterapkan—adalah bentuk kekerasan struktural bagi masyarakat adat.

Akses dan ruang hidup masyarakat adat—seperti tanah, sungai, dan hutan—dibatasi, sehingga aktivitas (berburu dan meramu) yang dilakukan dalam kawasan konservasi sudah pasti tergolong tindakan ilegal karena melawan hukum. Singkatnya, kebijakan negara secara tidak langsung mengkriminalisasi masyarakat adat.

Regulasi semacam ini tentu adalah simplifikasi kebijakan negara di tengah-tengah pluralitas sosial dan kebudayaan. Program dan kebijakan negara cenderung bersifat top-down, di mana masyarakat adat dipaksa tunduk dan hanya melaksanakan tanpa mempertimbangkan akses dan pemenuhan hidup mereka. Kebijakan yang problematis ini sewaktu-waktu bisa saja memunculkan resistansi akibat dari pembatasan akses dan ruang hidup. Dan lagi-lagi, yang paling berbahaya, resistansi-resistansi tersebut sangat rentan dikriminalisasi.

Inilah alasan mengapa saya menyebut fenomena ini sebagai bentuk neo-kolonialisme struktural.

Pertama, masyarakat adat tidak dilibatkan secara signifikan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan wilayah dan kehidupan mereka. Kebijakan-kebijakan yang mengatur pemanfaatan sumber daya dan perkembangan wilayah diputuskan tanpa partisipasi yang memadai dari masyarakat adat (bersifat top-down).

Kedua, imbas dari kebijakan struktural semacam itu adalah hilangnya tanah dan hak-hak tradisional masyarakat adat. Hal ini berkaitan dengan misrekognisi terhadap hukum adat.

Sampai pada tahap ini maka penting untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang Masyarakat Adat. Oleh karena itu, representasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan amatlah penting.

Hutan adat bukan hanya sebatas hutan. Hutan adat memiliki nilai intrinsik yang berkaitan dengan sejarah, nilai, pengetahuan, dan kosmologi masyarakat adat. Oleh karenanya, tidak heran, hubungan masyarakat adat dengan hutan adat bukanlah hubungan yang hierarkis-eksploitatif alias ekonomis semata; seperti negara yang memberi konsesi pengelolaan hutan kepada korporasi yang berimbas pada perubahan iklim, kerusakan lingkungan, bencana, konflik, serta penyingkiran masyarakat adat.

Hubungan masyarakat adat dengan hutan adat justru adalah hubungan antar-subjek (intersubject relationship), yaitu manusia dan non manusia (human being and-non human being) (lihat Maarif, 2019).

ada suku noaulu
Proses pembuatan video klip lagu terbaru Satu Garis Band di Pulau Seram.(Foto: Dok. Satu Garis Band)

Masyarakat adat di Maluku, misalnya, memiliki nilai dan kosmologi yang diwariskan oleh leluhur dan hanya dapat diinternalisasi lewat hubungan dengan hutan adat. Misalnya gunung, tanah, tempat-tempat pamali, air, dan lain sebagainya. Realitas ini menunjukkan bahwa hutan berperan penting dalam kehidupan sosial dan adat istiadat masyarakat.

Dekolonisasi Pengetahuan dan Rekognisi Masyarakat Adat

Film pendek Marata menampilkan separuh dari banyaknya ruang tanding antara masyarakat adat versus negara yang seolah saling mengeksklusi (mutually exclusive). Negara,  lewat konservasi, seolah mengandaikan bahwa keberadaan suatu komunitas adalah ancaman terhadap kelestarian alam.

Pertanyaan krusialnya adalah apakah masyarakat adat adalah pelaku utama kerusakan lingkungan dan kepunahan berbagai macam spesies? Bagaimana dengan kerusakan hutan yang masif terjadi akhir-akhir ini yang mana pelakunya diberi konsesi dan izin negara? Bagaimana dengan korporasi yang secara membabi-buta merampas dan mengeksploitasi hutan-hutan di luar konsesi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah representasi dari banyaknya problematika lingkungan yang secara struktural didiamkan.

Ancaman kepunahan spesies juga merupakan masalah besar bagi masyarakat adat, bukan hanya negara. Apalagi masyarakat yang berburu dan mengumpulkan makanan (hunting and gathering societies) (Langton, 2003), seperti masyarakat adat di Maluku.

Tak pelak, masalah tersebut berimbas pada kebertahanan sosial maupun adat. Namun upaya pencegahannya bukan berarti harus mengeksklusi masyarakat adat.

Problematika wilayah konservasi dan masyarakat adat tidak akan pernah selesai jika negara terus menerapkan kebijakan yang bersifat top-down.

Masyarakat adat perlu diinklusi sebagai salah satu subjek. Oleh karenanya kebijakan-kebijakan konservasi perlu mengikutsertakan masyarakat adat, baik dalam pengambilan keputusan maupun pelaksanaannya.

Kebijakan konservasi seolah mengandaikan bahwa kelestarian alam hanya akan tercipta jika tidak ada manusia di dalamnya. Singkatnya, manusia dan alam harus dipisahkan.

Konstruksi semacam ini bukan hanya bermasalah, tapi juga sangat berbahaya karena penerapannya berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat. Toh negara juga harus bertanggung jawab atas berbagai macam kerusakan lingkungan akibat dari konsesi yang diberikan kepada perusahan-perusahan nakal.

Isu yang paling sentral adalah bagaimana negara menjamin kelestarian alam tanpa mengorbankan kelompok masyarakat di dalamnya. Paling tidak terdapat empat hal. Pertama, upaya konservasi perlu merekognisi pengetahuan lokal (local wisdom) yang berpeluang menjaga kelestarian ekosistem. Misalnya, Sasi dan Matakao di Maluku, Mane’e di Kepulauan Talaud, dan lain sebagainya.

Sistem pengelolaan ini terbukti berhasil melestarikan ekosistem. Kedua, kebijakan konservasi perlu dibarengi dengan upaya-upaya pemberdayaan ekonomi-sosial. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap spesies tertentu yang statusnya terancam punah.

Ketiga, masyarakat adat harus dilibatkan dalam forum pengambilan keputusan yang berkaitan dengan identitas dan ruang hidup mereka. Diperlukan dialog yang inklusif dan egaliter. Dan, keempat, pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat perlu didorong agar menjamin hak hidup masyarakat adat dari berbagai macam bentuk kriminalisasi.

Pada akhirnya, film Marata hanyalah garis besar tentang ruang tanding dan sanding antara masyarakat adat dengan negara. Pada titik ini, kebijakan negara bukanlah kebijakan aksiomatik. Ia memiliki kelemahan sehingga implementasinya perlu ditinjau dalam kurun waktu tertentu.(*)

Baca Juga: Marata dari Satu Garis Band Akhirnya Dirilis, Ada Suku Noaulu dalam KlipnyaMarata dari Satu Garis Band Akhirnya Dirilis, Ada Suku Noaulu dalam Klipnya

Masyarakat adat
Penulis, Vikry Reinaldo Paais.(Foto: Dok. Penulis)

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button