Oleh: Vikry Reinaldo Paais (Mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada)
Selama melakukan riset di Negeri Huaulu, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, saya sering mendengar cerita tentang Kanikeh. Konon, desanya dipenuhi rumput hijau dengan udaranya yang sejuk, segar, dan dingin. Namun, jaraknya sangat jauh, melintasi Taman Nasional Manusela, hingga ke bawah kaki gunung Binaiya.
Kanikeh adalah salah satu negeri pegunungan di Kecamatan Seram Utara. Akses ke sana hanya dapat ditempuh, dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua belas jam.
Saya semakin penasaran, sejauh apa Kanikeh itu? Apakah sejauh jalur pendakian Gunung Sumbing yang baru saja saya taklukkan? Rasa penasaran itu saya simpan, karena tidak ada saudara atau kerabat di Kanikeh. Belum ada alasan untuk berkunjung ke sana.
Baca Juga: Panorama Kali Ama Hualoy di Pulau Seram, Asri dan Natural
Setelah dua bulan berjibaku dengan riset tesis, saya dihubungi oleh Usi Lina (baca: Kakak Lina), seorang pendeta perempuan yang ditugaskan di Kanikeh. “Adik, kapan selesai penelitian, ayo kita jalan-jalan ke Kanikeh”, begitu isi pesannya lewat Whatsapp. Dengan segera saya mengiyakan ajakan itu. Akhirnya impian untuk mengunjungi Kanikeh akan segera menjadi kenyataan.
15 Februari 2023, Usi Lina bersama suaminya, Bu Nyong (baca: Kakak Nyong), menjemput saya di tempat riset, Huaulu. Huaulu adalah akses terakhir untuk semua transportasi. Orang Kanikeh —atau siapapun yang akan berkunjung ke desa-desa pegunungan— biasanya menitipkan kendaraannya di Desa Huaulu.
Dengan tas carrier ala traveler saya mengisi semua kebutuhan berupa pakaian dan makanan. Sembari menyiapkan kebutuhan, Mama Piara (Ibu Asuh) bertanya: “Anak Piara kuat jalan sampai ke Kanikeh?” Ekspresinya seolah meragukan kemampuan fisik saya. Haha. Pikir saya lagi, memang sejauh apa Kanikeh itu? Besar kepala itu dikarenakan saya baru saja menaklukan Gunung Sumbing, gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa.
Akhirnya sekitar pukul 10.00 WIT kami bertiga berangkat. Rute kami adalah Huaulu — Kelapa Satu — Permukiman Roho Gunung — Tempat Duduk Besar — Pohon Buah Rao — Air Waesamata — Pohon Jambu —Stelen — Jembatan Waringin — Kanikeh. Namun atas pertimbangan waktu dan kemampuan, kami akan bermalam di Roho Gunung. Perjalanan dari Huaulu ke Roho gunung memakan waktu sekitar 1-2 jam. Saya masih bersemangat, dan sesekali bergurau “ah, sepertinya dekat”.
Kawasan Transit Orang Kanikeh
Karena berjalan dengan santai, kami tiba di Roho Gunung agak sore. Pikir kami, tidak perlu terburu-buru, toh kami akan bermalam di sana. Setibanya, kami langsung menuju salah satu rumah warga untuk bermalam. Kami disambut teh panas dan singkong goreng yang menambah kenikmatan di sore hari.
Roho adalah kawasan transit untuk orang Kanikeh, jadi penduduk Roho sudah terbiasa jika ada yang menginap di rumah mereka. Di Roho, sinyal tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Pada kondisi ini, fungsi gawai sepenuhnya dialihkan pada kamera untuk mendokumentasikan seluruh aktivitas. Untuk mengisi ulang daya perangkat elektronik, masyarakat menggunakan tenaga surya.
Baca Juga: Jembatan Kawa-Nua Putus, Nasib Masyarakat Seram Selatan Terpuruk
Setelah membersihkan diri dan makan malam, kami memutuskan untuk beristirahat lebih awal. Kata Bu Nyong, perjalanan yang sebenarnya baru akan dimulai besok. Kami bersepakat untuk melanjutkan perjalanan tepat pukul 7.00 pagi.
Keesokan paginya, sesuai kesepakatan, kami bangun dan bersiap. Saya tidak lagi mandi, karena temperatur pagi itu sangat dingin. Toh kami akan jalan kaki yang justru akan lebih banyak menguras tenaga dan keringat.
Setelah berpamitan, kami bertiga melanjutkan perjalanan menelusuri jalur logging yang dahulunya dieksploitasi oleh PT Bharata Jaya. Kini kawasan tersebut telah kembali menjadi hutan lebat sekaligus rumah bagi berbagai macam satwa.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi