MalukuKomunitasPendidikan & Kesehatan

Menghidupkan Lagi Budaya Dongeng yang Hampir Hilang di Maluku, Eklin  Luncurkan Buku Mari Belajar Mendongeng Kisah-kisah Damai

potretmaluku.id – Ada pemandangan tidak biasa di D’Lekker Cafee Ambon, Sabtu sore (31/7/2021) kemarin. Salah satu sudut cafee di kawasan Tanah Tinggi ini, penuh dengan boneka. Maklum saja, Rumah Dongeng Damai sedang punya gawe di situ.

Dengan menerapkan protokol kesehatan, jumlah peserta dibatasi, Rumah Dongeng Damai menggelar acara pelucuran buku “Mari Belajar Mendongeng Kisah-kisah Damai”, karya Eklin Amtor de Fretes, yang diterbitkan oleh Penerbit Clerry Cleffy Institute.

Nama Eklin Amtor de Fretes cukup populer pada kalangan pendongeng di tanah air. Ventriloquist (atau orang yang memiliki kemampuan memainkan suaranya hingga seolah-olah bukan suara dari mulutnya, dengan alat bantu tambahan boneka yang bisa digerak-gerakan) asal Maluku ini, sedianya meluncurkan buku dengan cover berwarna ungu tersebut bertepatan dengan Hari Anak Nasional (HAN) tanggal 23 Juli lalu. Namun karena ada masalah teknis, acaranya baru bisa digelar di penghujung Juli 2021, dan tetap dalam nuansa HAN.

Acara peluncuran buku ini, berlangsung meriah dengan talkshow yang menampilkan Eklin selaku penulis buku, Embong Salampessy selaku editor dan Wendy Polhaupessy mewakili Direktur Clerry Cleffy Institute selaku penerbit. Acara talkshow ini juga diselingi kegiatan mendongeng dari Sahabat Rumah Dongeng Damai.

“Saya mulai mendongeng pada awal tahun 2018. Menjumpai anak-anak di darah perkotaan sampai pelosok desa. Melintasi pulau-pulau. Masuk ke dalam gereja, masjid, termasuk tempat-tempat ibadah saudara-saudara yang beragama suku. masuk juga ke sekolah, kampus dan tempat-tempat lainnya di Maluku,” tutur Eklin.

Menurut Eklin, mendongeng merupakan salah satu pelayanan bagi anak-anak. Sebab dengan mendongeng, anak-anak bisa bahagia, tertawa lepas, belajar banyak nilai, dan bisa merasakan damai dengan cara sederhana.

“Sayangnya, saya melihat bahwa aktivitas mendongeng di Maluku sudah mulai hilang. Orang tua atau orang dewasa sulit memberi waktu untuk mendongeng, bagi anak-anak. Masa-masa dimana anak-anak bisa mendengar ayah, ibu, kakek atau nenek mendongeng saat sebelum tidur, maupun dalam waktu bersantai, sudah sangat sulit ditemukan,” ujar Eklin yang juga adalah seorang pendeta ini.

Dia menyebutkan, dalam beberapa kesempatan di daerah pelosok sampai di daerah perkotaan, ketika usai mendongeng lalu dia bertanya, “siapa yang biasa didongengkan oleh kakak, mama, papa, kakek atau nenek? Siapa yang sering didongengkan sebelum tidur?”.

“Syukur kalau ada satu anak yang mengangkat tangan. Tapi tidak sedikit anak yang jujur mengaku, bahwa belum pernah sama sekali mendengar dongeng,” ungkap Eklin, yang setiap penampilannya mendongeng, selalu ditemani satu boneka yang bernama Dodi, yang sebenarnya merupakan akronim dari Dongeng Damai ini.

Dari situ lah, Eklin menyimpulkan, bahwa budaya mendongeng hampir mati. Untuk itu, dia merasa sangatlah wajar jika harus berlelah demi menggerakan suatu yang hampir mati itu.

“Sejak saat itu saya berpikir untuk menuliskan pengalaman saya dalam mendongeng. Nah idenya kemudian berkembang untuk menulis sebuah buku belajar mendongeng, yang jadinya seperti ini, sebenarnya muncul ketika di suatu kesempatan, saya ngobrol-ngobrol dengan Abang Embong dan istrinya Kak Ivon,” bebernya.

Eklin mengaku sempat berupaya ke sana ke mari, termasuk menjual kembang agar bisa mengumpulkan uang guna menerbitkan buku ini namun terasa sulit. “Tapi untunglah, puji Tuhan, ada Ibu Dwi Prihandini lewat Clerry Cleffy Institute, yang dengan terbuka dan rendah hati mau membiayai penerbitan buku ini,” terangnya.

Melalui bukunya yang diterbitkan Penerbit Clerry Cleffy Institute (CCI) ini, Eklin berbagi pengalaman mendongeng, mulai dari teknik yang biasanya dia gunakan dalam “Dongeng Damai”, sampai kumpulan dongeng yang dibuatnya dan biasanya dibawakan dalam Dongeng Damai”.

“Semoga para orang tua dan pendidik dapat mencintai dongeng dengan belajar dari kisah Dongeng Damai,” harapnya.

JEMBATAN LINTAS SEMUA BATAS

Buku Mari Belajar Mendongeng Kisah-kisah Damai setebal 122 halaman ini, diberi pengantar oleh salah satu budayawan Maluku Elifas Tomix Maspaitella, yang mengaku sebagai penggemar rahasia Eklin dan Dodi, serta Opa Dodo. Ada juga pengantar dari Dwi Prihandini S.Psi., M.Si, selaku Pendiri & Direktur CCI yang juga Pendiri Panti Asuhan Shedini Cinta Maluku, Direktur Shedini Anugrah Pelangi  dan Direktur Shedini Sparta Spektra.

Dalam pengantarnya, Elifas menyebutkan, Eklin dan Dodi adalah pendongeng perdamaian. Dan mereka mendongeng dari pengalaman pribadi sebagai anak korban konflik Maluku.

“Eklin mencari suatu pola untuk mengobati dirinya, dan dia menemukan Dodi, sebagai pengungkapan sebagian jiwanya. Ia meletakkan ke dalam Dodi, seluruh semangat hidupnya dan dia membuat Dodi menjadi sosok baru yang terbuka kepada semua orang. Sehingga Eklin pun menjadi sosok baru yang terbuka kepada semua orag,” tuturnya.

Elifas engaku, dirinya menggemari cara Eklin dan Dodi mendongeng. Dan dia tahu bahwa mereka pun mendongeng di mimbar-mimbar gereja. Namun bukan berarti Eklin dan Dodi adalah mikik satu kelompok agama saja. Eklin dan Dodi membawa cerita kehidupan, dan menyirami semua orang dengan cerita itu, apapun agamanya.

“Buku ini telah berkisah tentang semuanya. Di sini saya mau sedikit medongeng, untuk mengatakan, sebaiknya jangan hanya membaca buku ini. Ajaklah Eklin dan Dodi datang ke rumah, ke kampung/negeri, ikutlah ketika mereka pergi menjumpai sahabat mereka yang kesusahan , lalu sambil memegang buku ini, dengarlah dongeng damai Eklin dan Dodi. Itu obat yang menyembuhkan segala penyakit. Itu air yang menyejukkan semua hati. Sebab Eklin dan Dodi telah menjadi jembatan menuju ke suasana hidup bermutu, lintas semua batas,” ujar Elifas.

Sementara itu, lewat pengantarnya Dwi Prihandi katakan, sebagai aktivis kemanusiaan dan pemerhati Maluku, dirinya senang ikut mendukung terbutnya buku karya Eklin, dengan harapan buku ini dapat menjadi rujukan bagi siapapun yang ingin mengenal lebih jauh karya anak-anak muda Maluku.

“Harapan lain tentunya agar karya ini dapat mengin spirasi anak-anak muda Maluku lainnya, untuk melahirkan karya-karya otentik, yang menjadi ciri mereka masing-masing,” kata Dwi.

Sedangkan Embong Salampessy selaku editor, menyebutkan kehadiran Ekli bersama Dido dan Opa Dodo lewat Dongeng Damai, merupakan salah satu pendekatan yang efektif untuk mengikis narasi-narasi kekerasan, yang mungkin masih tersimpan dalam benak anak-anak di Maluku. Apalagi medium yang digunakan sangat lekat dengan anak-anak yakni “dongeng”.

“Semoga dari buku ini, akan lahir banyak pendongeng damai. Minimal dimulai dari keluarga kita, dengan anak-anak kita sendiri di rumah sebagai pendengarnya,” kata Embong.(PM-03)

 

 

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button