Lepas Kangen Menyantap Menu Makanan Ambon di Warung Mama Rina
potretmaluku.id – Hari ini saya ingin jam makan siang segera tiba. Lebih cepat dari biasanya. Sebab sejak kemarin sudah berencana ingin menyantap makanan Ambon, yang dijual pada salah satu warung, di daerah Panglima Polim, Jakarta.
Tepat pukul 11.45 WIB. Matahari yang persis berada di ubun-ubun dan teriknya cukup menyengat, tidak mampu menyurutkan niat saya ke warung dengan menu khas Ambon ini. Sepeda motor tua saya pacu sesegera mungkin menuju Panglima Polim.
Lokasinya berada di taman belakang gedung KFC, yang bersebrangan dengan Blok M Square. Warungnya , berjejer dengan sejumlah warung makan yang ada di situ, dan berada di sebelah ujung bagian dalam. Ada tulisan\Warung Masakan Ambon Mama Rina.
Saya mengetahui warung ini dari salah seorang teman, yang sempat update foto di sosial media dengan caption makanan Ambon. Seketika muncul rasa rindu saya pada kampung halaman. Saya lantas meminta info mengenai lokasinya. Ah, beruntung bukan hanya dikirimi lokasinya, tapi juga nomor kontak si pemilik warung. Mama Rina namanya.
“Hallo Nona, yang kemarin telepon ya ? Dudu dolo e Nona. Mama ada kasi siap makanan sebentar.” Sapaan hangat khas orang Ambon, langsung terdengar ketika saya tiba di warung Mama Rina. Beliau sedang sibuk menggoreng pisang, dan juga ikan momar atau di Jakarta dikenal dengan nama ikan kembung layar.
Sembari menunggu saya juga memesan menu makan siang yang ada di hari ini. Kebetulan hanya ada satu pilihan makanan berat. Pisang goreng sebagai camilannya. Tentu penciuman saya sudah dimanjakan oleh aroma khas ikan momar yang sedang di goreng. Kerinduan saya pada Ambon, mulai terobati begitu mendengar orang-orang di sekitar, sedang makan sambil berbincang menggunakan dialeg Ambon.
“Nona ini makanannya. Jang mara e, kalo jam makan siang begini pasti rame. Hari ini sayurnya ada ganemo dan toge e nona. Ada sambal deng colo-colo lai,” tutur Mama Rina begitu mengantarkan makanan pesanan saya.
Menurut dia, di warungnya ini, ikan baru akan digoreng ketika dipesan. Maksudnya agar pelanggan bisa menikmatinya dalam keadaan masih panas dari penggorengan.
Saya kebetulan satu meja dengan dua orang pria asal Ambon yang juga merantau di Jakarta, kami bertiga terlihat sangat tidak sabaran untuk seger menyantap makanan yang tersaji.
“Ade mari makan. Slamat makan e,” sapaan rekan semeja. Sapaan khas Ambon, yang sangat jarang saya dengar ketika berada di kota besar seperti ini.
Nasi hangat, ikan goreng panas-panas, sayur ganemo, dan tentunya yang paling menggoda adalah sambal dan juga colo-colo.
Mungkin menunya simpel dan bisa kita masak sendiri di rumah. Tapi suasananya sangat terasa berbeda sekali. Seakan-akan sedang berada di Ambon.
“Menunya ini saja. Tapi setiap hari diganti-ganti sayurnya. Senin biasanya daong kasbi deng bunga pepaya. Lalu ada ikang kuah kuning. Hari selasa ada sayur sop kacang ijo,” jelas Mama Rina.
Perempuan yang masih kental berbicara dengan aksen Ambon ini menuturkan, sudah sekitar lima tahun berjualan menu makanan khas Ambon. Awalnya masih di pinggiran taman. Namun jika ada Satpol PP mereka harus langsung tutup. Setelah petugas pergi, baru buka lagi.
“Nah sekitar tiga tahun lalu, pemerintah Jakarta Selatan mengajak UMKM di sekitaran sini untuk dibuatkan warung dan sampai sekarang ada di sini. Kebetulan mama KTP wilayah Jakarta, jadi mendapat jatah. Tapi sekarang tinggal di Gunung Putri, Bogor,” terangnya.
Setiap pagi sekitar pukul 07:00 WIB, Mama Rina berangkat dari rumahnya menggunakan transportasi Trans Jakarta. Warungnya siap melayani penunjung sekitar pukul 10:00 WIB, dan tutup pada pukul 16:00 WIB.
“Dulu sebelum pandemi Covid-19, bisa bawa dua tandan pisang, dan 50 ekor ikan ke sini,” ungkapnya.
Cuma saat pandemi ini, Mama Rina katakan, omzetnya turun drastis. Pisang saja, dalam sehari kalau dua sisir habis, dia sudah sangat bersyukur. Ikan juga sekarang dikuranginya jadi hanya 30 ekor dalam sehari.
Biasanya di hari Jumat, porsi ikannya lebih dikurangi lagi. Takut tidak habis dan akan terbuang. Apalagi hari Sabtu dan Minggu warungnya tutup.
“Ikan ini pesan khusus dari Sukabumi, jadi masih sangat fresh. Apalagi ketika dimakan saat masih panas-panas, rasanya pasti sangat berbeda. Satu porsi nasi, ikan dan sayur harganya Rp.17.000. Untuk pisang goreng satu porsi isi tiga potong, harganya Rp.10.000,” tuturnya.
Soal pisang gorengnya, Mama Rina bercerita pengalaman menarik. Suatu ketika ada rombongan ibu-ibu klub senam, memesan pisang goreng darinya. Keesokan harinya suami dari salah satu ibu-bu tersebut datang dan ingin membeli pisang goreng.
“Bapak itu datang dan bertanya, apa benar di sini yang menjual pisang goreng hitam?” kata Mama Rina menirukan pertanyaan lelaki tersebut.
Awalnya dia sempat bingung. Namun setelah berpikir sejenak, dia lantas engiyakan pertanyaan lelaki tersebut.
“Mama sempat pikir dulu, oh ternyata pisang goreng khas Ambon itu dimasak sampai benar-benar matang, sehingga warnya coklat kehitam-hitaman. Mama bilang iya ada, namun ternyata mama goreng kurang lama jadi warnanya tidak terlalu hitam. Tapi orangnya tetap makan dan bilang, ah iya ini pisang gorengnya enak sekali rasanya,” cerita Mama Rina sembari tertawa.
Bagi Mama Rina meskipun saat ini omzetnya sangat menurun, namun dia merasa senang karena banyak orang-orang Ambon di Jakarta, dari daerah yang jauh, menyempatkan datang, dan ada yang berkali-kali kembali untuk menyantap makanan khas Ambon miliknya.
“Rasa senang nona. Karena biar dari jauh mereka tetap datang untuk makan siang lalu kembali ke tempat bekerja. Biarpun siang makanan sudah habis, mama juga tetap duduk cerita-cerita dengan basudara Ambon. Nanti sore baru pulang,” bebernya.
Selain warung Mama Rina, ada juga warung nasi Kuning Ambon di sini, yang buka pada sore hari. Namun karena ownernya sedang sakit dan pulang ke Ambon, sehingga sementara warungnya tutup dulu.
Bagi teman-teman yang rindu masakan Ambon, boleh lah sekali-kali datang ke warung Mama Rina. Tapi jika tidak mau kehabisan, bisa telepon dulu agar bisa disiapkan pesananya sama Mama Rina. Karena kalau ramai, bisa tidak kebagian. Seperti saat saya ingin nambah satu porsi lagi tadi sudah habis. Padahal masih pukul 12.00 WIB.
Ada satu hal yang menarik bagi saya, beberapa pedagang di sekitar warung mama Rina pun ternyata jadi tahu bahasa Ambon. Ini lantaran saking ramainya orang-orang Ambon yang datang makan di situ. Seperti ibu penjual minuman, yang bukan orang Ambon, menawari saya minum.
“Nona mau minum apa? Teh gula es kah?”.(TIARA)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi