Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Eltom) – Pemerhati Sosial
“Sio, hidop manis kukis pisang paskali ale” (=ya, hidup manis seperti pisang goreng). “Kukis pisang” menjadi analogi dari sifat saling sayang antara orang saudara, juga gambaran keseimbangan dalam relasi yang bersumber dari kesatuan. Biasanya “kukis pisang” dibuat dari satu buah pisang matang yang dibelah dua dan disatukan kembali setelah dilaburi tepung terigu, atau tepung beras, atau tepung embal/kasbi.
Sifat manis “parsis kukis pisang” merupakan bentuk pujian atas “tabiat bae” (=perangai yang baik) yang sifatnya tetap dalam arti “seng biking-biking” (=tidak dibuat-buat), atau “tagal ada mau” (=karena ada maunya).
Sifat manis “parsis kukis pisang” sering dijumpai dalam wujud kasih sayang “antar orang sudara” (=antarsaudara). Ada kesalingan, “ade deng kaka parsis kukis pisang paskali” (=hubungan adik dan kakak manis seperti pisang goreng), dan “seng bisa pisah” (=tidak dapat dipisah), atau bahkan “seng beda” (=sifat keduanya tidak beda), “sama-sama manis ale“.
Gambaran lebihnya ialah, “apalai su tambah aer gula batali” (=apalagi sudah ditambah air gula aren yang kental), “su seng dua lai” (=tidak ada duanya). “Su talalu manis lawang e” (=sangat manis sekali). Ini gambaran superlatif tentang sifat hidup yang luhur, mulia, agung, seperti “apa yang Tuhan mau” (=seperti dikehendaki Tuhan) dan “turut orangtotua pung pengajarang” (=seturut didikan orangtua).
“Jang kata makang, bobou sa su biking sanang” (=jangankan dimakan, baunya tercium saja sudah senang). Ungkapan ini menerangkan faedah dari “hidop manis parsis kukis pisang” yang dapat dirasakan banyak orang. Sehingga orang-orang yang hidupnya seperti itu “lia dong sa hati sanang” (=melihat mereka saja hati kita senang). “Kata-kata pung manis apa lai” (=tuturnya manis), “suka tulung orang” (=suka menolong), “seng bisa dengar sudara susah” (=tidak bisa mendengar kesusahan saudaranya), “balong bilang lai su biking” (=tanpa dibilang, mereka sudah melakukan suatu kebaikan). Jadi sifat manis itu “akang nai dari dalang” (=datangnya dari dalam hati).
“Samua orang sanang” (=semua orang suka/senang) dengan orang yang “parsis kukis pisang tuh“.
Sifat ini ada pada “Ade Kaka” (=adik dan kakak), “laki bini” (=suami istri), “orangtotua deng anana” (=orangtua dan anak), “basudara samua” (=sesama saudara dalam arti keseluruhan orang di negeri dan lainnya).
Mari hidup manis seperti “kukis pisang” sebab “itu yang Tuhan mau dan yang orangtotua pasang” (=itu yang Tuhan mau dan dipesankan orangtua).
Selamat “minong teh pagi deng kukis pisang”
Beta mau bilang, jang kurang hati dar’ beta, kalu brapa hari ka muka nih, seng dapa pasang KutiKata e, tagal beta mau pi ka Pulau Moa, la sambung ka pulau Sermata, trus sambung ka pulau Luang, tagal ada deng tugas. Di sana mangkali seng ada signal, tagal elek-elek jua balong ada, baru tiang sa. Nanti kalu su dapa pasang KutiKata minggu-minggu muka itu berarti beta su bale.
Ingatang, hidop musti manis sang kukis pisang e. Tete Manis sayang deng kasih kuat.
Kamis, 20 Mei 2021
Pastori Jemaat GPM Bethania, Dana Kopra-Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi