
Oleh: Eltom (Pemerhati Sosial)
“Seng ada apapa ale, cuma papeda deng kua ikang la sayor saloko sa ni” (=tidak ada apa-apa, hanya papeda dengan ikan kuah dan sayur seadanya). Itu “makanang kasiang“, tetapi bukan tidak layak. Malah itu “yang piara katong sampe ana cucu” (=yang memelihara/menghidupkan kami sampai anak cucu).
“Makanang kasiang” itu makanan yang dimakan sehari-hari (makanan pokok), dan tidak bisa dipisahkan dari “katong pung hidop“. Jadi orang Seram, Ambon-Lease condong ke “papeda kua ikang deng sayor“, saudara di Kei lebih pada “embal, bubuhuk, sir-sir, lat, ikang kua“, orang di Tanimbar dan Maluku Barat Daya dengan “jagong, kacang mera, beras mera, keladi, ubi, ikang kua“, di Aru dengan “pong-pong, ikang kua“, di Maluku Utara dengan “ngafi, garangpati“. Itu sama dengan anda yang sehari-hari makan nasi, “brot” (=roti), “kantang” (=kentang), dan sebagainya.
Jadi “makanang kasiang” bukan karena kita miskin, tetapi “itu makanang potong pusa” (=makanan yang dimakan sejak kami lahir).
Oleh “makanang kasiang” itu kita dinasehati, dan berkali-kali dinasehati:
“Kalu sisi sagu, jang lupa tumang bongso par balu” (=pada masa mengemas pati sagu, jangan lupa bagian terakhir untuk janda, duda dan anak yatim). “Kalu ada labe, jang lupa biking konde/kas’ bombong di tumang tu” (=bila lebih, jangan lupa tambah pada bagian atas tumang sagu itu).
Artinya, para “balu” (=janda, duda, tetapi juga sering anak yatim piatu dikategorikan sebagai yang perlu dibantu), itu ada yang sudah tua, ada pula yang masih kanak-kanak dan tinggal “deng nene, tete, uwa, wate” (=dengan nenek, kakek, tante, paman/om). Jadi setiap orang, yang mampu kerja, harus bisa membantu mereka.
Jadi “seng bole ada orang yang se dapa makang, kalu cuma makang makanang kasiang” (=tidak boleh ada yang tidak makan, bila yang dimakan adalah makanan yang kita makan sehari-hari). “Katong musti tulung angka susa” (=kita harus menolong mengangkat kesusahan saudara kita) karena tidak mungkin “katong sanang la sudara di sabla tar makang” (=kita senang sementara saudara tidak makan).
Ini bukan “biar miskin tapi tau snang sa” (=biar miskin tetap senang), tetapi “jang kas tinggal sudara susa tar makang” (=jangan membiarkan saudara susah tidak makan), “kalu cuma makang makanang kasiang“.
Jadi “jang makang sandiri, lia sudara lai” (=jangan makan sendiri, perhatikan saudara juga).
“Jang tutu meja makang par sudara” (=jangan menutup meja makan dari saudara). Karena itu saat makan “buka tudung saji tu” (=buka tutup saji) sebagai tanda bahwa “berkat tetap ada” (=selalu ada berkat), “buka meja par sudara” (=biarkan terbuka untuk saudara lain juga).
“Kalu makang jang stori” (=jangan berbicara saat sedang makan), selain resikonya “kabangkalang” (=tersedak) tetapi itu tanda “seng hormat meja makang kasiang/berkat” (=tidak menghormati berkat).
“Kalu ada sisa, tutu sa, sapa tau ada yang balong makang, ka tempo-tempo ada sudara datang la dia mau makang” (=bila ada sisa, dibiarkan saja di meja, mungkin ada yang belum makan atau ada saudara datang dan mau makan juga).
“Mar kalu su abis, bambang aer panas sa, supaya kalu ada apapa bisa poti-poti par dayong papeda sasempe” (=jika makanan sudah habis, rebus saja air panas, sebab jika ada yang datang, bisa segera membuat papeda satu sempe lagi).
Jadi, jang ada yang susa tagal seng makang, apalai cuma makang makanang kasiang!
Mangkali ada yang masi mau “papeda dinging deng kuah tomi-tomi?”
Senin, 17 Mei 2021
Pastori Jemaat GPM Bethania, Dana Kopra-Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi