Jejak Menelisik Huaulu

Oleh: Risal Lesnussa (Relawan Balitbang Sinode GPM)
Pulau Seram yang sering dikenal sebagai Nusa Ina atau Pulau ibu. Selain memiliki luas wilayah terbesar di Provinsi Maluku, Pulau Seram juga menyimpan sejumlah keindahan, mulai dari keindahan alam hingga berbagai tradisi dan budaya yang tetap lestari.
Salah satu kelompok masyarakat yang terus melestarikan tradisi dan kebudayaanya adalah masyarakat adat Huaulu. Huaulu adalah salah satu negeri yang terletak pada bentangan Gunung Binaiya, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, yang dibungkus oleh luasnya Pulau Seram sehingga kaya akan keindahan alam dan budaya.
Perjalanan ke Huaulu dapat ditempuh sekitar 8 hingga 10 jam dari Kota Ambon. Meski jauh, kita akan disuguhkan dengan keindahan alam dan sejuknya udara pegunungan yang seolah mengisi kembali energi yang telah terkuras.
Ketika mendengar Huaulu, ada berbagai stigma yang muncul terkait eksistensi kelompok masyarakat ini. Narasi yang sering muncul seperti: orang jahat, pemburu kepala, masih gelap, belum beragama, pedalaman, dan lain sebagainya.
Berbagai stigma tersebut acap kali dilekatkan pada kelompok masyarakat adat yang mempertahankan tradisi dan kepercayaanya. Bahkan, dalam ruang-ruang publik hingga ruang-ruang akademis, narasi tersebut masih berkembang. Salah satunya adalah budaya memenggal kepala manusia dalam upacara adat, yang bahkan tidak ada konfirmasi lebih lanjut apakah budaya itu masih ada, atau adalah hasil konstruksi para sarjana barat terhadap penduduk asli untuk melegitimasi kolonialisme dan hegemoni barat, dengan tujuan pemeradaban. Narasi-narasi inilah yang mendorong saya untuk melakukan perjalanan ke masyarakat adat Huaulu bersama seorang teman, Vikry Paais, yang juga hendak meneliti di sana.
Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya pada 16 Januari 2024, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Huaulu. Desa yang berada pada salah satu jalur pendakian Gunung Binaya ini terlihat begitu elok dan teduh.
Negeri Adat Huaulu dibagi menjadi Kampung Lama dan Kampung Baru. Keduanya dipisahkan oleh jalan aspal, serta model rumah yang modern dan tradisional. Ketika memasuki Kampung Lama, terlihat bentangan rumah panggung (luma hotofafa) yang beratapkan daun sagu pada sisi kiri dan kanan.

Nampak juga beberapa lelaki dewasa dengan ikat kepala merah (asope) sedang duduk bercengkerama. Keasrian dan keteduhan ini membuat saya hening seketika melupakan padat dan hiruk-pikuknya Kota Ambon.
Sebagai seorang yang baru pertama kali datang di Huaulu, saya sangat berhati-hati dalam bersikap dan bertutur-kata. Namun, dengan bantuan Vikry yang telah terbiasa dengan kultur Huaulu, saya dapat bersosialisasi dengan mudah.
Tradisi Potong Kepala?
Setelah membereskan barang di rumah yang kita tinggali, Vikry mengajak saya berkunjung ke salah satu kenalannya, yaitu Bapak Piti dan Mama Pina. Mereka adalah warga Huaulu yang menganut agama leluhur. Untuk diketahui, masyarakat Huaulu adalah kelompok sosial yang terus melestarikan agama leluhur sebagai identitas sosio-religiusnya (dalam bahasa lokal disebut sebagai Memaham). Agar dapat diakui secara administratif oleh pemerintah, orang Huaulu menyebut agama mereka sebagai Hindu. Selain penganut agama leluhur, terdapat beberapa penganut agama Kristen maupun Islam.
Dengan ditemani kopi, tembakau, buah langsat, serta sirih pinang yang disediakan oleh tuan rumah, saya dan Bapak Piti bercakap tentang eksistensi masyarakat Huaulu. Ternyata, area yang mereka tempati saat ini adalah perkampungan yang baru dibentuk, setelah proses migrasi dari kampung sebelumnya. Lokasinya tidak jauh dari kampung yang sekarang ditempati.
Alasan mengapa orang Huaulu pindah kampung berkaitan dengan kematian yang penyebabnya tidak wajar, seperti digigit ular, ataupun perempuan yang mati melahirkan. Ketika terjadi kematian tidak wajar, maka orang Huaulu menganggap bahwa leluhur mereka sudah mengutuk tempat itu sehingga tidak boleh dihuni lagi. Jikalau terus menetap, mereka akan mengalami nasib buruk.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi