Ambon Dolo-doloPendapat

Dengar Radio, Biar Hati Terhibur Deng Dapa Informasi

Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)


“Jika cermin tak lagi punya arti
Berkacalah pada riak gelombang
Dan sebut satu nama: Armada….:

Penggalan-penggalan kalimat itu bukan puisi. Jang ale sala kira. Tapi itu tagline salah satu stasiun radio yang bersiaran dari kawasan Wainitu – OSM di Kota Ambon, era 80an.

Penyebutan “Armada” di awal siaran atau di sela-sela pemutaran lagu, jadi ciri radio Armada. Bagitu kata “Armada” muncul, di ujung huruf “a”-nya dikasi efek suara gema deng eho. Kayak suara yang tapukul di antara dua dinding tebing. Akang pung suara terdengar unik di talinga.

Beta seng salalu dengar radio ini. Karena kalau di katong pung rumah, kualitas siarannya seng talalu bagus. Di kasi nama Radio Armada, mungkin karena berada di daerah pante, dekat dok kapal, yang kalo jalan tarus bisa baku dapa Pelabuhan Gudang Arang.

Katong lebih sering dengar Radio Merpati dan RRI Ambon. Radio Merpati ini lebe dolo ada, di banding Radio Armada. Stasiun Radio Merpati pung tampa di kawasan Gereja Emaus. Tapi akang pung pintu maso sandiri ada. Bisa lewat samping. Gereja Emaus ini baku muka deng Tatahau pung toko.

Biasanya katong singgah di Radio Merpati, setelah jalan pagi. Radio ini pung jarak dari katong pung rumah seng jauh. Mungkin cuma 100an meter. Singgah sabantar di radio itu voor pesan kupon pilihan pendengar. Ale tau jua, dolo-dolo tu masih pake kartas sapotong untuk request lagu.

Di kupon pilihan pendengar itu, silakan ale tulis lagu apa yang mau diputarkan, lagu dari sapa untuk sapa saja, lengkap deng akang pung pesan-pesan. Pesan ini, ale mau pake kata-kata serius boleh, bisa juga agak kaco-kaco sadiki, biar lucu, yang penting tetap sopan. Jang lupa, kasi maso juga jam brapa atau di acara apa pilpen –itu akang pung akronim– mau disiarkan.

Bagitu selesai isi pilpen, katong capat-capat pulang. Sampe di rumah baru dengar siaran radio itu. Dengar katong pung nama disebut di udara, rasanya senang. Makanya, biasa datang lagi pas malam hari untuk pesan kupon pilpen itu. Cuma untuk kirim-kirim lagu.

DENGAR SANDIWARA, DENGAR RADIO

Kalo bicara dengar siaran radio, yang bikin ketagihan itu saat sandiwara radio “Misteri dari Gunung Merapi” lagi hits. Sandiwara radio ini dong putar sore hari. Sandiwara yang naskahnya ditulis oleh Asmadi Sjafar ini, melahirkan tokoh yang ikonik: Mak Lampir. Mak Lampir, pung katawa biking katong takotang. Jadi inga nene luhu hihihi.

Ada lai drama radio “Tutur Tinular“. Drama radio ini pung tokoh terkenal adalah Brama Kumbara, diperankan Ferry Fadly. Dia pung ilmu kanuragan, yang dong bilang akang ilmu Lampah Lumpuh. Ini ilmu bela diri tingkat dewa kapang e hehehe.

Sandiwara atau drama radio ini, akang pung asyik itu kalo dengar sambil sandar-sandar ka dinding atau lagi baring. Kadang juga katong dengar rame-rame, tapi samua tado. Fokus dengar dialog dan alur ceritanya.

Siaran radio pung kekuatan memang ada di theatre of mind. Itu yang biking katong sebagai pendengar berimajinasi, tentang tokoh, susana, deng segala hal yang digambarkan dalam cerita. Katong bayangkan, bagaimana ketika ilmu Lampah Lumpuh dipake bertarung. Pasti seru!

Bicara drama radio, yang legendaris itu serial drama radio “Butir-butir Pasir di Laut“. Drama radio ini diputar di stasiun RRI, yang disiarkan secara nasional, setiap pagi, sejak tahun 1972 sampe 1990an.

Ale bayangkan saja, selama kurang lebih 22 tahun, “Butir-butir Pasir di Laut” dong su putar sebanyak 5.700 episode. Drama radio ini akang pung carita tentang dokter deng perawat yang bertugas di pedalaman Jawa.

Jadi wajar saja, kalo katong hapal nama John Simamora sebagai sutradaranya. Kalo lamat-lamat nama itu su kedengaran, itu pasti sandiwaranya su mulai. Padahal dolo itu, sandiwara ini beta seng dengar akang. Cuma tetangga yang putar setiap hari, jadi katong ta iko dengar.

Termasuk dengar siaran berita duka deng berita keluarga. Bagitu suara trompet dari Raffaele Celeste “Nini” Roso terdengar, su musti pasang talinga bae-bae. Lagu “Il Silenzio” dari pemain trompet dan komposer jazz kelahiran Italia, tahun 1926 itu, memang jadi musik pembuka kabar duka cita di RRI.

Sejak 1970an, berita duka dan berita keluarga disiarkan di pagi deng malam hari. Dari situ, katong bisa dengar nama-nama orang yang meninggal, yang nanti bisa diteruskan ka dong pung keluarga, kalo dong seng dengar RRI.

Tapi di Ambon itu atau di Maluku, ada tradisi kasi kabar kematian deng cara pukul tifa. Tifa dalam hal ini, sebagai sarana informasi. Tifa ini berbentuk tabung, seng pake pegangan. Terbuat dari kayu deng kulit kambing atau rusa, yang diikat deng rotan biar kancang.

Biasanya orang tatua yang pukul tifa itu, sambil bajalan koliling kampung, kasi pengumuman. Bahwa ada keluarga tertentu yang meninggal dunia. Antua akan singgah sabantar, pukul tifa pake batang gaba-gaba, lalu kasi informasi tentang kabar duka biar warga tau.

Beta sandiri, kalo dengar RRI, biasa dengar siaran “Warta Berita Olahraga”, jam 12 siang. RRI Ambon relay siaran itu dari RRI nasional. Beta kalo pulang skola, langsung setel radio, cari frekuensi RRI. Ini karena beritanya up to date. Katong mau tau peristiwa olahraga mutakhir.

Katong sebenarnya seng fanatik dengar radio, saat itu. Lebe banya dengar lagu melalui pita kaset. Maklum jua, tape yang sekaligus bisa dengar radio cuma ada satu. Deng kalo putar lagu, bisa sesuai deng suasana hati saat itu, lagu apa yang mau diputar atau didengar.

Nanti, radio batamba di rumah, waktu beta pung Kaka Toto (Rusyoto Tompo), dapa hadiah tape recorder saat iko undian Teka Teki Silang (TTS). Dia iko isi TTS di stannya Departemen Penerangan (Deppen), waktu pi Pameran Pembangunan di Taman Hiburan Rakyat (THR) Waihaong.

Tape recorder yang dilengkapi radio itu, merek National, model tidor, bentuknya agak kacil, kayak radio portable, jadi mudah kasi pindah-pindah akang. Untuk putar akang, bisa dicolok di listrik, bisa juga pake batrei. Deng barang ini, katong lebe leluasa dengar radio, dapa hiburan, dapa informasi, deng dapa edukasi. (*)

Gowa, 26 April 2022

Rusdin Tompo
Penulis, Rusdin Tompo.(Foto: potretmaluku.id/Dokumentasi Pribadi)

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button