Untuk Berproses, Butuh Tamang deng Media

Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)
Mau berkembang? Ale butuh media sebagai ruang untuk mengekspresikan ide dan gagasan. Juga teman diskusi yang bisa mengeksplor ide-ide itu, serta jejaring, supaya bisa lebih luas ruang gerak yang kita buat. Itu pembelajaran yang beta dapat sejak menekuni dunia kreatif. Apakah itu terkait menggambar/melukis, sastra, maupun tarik suara atau manyanyi. Mungkin juga pada aspek kehidupan lainnya.
Ketika beta masih Sekolah Dasar di SD Negeri 7 Ambon, ada beta pung tamang diskusi terkait dunia sastra, khususnya puisi. Namanya Julius Harvey, anak Ambon – Padang, pindahan dari Sorong, saat kelas 4 atau 5. Dia ini suka puisi. Jadi katong biasa ngobrol di atas meja-meja penjual ikan di Pasar Wainitu kalo sore hari. Kebetulan dia tinggal di Talake, di rumah keluarganya, seng jauh dari katong pung tampa tinggal.
Menulis puisi saat SD itu seng cukup berkembang karena seng ada sarana untuk menyalurkannya. Puisi-puisi yang dibuat juga seng tau ka mana. Belum ada kesadaran untuk mendokumentasikan puisi-puisi itu. Untuk menambah wawasan atau referensi tentang puisi dan sastra, juga masih sangat terbatas. Era itu sudah ada majalah Si Kuncung, tapi untuk mendapatkannya atau membacanya, kadang dipinjam dari tetangga.
Katong pung tetangga, Ibu Saija merupakan guru bahasa Indonesia di SD Negeri 7. Beliau punya anak, Tony, berlangganan beberapa majalah. Selain Si Kuncung juga Majalah Bobo dan Majalah Hai. Si Kuncung terbit pertama tahun 1956, Bobo tahun 1973, sedangkan Majalah Remaja Hai tahun 1977. Lewat Tony-lah, katong biasa pinjam Majalah Si Kuncung dan Majalah Hai. Di majalah ini ada rubrik sastra yang bagus. Walau hanya bisa dibaca sesekali, kalau kebetulan dipinjam hehehe.
Beta juga biasa pinjam majalah Intisari dari katong pung tetangga yang lain, Andi Patahangi Syam, atau akrab dipanggil kak Andi. Belakangan, Kak Andi ini jadi katong pung ipar. Ada yang beta suka dari majalah ini, yakni kata-kata mutiara yang biasanya diletakkan di bagian bawah artikel. Setiap kali pinjam majalah Intisari, pasti beta catat kata-kata mutiaranya. Beta bahkan sediakan buku khusus untuk tulis dan simpan kutipan kata-kata mutiara tersebut.
Saat maso SMP di SMP Negeri 3 Ambon, kegiatan menulis puisi itu menemukan medianya. Sering ada lomba menulis puisi antarkelas yang diadakan sekolah. Di luar juga ada lomba menulis dan membaca puisi yang beta sering iko. Alhamdulillah, beberapa di antara lomba itu beta juaranya.
Kesadaran untuk mendokumentasikan puisi-puisi itu juga mulai tumbuh. Setiap puisi yang dibuat mulai disimpan. Puisi-puisi ditulis di kartas apa saja yang ada pada saat itu. Ada puisi yang ditulis di bakas pembungkus nasi kuning, di sobekan kartas koran, di blakang aluminium foil pembungkus rokok, dan lembaran-lembaran kertas lainnya. Pokoknya, begitu ada ide, langsung buru-buru cari pena atau pinsil untuk menulis puisinya. Jang sampe idenya ilang. Proses kreatif ini parna beta ungkap di pengantar buku kumpulan puisi “Tuhan Tak Sedang Iseng” (2014).
Lanjut di SMA Negeri 2 Ambon, ruang untuk mengekspresikan tulisan dan gambar terbuka, ketika beta kelola majalah dinding (mading). Waktu masih kelas 1, mading su ada di sekolah. Saat itu SMA Negeri 2 Ambon masih manumpang di SMP Negeri 6 di daerah Kadewatan, Tanah Tinggi. Katong juga sempat skola di Lateri, saat SMA Negeri 2 sementara dibangun. Begitu selesai, katong pindah ke lokasi yang sekarang di Jalan Jan Paays.
Beta awalnya hanya kirim puisi untuk dimuat. Lalu entah bagaimana, beta kemudian kelola majalah dinding. Mungkin karena maso Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di Seksi Kesenian. Jadi ini program OSIS yang kebetulan beta kelola.
Saat kelola mading ini, kemampuan menggambar dan menulis mendapatkan medianya. Sebagaimana layaknya mading, isinya itu berupa puisi, cerpen, gambar kartun, dan info-info singkat dan sederhana seputar ilmu pengetahuan. Tapi ada ciri yang beta bikin di mading ini, yaitu gambar wajah parampuang manis. Meniru sampul majalah Aneka atau Anita Cemerlang yang populer masa itu. Gambar itu diletakkan di bagian tengah sehingga cukup menyolok mata. Cuma, gambar parampuang cantik itu, kadang biking gara-gara lai. Soalnya, akang jadi bahan gosip, lantaran ada yang biasanya merasa itu gambar wajahnya. Ancor klep!
Posisi mading ini cukup strategis. Kalau masuk pintu gerbang skola, akang berada di sebelah kiri, setelah melewati kantin dan aula, menuju ruang-ruang kelas anak-anak IPA. Jadi kalau orang mau pi kantin atau pi aula skola, pasti madingnya terlihat. Sedangkan, kalo dari arah kelas anak-anak IPS dan Bahasa, tetap juga terlihat baik. Dari katong pung klas sa, bisa dilihat lewat jandela.
Beta harus akui, katong pung kapala skola, Pak Hitipeuw, paling bae. Antua kasi dukungan penuh. Kalo mading itu beberapa saat seng ada isinya, pasti antua kasi inga. Satu waktu antua bilang, itu mading bagaikan langit tak berbintang. Dinding mading saat itu memang warna biru. Jadi beta jawab antua, iya pak, balong ada isi karena madingnya baru selesai dicat. Catnya balong karing.
Terkait mading itu, beta mau carita sadiki do. Tapi ini bisi-bisi ee. Soalnya true story, bukang carita batu badaong (dongeng) hehehe. Beta mulai batamang deng Embong Salampessy juga diawali lewat mading tersebut. Dia saat itu ade klas, anak kelas 2 IPA. Tadinya dia hanya setor karya sa, sebatas itu.
Belakangan, dia biasa bawa karya berupa puisi berbentuk tipografi. Puisi kontemporer ini adalah seni memilih dan menata huruf dengan mengatur penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia. Sehingga, puisi itu menciptakan kesan tertentu. Makanya puisinya berbentuk gambar orang, hewan atau benda-benda tertentu.
Contohnya itu ale bisa lihat di puisi-puisinya Sutardji Calzoum Bachri. Mungkin karena era itu dia blajar dari bukunya Korrie Layun Rampan, “Perjalanan Sastra Indonesia” (1983) atau “Jejak Langkah Sastra Indonesia” (1986). Beta juga pernah tulis puisi dengan merujuk pada buku karya Korrie Layun Rampan tersebut.
Kalo dia su datang kasi liat puisinya, dia minta beta komentari puisi itu. Biasanya, dia manyangkal kalo puisi itu karyanya. Nanti kalo beta su selesai kasi tanggapan, baru dia mangaku bahwa itu dia pung karya. Rupanya, itu cara dia supaya beta bebas lepas kasi komentar.
Dari hanya baku dapa di skola, akhirnya dia datang ka beta pung ruma. Begitu juga sebaliknya. Kadang dia datang ka beta pung rumah su malam, lalu ajak beta ka dia pung rumah. Karena jarak dari Air Putri ke Mardika jauh, katong biasa singgah dudu di muka Pertokoan Pelita. Itu karena lala jalan kaki.
Saat dudu, bukannya istirahat, dia malah bertanya sagala hal. Misalnya, dia tanya, kanapa awan itu kalo malam, makin ka atas makin gelap. Ini pertanyaan filosofis sebenarnya. Tapi beta jawab sa seadanya. Beta bilang, karena makin ka bawah itu ada cahaya lampu yang biking tarang. Tapi dari dia beta banyak blajar bagaimana menjawab secara argumentatif atau diplomatis. Dan bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan spontan yang tak terduga.
Bagitu sampe di dia pung rumah, su amper tengah malam. Dia pung Mama buka pintu. Mau seng mau, beta barmalam di rumahnya. Saat barmalam itulah dia carita bahwa kalau dia bergaul deng beta, biar pulang malam seng apa-apa. Seng dapa mara. Dalam hati beta bilang, jangan-jangan anak laki-laki satu ini peralat beta ee hahaha. Dia juga carita, bahwa waktu itu dia dilarang menggambar. Itu mungkin karena anggapan kalau jadi pelukis atau seniman, masa depannya seng jelas.
Maklum jua, orangtatua itu kan selalu mau yang terbaik pada anaknya. Embong pung Mama itu saat itu Kepsek Madrasah Tsanawiyah (MTsN) 1 di Kebun Cengkih. Bapaknya pegawai di Kantor Departemen Agama (Depag) Provinsi Maluku. Lalu beta bilang, bagaimana ale pung Mama-Bapak komentar saat beta gambar ale pung kamar. Nah, rupanya gambar dekoratif itu ikut membantu mengubah perspektif orangtuanya. Intinya, sejak itu dia aman hehehe.
Oh iya, beta pung tamang Embong Salampessy ini skarang dikenal di Ambon sebagai pelukis, sketcher, aktivis perdamaian dan salah satu jurnalis senior. Dolo-dolo dia pernah jadi pelukis jalanan di kawasan AY Patty Ambon, lalu jadi kartunis di Harian Suara Maluku, yang waktu itu tergabung dalam group Jawa Pos News Network. Dia lalu jadi jurnalis di situ, sambil jadi aktivis LSM. Dari dunia aktivis, dia sempat beberapa kali ikut dalam delegasi NGO Indonesia ke sidang Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa, Swiss. Sekarang dia fokus di dunia jurnalistik, bikin media siber potretmaluku.id ini, dan ajak beta menulis rubrik Ambon Dolo-dolo yang bisa hadirkan tulisan-tulisan ini.(*)
Makassar, 18 Februari 2022
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi