Cerpen

CERPEN: Terlahir Luka

CERPEN

Oleh: Ramli Lahaping (Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar)


Aku membenci ibuku sejak aku mengerti perihal keadaan keluargaku. Seandainya bisa, aku memilih mati di dalam kandungan ketimbang terlahir sebagai anaknya. Itu karena ia adalah penyebab sehingga aku dibesarkan dalam keluarga yang pincang. Ia berkeras bercerai dari ayahku, sebagaimana keterangan ayahku, sehingga aku hidup tanpa orang tua yang utuh.

Sialnya, aku tak mengerti dan tak bisa berbuat apa-apa atas perceraian mereka. Aku masih berusia lima tahun saat mereka resmi bercerai. Tetapi kemudian, setelah aku menyadari kalau aku tumbuh di dalam keluarga yang terberai, aku pun kecewa. Bahkan sampai kini, saat usiaku sudah empat belas tahun, aku masih tak sanggup menerima kenyataan itu.

Seiring waktu, aku terus memendam kekesalan kepada ibuku atas keputusannya. Aku merasa ia melahirkanku hanya untuk membuatku merasakan kehancuran. Bagaimanapun, aku adalah seorang anak yang ingin hidup di dalam pengayoman sosok ayah dan ibu seperti teman-temanku. Tetapi itu tidak mungkin lagi sebab ibuku memilih berpisah dari ayahku.

Aku pun makin membenci ibuku setelah ia menikah dengan berondong kaya yang lebih muda darinya, dua tahun yang lalu. Apalagi, ia melakukannya tanpa meminta pendapatku, seolah-olah aku akan nyaman saja menerima lelaki lain sebagai ayah sambungku. Ia tega mengabaikan perasaanku demi hidup bersama sang lelaki idamannya di rumah mereka.

Sedang sebaliknya, ayahku memilih tetap menduda. Ia seperti masih menyimpan cintanya untuk ibuku. Ia seakan-akan tak bisa berpaling ke lain hati. Tetapi sayang, ia memang tak bisa lagi mempertahankan cintanya yang bertepuk sebelah tangan terhadap ibuku. Mau tidak mau, ia mesti menerima pengkhianatan ibuku terhadap janji suci pernikahan mereka.

Atas kenyataan tersebut, aku jadi sangat mencintai ayahku. Tanpa bosan, aku senantiasa berada di dekatnya. Aku bahkan memilih untuk tinggal bersamanya di rumah nenekku, ketimbang tinggal bersama ibuku. Hanya sesekali saja aku mengunjungi ibuku kalau ada urusan penting, sebab aku tak suka melihatnya bersama seorang lelaki yang bukan ayahku.

Dan kebencianku terhadap ibuku sepertinya akan selamanya, sebab aku tak punya dalih untuk mencintainya. Itu karena ia tak pernah mengungkapkan alasan yang bisa kuterima perihal kenapa ia ingin berpisah dari ayahku. Dahulu, saat aku menagih penjelasannya, ia hanya terus mengulang jawabannya, bahwa ia merasa tidak cocok lagi dengan ayahku.

Tetapi perlahan, aku mulai menerka kalau ibuku mencampakkan ayahku dan berpaling kepada lelaki lain karena persoalan fisik dan materi. Ayahku memang berpenampilan buruk dengan usia yang lebih tua tujuh belas tahun dari ibuku, sedangkan suami ibuku tampan dan muda. Pun, ayahku berpenghasilan pas-pasan sebagai seorang petani jagung dengan lahan yang sempit, sedangkan suami ibuku kaya sebagai pegawai perusahaan pertambangan.

Baca Juga: CERPEN: Pulang

Namun luar biasanya, ayahku sama sekali tak membenci ibuku, meski kesetiaannya jelas telah dikhianati. Sepanjang waktu, aku tak pernah sekali pun mendengar ayahku melontarkan pernyataan yang menjelek-jelekkan ibuku. Sebaliknya, ia malah berupaya untuk meyakinkan aku bahwa ibuku adalah sosok yang baik dan sepatutnya kucintai.

“Nak, meskipun kami telah bercerai, janganlah engkau membenci ibumu,” tutur ayahku pada satu hari, setahun yang lalu, selepas penerimaan rapor sekolahku yang mencatatkan keberhasilanku sebagai peringkat tiga. Saat itu, aku kembali kesal atas ibuku yang sama sekali tak memedulikanku, bahkan untuk sekadar menanyaiku perihal nilai belajarku.

Tentu aku tak habis pikir atas tanggapan ayahku yang mengesankan kesabarannya yang tak terbatas. Aku pun memprotes, “Ah, Ibu memang patut untuk dibenci, Ayah. Ia telah meninggalkan ayah dan mengabaikanku, lantas hidup dengan suami barunya. Apa dia tidak jahat kalau begitu?”

Ia malah menggeleng-geleng dengan raut yang tenang. “Tetapi perceraian kami memang jalan terbaik bagi kami berdua, juga bagimu, Nak. Ketimbang kami terus hidup dalam ketidakharmonisan dan menggangu tumbuh kembangmu, berpisah adalah jalan keluarnya,” tanggap ayahku, dengan inti pernyataan sebagaimana sebelum-sebelumnya.

Namun aku tetap kukuh menyalahkan dan mengesalkan ibuku atas kehancuran keluarga kami. Aku pun memilih untuk tidak lagi membalas anggapan ayahku.

Ia lantas merangkulku. “Nak, kau mesti hidup tanpa membenci ibumu, agar kau sukses dan bahagia di masa mendatang. Bagaimapun, ia adalah ibumu”, Ia lantas mengusap-usap kepalaku. “Yang telah terjadi, biarlah terjadi. Ikhlaskanlah bahwa kami memang gagal dalam pernikahan. Tetapi janganlah itu membuatmu gagal juga dalam menggapai cita-citamu.”

Lagi-lagi, aku tak merespons. Tetapi diam-diam, aku membenarkan dan menggenggam pesan-pesannya itu.

Hari demi hari, aku akhirnya berusaha menerima kenyataan kehidupanku yang kacau karena perceraian orang tuaku. Seturut pesan ayahku, aku berupaya berdamai dengan keadaan itu demi kebaikan hidupku. Dan tentu, aku belajar dari kisah mereka, bahwa kelak, aku harus menemukan pasangan hidup yang sabar, agar kami hidup harmonis demi anak-anak kami.

Dan kini, aku pun mulai menjajaki rencana kehidupan masa depanku yang membahagiakan. Aku tengah menjalin hubungan istimewa dengan seorang lelaki yang lebih tua lima tahun dariku, yang kunilai akan sesabar dan sebijak ayahku sepanjang waktu. Aku bahkan telah menceritakan perihal hubungan kami kepada ayahku, dan ia setuju-setuju saja.

Dengan restu ayahku, akhirnya, aku makin mendekatkan diri dengan sang lelaki yang kini duduk di bangku kelas III SMA itu. Kami kerap berjalan-jalan dengan sepeda motornya, entah ke pusat perbelanjaan, warung-warung makan, pasar malam, pantai, dan lain-lain. Kami menjalaninya dengan penuh kegembiraan, seolah-olah dunia milik kami berdua.

Sampai akhirnya, sore tadi, sepulang kami dari pantai, petaka pun terjadi. Tiba-tiba saja, kami berpasasan dengan ibuku dan suaminya. Mereka lantas menyusul dan mengadang kami di tengah jalan yang lengang.

“Turun dan ikut aku, cepat!” titah ibuku kemudian, meminta aku agar pindah dari atas sepeda motor kekasihku ke dalam mobil suaminya.

Aku jadi kesal. “Apa-apaan sih Ibu ini!” tanggapku, lantas menepis cengkeraman tangannya pada lengan bajuku.

“Kalian ini masih muda. Kok berdua-duaan dan bermesra-mesraan, seolah-olah sudah suami-istri,” ucapnya, tampak sinis.

Seketika, aku makin jengkel. “Hubungan kami bukan urusan Ibu. Urus saja hubungan Ibu dengan suami baru Ibu itu.”

Rona wajahnya pun jadi memerah. “Oh, begini cara ayahmu mengajarimu cara berhubungan dengan seorang lelaki yang bukan mahrammu, he?” sindirnya, lantas menarik lengan bajuku keras-keras, hingga aku terjatuh dari sadel motor kekasihku.

Baca Juga: Tagalaya*

Aku sontak menangis.

“He, kau, pulang! Jangan pernah dekat-dekat dengan putriku lagi!” bentaknya kepada kekasihku.

Tanpa berkata-kata, kekasihku lantas pergi.

Aku lalu berdiri dan bercerocos, “Ibu ini apa-apaan? Apa hak Ibu mengatur-atur hubunganku dengan kekasihku itu?” sergahku, menentang sikapnya, sembari terus mengurai air mata. “Aku tahu batas berhubungan dengan lawan jenis. Aku tahu menjadi perempuan yang baik-baik.”

Ia lalu memandangiku dengan tatapan yang nanar.

“Yang pasti, aku tak akan menjadi perempuan yang tega meninggalkan pasangannya karena alasan fisik dan materi. Aku tidak akan sebejat Ibu yang tega meninggalkan Ayah karena ia tua dan miskin. Aku tak akan menjadi seorang janda genit demi menggaet berondong muda yang kaya, kemudian mengabaikan anak kandung sendiri,” sambungku, dengan sikap menantang.

Tiba-tiba, ia mendaratkan tamparan keras di pipiku. “Jangan menudingku seperti itu. Aku sama sekali jauh dari apa yang engkau pikirkan.”

Tangisanku makin menjadi-jadi. Karena merasa tidak terima, aku makin emosi. “Lalu, apa arti dari tindakan Ibu yang tega meninggalkan Ayah demi lelaki lain?”

“Jangan menyalahkan aku atas perceraianku dengan ayahmu. Kau seharusnya menyalahkan ayahmu itu,” balasnya, keras.

“Bagaimana bisa aku menyalahkan Ayah jika aku tahu kalau Ibu yang ingin bercerai ketika

Ayah masih sangat mencintai Ibu?” sidikku, menuntut keterangan.

Ia lantas mendengkus keras. “Jadi, itu yang diceritakan ayahmu kepadamu? Jadi, ia mengaku-aku mencintaiku?” Ia lantas menggeleng-geleng. “Tidak. Ia tidak sebaik yang engkau kira. Ia tidak mencintaiku, dan aku memang sepantasnya tidak mencintainya. Kami menikah bukan karena kami saling mencintai, tetapi untuk menutupi aib akibat dari nafsu bejatnya. Ia memerkosaku, hingga aku hamil dan melahirkanmu.”

Seketika, aku tecenung mendengar penuturannya.

Ia kemudian menggapai dan menggenggam tanganku. “Tetapi apa pun yang terjadi, aku tetap mencintaimu sebagai anakku, Nak. Karena itulah, aku tak ingin kau terluka karena lelaki. Aku ingin menjagamu, agar kau hidup bahagia tanpa trauma masa lalu,” tuturnya, lantas memelukku.

Dengan perasaan yang dingin, aku pun membalas pelukannya. Perlahan-lahan, aku mulai memahami permasalahan hubungannya dengan ayahku, hingga anggapanku jadi berubah terhadap mereka.

Akhirnya, selepas pertengkaran hebat itu, aku menumpang mobil suaminya, hingga aku tiba dan berdiam diri di satu kamar, di dalam rumah mereka, di sini, di malam ini, dengan perasaan dan pikiran yang semrawut.(*)


Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Back to top button