CERPEN: Pulang
Sambil membopong ransel, langkahku cepat-cepat masuk ke kapal yang sebentar lagi berangkat dari Tulehu, ke Masohi. Bunyi kapal mulai menggema nyaring. Orang-orang dewasa hilir mudik mengangkat barang-barang bawaan. Para pedagang asongan pun bersuka ria. Terlihat satu persatu dari mereka menawarkan barang dagangannya, sebelum sebagian dari mereka lenyap di balik pintu masuk kapal.
“Aqua-Aqua. Beli, dek,” tanya seorang pedagang dengan seulas senyumnya. Lantas ia menyodorkan Aqua itu ke arahku.
“Berapa, Bu.”
“Lima ribu, dek.”
Aku mulai merogoh uang yang berada dalam saku celana jens. Uang yang sesuai dengan harga itu, ku berikan dengan senang hati.
“Makasih ya, nak.”
“Iya, bu,” jawabku sambil mengangguk.
Kapal hendak berangkat. Orang-orang dewasa mengambil tempat duduk seperti biasanya. Kadang-kadang mereka saling menoleh satu sama lain. Pikirku sama. Mungkin ada orang yang dikenal untuk diajak duduk bersama, bercerita demi menampik kebosanan selama berada di atas kapal.
Aku melihat pulau Ambon dari kejauhan. Rumah-rumah warga perlahan mulai mengecil bak semut-semut api. Memang indah saat dari jauh. Mungkin setiap orang luar yang ingin bertandang ke sana, pasti terpesona tanpa tahu beragam penyakit yang terselubung di kota itu.
Kini dalam benak, sanak-keluarga dan teman-teman lama bermunculan seperti buih-buih di lautan. Mereka memenuhi isi kepala. Tapi hal itu tak sesekali mengusik rindu yang sedang menggelegar ini. Aku senang akan kembali ke kampung halaman menjelang pertama puasa. Ah, betapa indahnya keriuhan di bulan ramadhan ini. Anak-anak, orang-orang dewasa, bahkan putri rumahan akan keluar, dan berbondong-bondong menyambangi masjid untuk salat wajib dan sunah tarawih.
***
Terlihat dari kejauhan orang-orang telah berdesakan. Padat seperti kumpulan batang lidi yang diikat. Kegaduhan itu terlihat jelas saat kapal mulai menyampirkan tubuhnya ke dermaga. Anak-anak mengambil ancang-ancang, lalu melompat meraih tubir kapal. Mereka bergelantung sebelum naik di atas geladak kapal. Ah, begitu lihai saat mereka menyelipkan diri untuk mencari-cari penumpang yang hendak memerlukan jasa mereka.
Aku diam sejenak. Menunggu waktu yang laik untuk mengangkat pantat dari tempat duduk, lalu keluar tanpa perlu bersenggolan.
“Din,” suara serak-serak basah itu terdengar nyaring. Seorang berbadan ideal berdiri tepat di belakangku. Sontak aku berbalik. Aku begitu tercengang, kagum melihat kawan lama kini gagah dengan pakaian dipenuhi atribut polisi.
“Yusri, bagaimana kabarmu,” tanganku meraih tangannya yang kasar bak kulit buaya itu.
“Sudah lama kita tak bertemu, ya.”
“Iya,” senyum di parasku tetap terjaga.
Kedua tangannya meraih pundakku. Ia mengajakku untuk duduk. Akupun mengiyakan. Aku begitu senang meski setiap kata yang melompat-lompat dari mulutnya tak mencerminkan kegagahannya. Pikirku, kegagahan seorang lelaki terletak pada ketenangannya. Kurang lebih menjelma seperti sebuah lonceng gereja.
“Aku dengar-dengar kau masih kuliah, ya. Semester berapa?”
“Ya, gitulah. Sudah semester enam.”
Ia mengangguk. Lantas ia melanjutkan, “Sebentar sehabis tarawih kita ngumpul, ya,” tawarnya.
Akupun setuju.
“Ayo, sudah sepi,” kataku pelan.
“Ayo.”
***
Suasana kota terlihat lengang. Harapan yang sedari malam kureka-reka dalam pikiranku, hilang sekejap bak abu tersapu angin. Anak-anak tak terlihat sedikit jua. Orang-orang dewasa pun hilang entah kemana. Pikirku, mungkin matahari sedang tergelincir, lantas membuat mereka berleha-leha di rumah. Atau mungkin mereka sedang menyisipkan separuh tenaga sebelum menjemput waktu berbuka.
Memang, hampir setahun pandemi sedang melanda berbagai kota. Sana-sini orang ketakutan, cemas pada virus yang hampir membunuh manusia setiap harinya. Pikiranku seketika menjadi liar. Mencari-cari penyebab orang-orang tak keluar rumah seperti Ramadan tahun kemarin. Padahal, telah tersiar di berbagai kanal informasi. Tahun ini, Indonesia sudah mulai membaik seperti biasanya. Aktivitas pun telah berjalan normal.
Beberapa jam kemudian. Keriuhan terdengar dari bilik rumah.
“Di bawah, di balik jendela itu.”
“Ah, sial. Pelorku habis.”
Kaget bukan main. Dengan cepat, tubuh yang sedari tadi kurebahkan di tempat tidur langsung terbangun, berlari mencari suara dari bilik rumah. Di sana, aku melihat teman-temanku sibuk dengan ponselnya masing-masing. Jari-jemari mereka begitu cekatan. Kini aku tahu penyebabnya. Game menjadi alternatif yang mumpuni untuk membunuh waktu dan menggerus kultur itu.
Lantas kujatuhkan pantatku. Menggeser sedikit demi sedikit, lalu menoleh ke arah ponsel temanku. PUBG. Aku sesekali menoleh ke arahnya. Ia seolah-olah turut ambil bagian dalam peperangan itu. Giginya sengaja digesek-gesekan. Begitu terhibur dengan keramaian itu. Sadar dan tidaknya, aku menikmatinya meski perutku keroncongan.
***
Malam telah menjelang. Ponselku berdering nyaring. Panggilan itu dari Yusri.
“Din, kita ketemuan ya di kafe Sianida.”
“Oke.”
Mungkin hari ini adalah reuni yang ditunggu-tunggu. Bagaimana tidak, bertemu kawan lama, atau mungkin mantan pacar adalah kebahagiaan tersendiri. Lantas kuniatkan dalam benak untuk mengulur-ulur jam tidur. Ah, tak apa. Yang pasti, kerinduan yang tertumpuk ini lekas membaik sebagaimana mestinya.
Terlihat kawanku-kawanku telah menunggu. Mereka terlihat santai. Berbicang-bincang mengenai masa lalu. Begitu mengasyikan. Akupun mendekatkan diri. Duduk di kursi paling pojok sembari melihat-lihat wajah mereka satu per satu.
Kegeriangan itu telah terasa. Mataku tak menoleh ke arah manapun selain mereka. Gumamku dalam hati. Mungkin begitulah rindu. Ia membutuhkan jarak yang cukup untuk manusia tetap menghargai waktu.
“Ayo, kita main,” kata Yusri sembari membuka kunci ponselnya.
“Ayo!” mereka sontak menyahut.
Kini begitu buyar semua harapan yang dinanti-nanti. Aku begitu heran. Bingung serta marah. Tapi apa yang harus kulakukan? Aku tahu sebelum mulut menekur mereka, kata pertama dari Yusri pun keluar.
“Yang tak main PUBG harap tenang, ya.”
Pertemuan ini tak seperti tahun sebelumnya. Beramai-ramai bercerita, menertawakan kisah sewaktu sekolah sampai air mata bercucuran dari sela-sela pelupuknya. Ah, aku merindukan suasana itu.
“Din, kau tak main?”
Dengan tenang, aku menjawab. “Mainlah dulu. Ponselku kutinggalkan di rumah.”
Terngiang dalam pikiran. Bagaimana bisa arus teknologi membunuh manusia melalui perangkat yang paling lunak (otak) itu. Memang tak bisa dipercaya. Dengan senyum mengejek. Kuberanikan diri untuk memikiran Tuhan yang kedua. Selain tuhan yang sebenarnya disembah, Tuhan di dalam ponsel pun tak luput dari sesembahan manusia. Kendati hidupku bersama kekolotannya, masih berhasil mengikis kegilaan teknologi meskipun secuil.
Tanpa basa-basi, aku mengangkat tubuh dari kursi itu. Berhenti sejenak. Terngiang dua pilihan dalam kepala. Duduk, atau pulang. Ah, pulang menjadi solusi yang terbaik untuk memukul-mukul kesadaran mereka secara halus.
Masohi, 15-April-2021.
Penulis: Udin, mahasiswa semester V, Fakultas Ushuludin Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi