Cerpen

CERPEN: Dendam, Tak Sempat Terbayar

CERITA PENDEK

Rindan berselonjor di beranda rumahnya. Tampak ia begitu bingung, tersedu-sedan melihat Irani terkapar di pangkuannya, tak bernafas. Rindan menyadari bahwa Anthony telah merenggut kebahagiaan di dusunnya, Arene.

Keriuhan mulai terlihat jelas di depan rumah Rindan. Sore itu, terdengar cengar-cengir warga secara beruntun menghiasi langit di Dusun Arene. Terlihat dari kejauhan sekawanan burung pipit ikut meramaikan kegaduhan itu. Mereka saling menyahut, bebas, setelah berbulan-bulan berleha di pohon beringin yang rindang. Di atas dusun, langit cepat berganti warna, dan membuat atmosfernya tersirat tak biasa. Fenomena itu belum pernah terjadi sebelumnya. Warga mulai terperangah. Para pemuda pun mulai berkumpul di pos ronda, mangatur siasat untuk mendesak Anthony membayar semua kejahatan yang ia perbuat.

“Apa langkah yang akan kita lakukan? tanya seorang warga dengan geram kepada sahabat Rindan, Sayuti.

“Aku belum memikirkannya,” sahut Sayuti.

“Sudah. Kita bakar saja perusahaan itu beserta rumahnya,” sontak seorang pemuda memotong pembicaraannya dengan menyandang parang dan bensin di tangannya.

“Jangan gegabah! Sesuatu yang dibuat tanpa perhitungan, hasilnya akan kurang maksimal,” sahut Sayuti, ketus. Ia melanjutkan, “kita akan menunggu perintah dari Rindan.”

Sontak pecah suasana setelah mendengarkan perintah dari Sayuti. Para pemuda pun saling beradu pandang. Ratusan pasang mata itu tak berani berbicara, kecuali suara riuh burung-burung, beriringan dengan desiran ombak yang bergemuruh hebat. Sementara di sisi lain mereka mengetahui, jika Rindan bukanlah orang yang berani. Tak mungkin ia mengambil keputusan seperti yang terbesit dalam otak mereka, anarkis. Tetapi, kesadaran mereka terhadap kekuasan yang bertumpu pada diri Anthony, mesti direncanakan secara prematur dan hati-hati.

“Di mana Rindan? Sudah sejam kita menunggu, tetapi tak tampak sedikit pun batang hidungnya. Sudah! Kita akan bertindak serong, jika ia belum juga datang,” tampak cemas, Sayuti langsung menengahi massa yang geram itu.

“Panggilkan Rindan ke sini, Yos.” Sayuti perintahkan temannya untuk menemui Rindan di rumahnya. Yos menoleh ke massa. Tersirat dengan pasti kemarahan mereka dari ratusan pasang mata yang mendelik tajam itu. Sontak ia langsung bergegas cepat ke rumah Rindan yang tak jauh dari pos ronda.

Dalam keadaan yang genting itu, Rindan hanya menutup diri di rumah. Keriuhan yang terlihat jelas di dusun, sama sekali tak ia gubris. Ia betul-betul sedang dirundung nestapa. Kendatipun Anthony berhasil menyulut kobaran api dengan kematian istrinya, ia hanya memilih untuk mendiaminya. Perasaan itu bukanlah sesuatu hal yang baru untuknya. Ia sejak lama mengidap penyakit aneh, Generalized Anxiety Disorder atau ketakutan yang berlebihan.

***

Sebulan kedatangan Anthony ke Dusun Arene, ia terlihat baik dan sopan. Semuanya diberikan secara cuma-cuma. Makanan dan minuman khas masyarakat kota, ia jadikan sebagai alat pemuas kebutuhan warga. Ia bahkan sempat menjanjikan kehidupan yang laik bagi mereka. Warga terperangkap, mabuk akan bualan yang melompat-lompat dari mulutnya. Mereka dengan keriangannya mulai menggantungkan semua harapan. Dalam pikiran mereka. Tak ada yang baik untuk dilakukan, jika belum ada persetujuan dari Anthony. Si bedebah itu berhasil melancarkan misinya, merenggut semua kekayaan alam yang terselip di Dusun Arene.

Sebelum kegaduhan itu terjadi. Dusun Arene digadang-gadang sebagai surganya para dusun. Rerumputan yang hijau; sayur-sayuran yang segar, ratusan pohon beringin yang rindang, besar, selalu setia mengepakan ranting-rantingnya memayungi Dusun Arene. Gubuk-gubuk tua beralaskan anyaman daun kelapa, serta atap-atap berbahan rumbia, masih tetap terpampang jelas di masing-masing rumah warga. Semuanya memanjakan mata. Bahkan hembusan angin yang sejuk, mampu membangkitkan bulu kuduknya orang asing yang sesekali bertandang.

Kini semua keindahan yang bergelimang di Dusun Arene, mulai tergerus secara paksa. Anthony sebagai pelaku, secara halus menghanguskan harapan yang telah ditanamkan warga pada dirinya. Ia cepat berganti rupa. Warga mulai sadar, jikalau Anthony hanya berkedok di depan mereka demi meraup keuntungan dari Dusun Arene. Hal itu juga terbuktikan dengan kematian Irani selepas ia beranjak pulang saat membersihkan tubuhnya di sungai, sore hari. Tak ada kepastian, bagaimana Irani dibunuh.

“Sembunyikan bedil ini, biar perlu dikuburkan saja! Ingat, jangan sampai ada yang melihat.” Dengan wajah tak karuan, Anthony memasuki rumahnya. Lantas ia mengambil kretek di atas meja. Dengan keadaan bimbang, ia menyulutkan kretek dan menariknya dalam-dalam. Tampak jelas raut wajahnya. Dia mencoba menampik kegelisahan itu.

“Siap, pak,” tanpa menoleh sedikitpun, kacung itu lantas menguburkan bedil Anthony di pekarangan rumah tuannya.

“Ambilkan minumanku, cepat!”

“Perempuan keparat! Dengan seenaknya dia menampik tawaranku untuk menjadikannya seorang selir. Bangsat! Lebih buruknya, ia mengatakan jikalau parasku seperti belalang,” sontak Anthony mengancungkan jari telunjuknya ke salah satu kacungnya. “Kau! Jawab dengan jujur. Siapakah di antara kami berdua yang mirip belalang? Aku atau Rindan.”

Pertanyaan itu membuat para kacung tergelitik, menahan tawa. Mereka mengetahui pasti. Tubuh mungil dengan batang hidung yang hampir tak tampak, dan mata yang membelalak itu, memang terlihat seperti belalang. Bahkan bagi mereka, tak terlihat sedikit jua wibawa seorang pemimpin.

“Rindan, Pak!” jawab seorang kacung cepat, tandas.

“Bagus. Kau yang di pojok! Pergilah ke sungai. Angkat dan kuburkan mayat Irani selepas, dzuhur.” Lantas suasana pecah tak tertahan. Mereka satu persatu terperangah dengan jawaban tuannya. Kini, tak ada secuil sumpah serapah yang mampu tergelincir dari mulut mereka atas kematian Irani. Mereka hanya bergumam, sedikit menggigil.

***

Setelah seperempat jam lamanya mereka menapak tilas, sampai juga mereka ke sungai. Di kejauhan, Irani telah terkulai. Dadanya terlihat kembang kempis. Darahnya yang berkucur kemana-mana, lantas meninggalkan bekas noda merah di setiap pucuk rerumputan. Dengan nafas tersengal-sengal, mereka pun segera melangkah menuju dirinya. Tetapi, Irani tak terselamatkan. Ia telah menghebuskan nafas terakhirnya dua menit yang lalu.

“Bangsat! Dari awal sudah aku katakan. Jika Anthony bukanlah orang yang pantas dijadikan panutan. Ini, semua gara-gara dirimu!”

“Kau yang salah!”

Perdebatan dua kacung itu mulai terdengar nyaring. Dengan cepat kebisingan itu dipadamkan dengan suara geram salah seorang kacung berbadan ideal, sembari mencangkul tanah.

“Hus, diam! seketika mulut mereka berdua sontak tak bicara. Dengan cepat, ia berbalik arah kepada kedua temannya. “Kita ini senasib-sepenanggungan. Cobalah kalian bayangkan. Bagaimana jadinya, jikalau dulu istrimu tak dibantu Anthony saat proses lahiran? Dan kau! Apakah kau mampu membayar semua hutangmu yang kau pinjam sewaktu doyan berjudi dulu? Sudalah! Tak usah berdebat. Kita sudah lama bertengger di ketiak si bedebah itu.”

Katanya sekali lagi, “Hayo! kita tanam mayat ini. Setelah itu kita, pulang.”

Di balik ilalang, seorang warga telah menyaksikan kejadian itu. Ia menjadi saksi bisu. Ia sebetulnya, tak tahu-menahu persoalan sosok perempuan yang tergeletak di atas tanah itu. Yang ia lihat, hanyalah pengawal Anthony yang sedang tergesa-gesa mengangkat tubuh mayat, lalu dijatuhkannya di sebuah lubang. Dengan langkah yang hati-hati, ia berlari, terhuyung-huyung menuju Dusun Arene. Lantas informasi itu dengan cepat merebak ke telinga warga, termasuk Rindan

***

“Rindan! Keluarlah. Kini warga hanya menunggu perintahmu.” Yos memanggilnya dengan keras, nyaring.

Di bilik rumahnya, Rindan terlihat keropos. Ia menyadari panggilan itu dari kawannya, Yos. Tetapi, dengan hati yang sedang gundah-gulana, emas dan berlian pun tak ada nilainya. Rindan hanya bersimpuh. Doa kepada istrinya, Irani, bahkan sehari tak pernah putus.

“Kau adalah korban. Tak seharusnya engkau mendiami kebenaran. Jangan kau takut. Kita sedang berada di pihak orang-orang yang benar. Ketakutan itu tak seharunya membelenggu jiwamu yang bersih dan luhur. Jiwamu tahu-menahu soal kebenaran. Hayo, Keluar! kita tuntut apa yang menjadi hak kita sebagai manusia. Hayo!”

Kata-katanya begitu memukau. Tetapi, ia belum berhasil menarik perhatian Rindan yang sedang sendu itu. Tatapannya tetap kosong. Sesekali ia mengelus-elus wajah istrinya. Badannya yang terus menukik, mencoba meraih bibir dan pipi Irani. Parasnya terlalu sayu, seolah-olah hilanglah semua harapan dalam cita dan cintanya. Dari jauh, entakan kaki mulai terdengar hebat ke gendang telinga Rindan. Warga yang telah dikuasai nafsu dan amarah, berbondong-bondong menyambangi rumahnya. Sayuti telah menyampirkan parang di pundak. Lantas ia membuka pembicaraan itu, dengan wajah masam.

“Keluarlah, Rindan. Hayo! Lakukanlah apa yang pantas untukmu hari ini,” tandasnya. Ia melanjutkan. “Jika kau belum cukup berani, maka izinkanlah saya, Sayuti, dan para warga lainnya bertindak.”

Rindan hanya memicingkan mata di balik pintu rumahnya. Belum juga ada sasmita darinya. Sayuti yang sedari awal menyadari penyakit Rindan, tak mau berleha-leha di pelataran rumahnya. Dengan badan yang melenggk-lenggok, ia mulai menggerakan massa menuju kediaman Anthony. Tepat pukul tujuh malam, terdengar suara tembakan memenuhi Dusun Arene. Para pemuda yang sejak tadi menahan amarahnya, selayaknya singa lapar. Para kacung yang tak tahan dengan amukan warga, mulai lari tunggang-langgang. Dengan strategi yang dipikir secara prematur, berhasil mengambil alih rumah yang megah itu. Anthony yang kewalahan dengan aksi gerilya para pemuda, langsung ditawan. Kendatipun ia dihujani pukulan dan tendangan bertubi-tubi dari para warga, ia masih sempat terkekeh.

“Kau pantas mati. Buk!” Geram Sayuti yang berkali-kali mengayunkan tendangannya, tepat di wajah Anthony.

Kemarahan yang menggila itu, terhenti seketika saat mereka menoleh ke arah pintu masuk. Rindan terlihat gagah berani. Jalannya tertatih-tatih menuju Anthony. Di tangannya ia memegang bedil rakitan milik almarhum Ayahnya yang ia simpan selama bertahun-tahun. Keberaniannya mulai mencuat hebat. Sayuti yang berdecak kagum, mulai mengangkat kepala si bedebah itu. Ia seolah menyiratkan Rindan untuk bersiap-siap melubangi kepala Anthony.

***

“Dor!”

Bunyi tembakan sontak mencairkan suasana. Seragam necis berbaju keabu-abuan itu menghadang massa yang bertindak menggila. Para warga pun diringkus atas perlakuan anarkis mereka. Anthony yang telah terkapar di lantai, menemui ajalnya semenit kemudian. Rindan yang belum sempat membalas kematian Irani, ikut diringkus dan di masukan ke dalam mobil tahanan. Lantas mereka terpidana atas kasus perencanaan pembunuhan. Di dalam mobil itu, para tahanan berdesakan bak anjing-anjing liar yang terperangkap.

Kini dengan wajah yang terlunta-lunta, Rindan hanya meratapi nasibnya. Beberapi kali ia bergumam, tak sedikit jua menumbuhkan citranya sebagai seorang lalaki. Lantas apa yang harus dilakukannya? Apakah pantas untuk hanya berpangku tangan melihat orang yang dicintainya terenggut oleh si bedebah itu. Kini, hanya dendam yang tersisa. Dendam yang terbelenggu dengan ketakutannya itu.

“Keparat! Bawa mereka semua ke sel tahanan!” Kata saudara kandung Anthony, Willson, yang sedang menarik kreteknya, sembari melipat tangan kirinya.

udin

Penulis: Udin, mahasiswa semester V, Fakultas Ushuludin Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Back to top button