Cerpen

CERPEN: Pelukan Pulang

Pelukan Pulang 

Peluk aku Bu. Aku ingin bersamamu melihat dunia lebih jauh. Sudah cukup banyak yang kamu perjuangkan untuk seorang aku. Aku yang sebenarnya mencintaimu.

Aku terlalu naif Bu, tak pernah berani mengungkap misteri dalam hatiku. Bagiku kamu tentu tahu tanpa aku katakan, aku si kecil yang kini tumbuh menjadi seorang gadis yang cukup kuat dengan berbagai kenyataan-kenyataan pahit.

Aku ingin banyak bercerita tentang perjalananku di tiga tahun belakangan. Biasanya kamu yang menguatkan di saat aku benar-benar tak percaya bahwa aku mampu. Peluk aku Bu, aku benar-benar merindukan kehangatan itu.

Ibu ingat tidak waktu mengucir rambutku, ketika aku sudah mulai pegal ibu menarik dengan kuat ikatan rambutnya, “supaya nurut,” kata ibu.

Duduk berdua di gawangan pintu, sesekali ibu menceritakan masa kecil sampai ibu bertemu dengan ayah, hingga menikah. Romantis sekali ya, Bu.

Bu, ini terasa berat, ketika aku tak lagi mampu menatap tatapan tajam yang sering terpancar dari matamu. Tak ada lagi suara panggilan dari dapur ketika aku malah asik baring di tempat tidur, bukannya membantumu.

Dering di HP-ku yang biasa bertulis namamu juga sudah tak ada, padahal dulu setiap keluar rumah, hampir setiap menit menyuruhku pulang, bahkan sering kumatikan HP agar tak menganggu.

Setiap kali aku bangun, aku merasa menyesal tak ada artinya lagi, semua yang aku lakukan sebenarnya untuk siapa? Hidupku seolah berhenti, pertama kali aku dengar bahkan melihat dengan mataku, wujudmu kaku, tak lagi memberikan respon ketika aku sentuh. Aku memelukmu tapi tak kau balas dengan pelukan. Aku memintamu berbicara ibu diam. Semua orang memandang ibu dengan wajah penyesalan, wajah tak rela, ada apa ini Bu?

Hampir setiap detik yang teringat adalah kebodohan. Penyesalan paling bodoh. Kenapa dulu aku terlalu dingin dengan ibu? Kenapa dulu aku tak pernah memberikan kesan manis? Menciummu saja menunggu lebaran.

Ibu, jika diizinkan mengulang, aku hanya ingin memperbaiki sikapku terhadapmu. Berdamailah dengan alam barumu, ya Bu.

Semoga di sana, Ibu ditemani Orang-orang baik, yang tak sepertiku.

Jang lupa pulang ke rumah ya, ada ribuan doa yang aku kirim ke langit. Mungkin Tuhan masih menyimpan doanya, belum diberikan kepadamu. Agar aku lebih sering berdoa untuk ibu.

Ibu jangan khawatir, aku akan menjadi anak yang baik untuk ibu, ayah dan juga kakak yang baik untuk adik, seperti pesan ibu.

Ingat ya Bu, sering-sering pulang ke rumah. Sesekali bisa menyicip masakanku yang sering ibu protes karena asin. Sekarang sudah tak asin bu, malah jadi hambar, he-he-he.

Afika Windasari

Penulis: Afika Windasari.

Mahasiswa semester V, Fakultas Ushuludin Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Back to top button