Cerpen

CERPEN: Trotoar Maha Kuasa

Oleh: Eko Saputra Poceratu*penyair asal Maluku yang dikenal dengan sapaan Penyair Api


Satu kompi malaikat berjas hitam putih turun ke kota manis. Mereka singgah di rumah kopi koas. Bercerita tentang musim kampanye, kalangan elit surga dan misi mempersiapkan jalan untuk parousia.

Proyek dua periode harus berjalan lancar, burung mesti siap terbang meninggalkan pohon pengetahuan baik meski kehilangan sayap kiri. Salah satu malaikat yang lebih necis menghitung biaya pulang pergi, surga-bumi yang cukup mahal, sambil mencari jalan untuk makan untung. Anak malaikat juga butuh susu, dana BOS, wifi dan jalan-jalan ke Bali atau Paris.

Setelah kopi mencuci gelas, kaki menyisir rambu-rambu jalan. Setelah panas mengusir dingin, api menyusui selokan. Para malaikat elit, genit, pelit sekompi itu berkeliling kota. Mereka terkejut pada wajah bandar togel di baliho yang menulis angka kitab suci di bawah wajahnya.

Baca Juga: CERPEN: Pulang

Mereka saling memandang dan tertawa pada pohon-pohon yang tumbuh tumbang di perut kota. Mereka menertawakan pencitraan, ironi dari kelucuan yang terpampang pada janji-janji di papan iklan tanpa hati nurani insan.

Rupa-rupanya manusia di kota manis tidak bernapas dengan paru-paru melainkan gula-gula. Manis sekali. Dihisap lima dekade pun tetap saja sedapnya, meleleh tanpa lelah. Air liur kenyataan memang tak pernah serupa dengan air cuci tangan di rumah ibadah.

Tibalah mereka di titik nol kota. Melihat para pekerja trotoar yang mati satu demi satu. Dana tujuh miliar dialirkan melalui air mata anak-anak dan istri mereka. Para malaikat itu melihat dengan mata uang mereka, ribuan lansia mati sia-sia di atas trotoar. Siapa yang sedang bermain licik pada nyawa?

Kapan gunung menjadi curang saat memiliki jurang. Kapan laut menjadi tega saat memiliki palung? Para malaikat saling bertanya pada orang-orang yang melintas. Tak ada jawaban. Mayat-mayat berjatuhan dengan lambat.

Salah satu malaikat memetik gitar. Mereka memainkan musik hawaian. Mengirim jiwa-jiwa ke rumah sakit tanpa biaya penebusan obat. Dokter tampak teler, menelan anggur darah pasiennya sendiri. Maka tak perlu membayar jika kau miskin. Kaulah yang empunya beras-beras raskin dan makan diterangi lilin.

Para malaikat bingung. Bagaimana harus melapor kepada pusat, bahwa trotoar belum kelar. Mereka tahu, Tuhan pun akan jatuh jika berjalan di atas trotoar maha licin itu, walau kuasa tuhan tidak bisa diganggu gugat, namun kuasanya bisa digugat dan bisa saja kalah jika hakim menyulap hukum menjadi pahala.

Mereka tahu, mujizat tidak bisa mengalahkan penjilat. Lidah tidak bisa menyangkali ludah. Tuhan tidak berdaya melawan trotoar yang punya banyak kenalan sampai di lautan. Tuhan cuma punya sedikit malaikat, orang dalam dan orang baik yang dinilai oleh orang baik lainnya hanya karena kejahatannya bersembunyi di brangkas pengadilan tinggi.

Ternyata, parousia memang belum bisa terjadi. Selama yang mengalir di nadi masih air kencing cacing. Entahlah. Mungkin tuhan harus jatuh sekali untuk bisa mengubah trotoar menjadi roti atau mengubah air selokan menjadi anggur pesta.

Akhirnya, para malaikat kembali ke surga. Mereka membawa serta laporan, koran dan karangan, yang saat ini baru saja selesai kau baca, setan.

Ambon, 4 Mei 2021


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Back to top button