PendapatOlahraga

Bisakah Sepakbola jadi Kekuatan Politik Pilkada?

PENDAPAT

Oleh: Ardiman Kelihu (Mahasiswa S2 Fisipol UGM dan Fasilitator pada gerakan Interfaith di Maluku)


Di Indonesia, para suppporter sepak bola seringkali juga dimobilisasi sebagai kekuatan politik, utamanya di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Meski tak semua. Studi Yoga Permana (2017) yang melihat perbandingan antara Aremania dan klub sepakbola di Argentina, menunjukan bahwa mobilisasi sepakbola sebagai kekuatan politik sangat tergantung pada model organisasi suppporternya. Ia mencontohkan, Dada Rosada yang mencalonkan diri, pernah memobilisasi supporter Persib Bandung (The Viking) sebagai kekuatan politiknya di Pilwalkot Bandung 2008. Di Jawa Timur, suporter Persela Lamongan (La Mania) juga pernah dimobilisasi oleh elitnya di Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) 2010. Di Jogja, para pendukung PSI Mataram jadi terbelah karena konflik kepentingan antar sesama elitnya.

Persis di Maluku, nama KNVB dan warna Oranye yang merupakan supporter Belanda digunakan untuk menarik minat anak muda, yang mayoritasnya supporter Belanda, untuk mendukung paslon DAMAI di Pilkada 2013. KNVB digunakan oleh Abdullah Vanath dengan akronim dari Komunitas Vanath(ik) Bersatu, untuk mengidentikan dirinya sebagai bagian dari supporter Belanda –yang sama dengan mayoritas anak muda– di tim sepakbola.

Di Indonesia secara umum, para elit politik kita sering berkonflik untuk memimpin klub sepakbola. Kenapa bisa? Sebab dengan memimpin klub sepakbola, citra mereka bisa dibangun, mobilisasi pendukung politik bisa dilakukan, klientelisme politik bisa dibentuk, serta akses terhadap keuntungan ekonomi bisa diperoleh.

Begitulah, sepakbola. Sebagai olahraga, memang sejak dulu tidak saja digilai secara massal oleh sejumlah kelompok untuk menunjukan dukungan, fanatisme, euforia, melainkan juga sebagai arena untuk mengidentifikasi ikatan historis, identitas geografis, ideologi, etnis bahkan kepentingan politik.

Di Turkey misalnya, kelompok UltraSlan yg mendukung Galatasaray menggunakan sepakbola untuk mengatasi segregasi etnis, agama dan politik (Battini, 2012). Di Spanyol, sepakbola dimanfaatkan oleh para pendukungnya untuk menegosiasikan perlawanan terhadap pusat oleh daerah-daerah pinggiran. Misalnya melalui rivalitas Barcelona sebagai simbol nasionalisme Catalan di daerah pinggiran (periphery) versus Real Madrid yang menjadi representasi nasionalisme Spanyol di daerah center (Bantel, 2013).

Atau di Argentina misalnya, dimana Sepakbola dan politik elektoral tidak bisa dipisahkan karena seorang presiden, direktur atau manajer klub sepak bola dipilih oleh rakyat. Celah yang sering diintervensi oleh para politisi untuk dijadikan modal politik pemenangannya di Pemilu, membangun jejaring politik, sekaligus membentuk skema klientelisme di akar rumput (Duke & Crolley, 2001). Di Argentina sepakbola adalah perluasan politik di akar rumput. Misalnya saat para supporter bocah junior terlibat dalam mobilisasi pendukung Pilwalkot Buenos Aires.

Baca Juga: Talucu

Pergi ke Italy. Di Italy, sepakbola pernah dibajak oleh Benito Mussolini untuk melanggengkan proyek politik partai fasis dan kepentingan xenophobik yg didukung oleh sejumlah politisi sayap kanan. Di Asia Selatan, khususnya India, sepakbola digunakan sebagai simbol perlawanan kolonialisme sekaligus basis komunalitas dan nasionalisme rakyat India saat berhadapan dengan kolonial Inggris (Dimeo & Mills, 2001). Orang India melihat kekalahan Inggris di Sepakbola sebagai spirit bavi mereka untuk mengalahkan Inggris yang saat itu sedang menjajahnya.

Sebagai modal politik, kelompok pendukung sepak bola pernah punya pengalaman dilibatkan bahkan dimobilisasi dalam kontestasi politik. Namun, peluang untuk memobilisasi para supporter harus sejalan dengan tradisi komunalitas dan hirarki kekuasaan yang tebentuk dalam organisasi para supporter. Beberapa peristiwa politik yang memanfaatkan para supporter sebagai modal politik bisa terjadi –seperti di Argentina, atau India– disebabkan berfungsinya kerja partai politik dalam menggarap massa yang kuat di akar rumput.

Selain juga karena terintegrasinya, model organisasi para pendukung sepakbola dengan para elit, pada saat yang sama, mereka juga menjadi bagian dari struktur politik elektoral. Dengan kata lain, para pemimpin kelompok supporter terorganisir secara komunal dengan para elit politik. Meminjam tesis Permana (2017) bahwa, para kelompok supporter itu juga punya hirarki kekuasaan yang sangat formal dan ketat sehingga mudah dimobilisasi dengan elit politik.

Dua hal ini–model organisasi dan koneksi elit— bisa memungkinkan para elit politik untuk melakukan mobilisasi para pendukung klub sepakbola sebagai kekuatan politik elektoral. Tentu ini situasi yang rawan karena kapan saja bisa memicu pecahnya soliditas olahraga karena tensi politisasi yg cukup tinggi. Namun, tak menutup kemungkinan juga bisa diaktivasi sebagai modal politik utk memperkuat basis komunalitas atau kepentingan politik akar rumput. Utamanya sepak bola. Tergantung bagaimana dan dari segimana para kelompok supporter ini dikelola.

Argentina dan India adalah dua variabel politik yang elit politiknya, baik melalui partai maupun personal secara langsung mudah terhubung ke basis massa di akar rumput. Infrastruktur politik kepartaiannya include debgan jaringan masyarakat sipil yang solid. Sehingga memungkinkan mereka untuk terkoneksi lebih cepat dengan kelompok-kelompok massa, termasuk klub sepak bola dan para pendukungnya.

Sepakbola memang cair, menghibur sekaligus politis. Sewaktu-waktu bisa dikooptasi sebagai modal politik sekaligus bisa terjabarkan sebagai olahraga biasa. Tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Bagaimanapun sepakbola mengandung banalitas–meminjam Michael Billig— yang bisa diaktifkan untuk memperkuat batas-batas ideologis, identitas dan nasionalisme serta kesejarahan, juga pada saat yang lain bisa dimobilisasi sebagai kekuatan politik.

Sekali lagi, tergantung pada pola pengorganisasian kelompok supporter serta jaringan elit politik yang terhubung ke organisasi pendukung klub sepakbola tersebut. Jika jaringan elit suppprternya terintegrasi dengan struktur politik elektoral, sangat mungkin untuk dimobilisasi.

Eh, sudah ah. Jangan serius serius, sepak bola adalah hiburan, hanya saja elit politik kita datang membuatnya menjadi lebih serius, tegang dan jadi konten politik.

BTW, selamat menikmati Copa America dan EURO 2021 ya.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button