Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)
Orang-orang pintar bilang, sekarang ini katong hidup di era ampa layar. Beda deng katong dolo-dolo yang hidup tanpa layar. Sekarang ini, ada layar bioskop, layar televisi, layar komputer, deng layar telepon pintar yang ada di genggaman. Cari hiburan gampang. Setiap saat ada. Bahkan tinggal klik saja atau cukup sentuh layar HP deng ujung jari, katong su langsung bisa dapat macam-macam tontonan sesuai yang katong suka.
Tapi dolo-dolo, cari satu layar sa, pung susah minta amponge. Untuk bisa nonton televisi yang akang pung gambar masih hitam putih, katong musti pi manumpang di rumah tetangga. Nontonnya itu bukan di dalam rumah tapi dari luar, lewat sela-sela jendela kaca nako, yang pake terali besi. Katong pi nonton nanti kalau su malam. Karna dolo itu, siaran TV baru mulai sore menjelang Magrib. Pada masa itu, TVRI merupakan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia.
TVRI ini mulai bersiaran pas menjelang pelaksanaan Asian Games, taong 1962. Taong 1964 pemerintah mulai rintis Stasiun Penyiaran Daerah. Nanti taong 1977 baru ada Stasiun Produksi Keliling atau SPK. TVRI di Ambon akang pung tampa di Gunung Nona.
Beta inga, katong pung tampa nonton pertama itu di rumahnya Om Neles. Jadi kalau su malam, ada banya orang datang ka situ par nonton. Televisinya dong letakkan di ruang tengah menghadap kaluar. Jadi katong leluasa bisa nonton di sela-sela jendela kaca nako. Zaman itu, tontonan yang paling hits adalah acara lagu-lagu. Apalagi kalau di kotak ajaib itu menampilkan penyanyi-penyanyi asal Maluku yang lagi top: Bob Tutupoly, Broery Marantika, Melky Goeslaw, Minggus Tahitoe deng Ade Manuhutu.
Kalau siang, praktis seng ada tontonan televisi. Jadi, beta pernah bikin “layar” sandiri di bawah kaki meja makan pake kertas minyak, yang konsepnya mirip orang bikin pertunjukan wayang. Tapi ini lebe sederhana. Hanya butuh bekas galos banang, banang godam deng gambar yang dibuat di karton manila.
Cara bikinnya bagini. Galos banang itu dicantolkan dipaku yang ditancapkan di kaki meja sisi kiri deng kanan. Lalu kasi lilit banang godam di kedua galos itu. Setelah itu, taro gambar yang su dibikin di karton manila, dalam posisi berhadap-hadapan. Bagus kalau gambarnya itu berupa orang tinju atau karate. Begitu galos banang diputar, gambarnya akan maju lalu saling baku hantam. Tepatnya, saling baku dorong sampe ada gambar yang jatuh.
Supaya kasi efek gerakan gambar ka penonton, biar terlihat tambah seru, ‘si dalang’ bisa mainkan cahaya dari lilin. Penonton bisa lihat siluet adegan orang tinju atau karate dengan gerakan yang dimainkan melalui permainan cahaya lilin, sambil sesekali putar galos banang. Kegiatan bikin layar sandiri ini, mirip paling tidak bisa hibur diri, deng tentu murah meriah.
Dolo-dolo itu, saat hiburan masih sangat terbatas, kadang katong pi nonton film yang diputar lewat proyektor. Filmnya film bisu, hitam putih. Proyektornya diarahkan ke dinding tembok warna putih, supaya penonton bisa lia dengan jelas.
Beta inga, salah satu film yang dinonton itu filmnya komedian Charlie Chaplin, yang punya penampilan khas dengan ciri pada kumisnya. Tampa nontonnya itu di rumah yang ada di blakang pabrik sabun, lorong menuju skola SD Negeri 7. Nontonnya musti bayar. Cuma beta lupa, brapa harga ‘tiket’ per orang waktu itu.
Era itu, hiburan memang sangat terbatas deng langka. Kalau mau nonton televisi sa pi cas aki (accu) dolo. Maklum, seng samua orang pake listrik. Tampa cas aki-nya juga cukup jauh, sablah Tana Lapang Kecil (Talake). Itu pun harus menunggu lama, beberapa jam. Supaya hemat waktu, biasanya dong titip aki untuk cas, nanti baru bale lai voor ambe akang.
Di kampung Air Putri, saat itu, hanya satu-dua orang yang punya televisi. Tapi syukur jua, katong pung tetangga bae-bae. Dong mau bermurah hati berbagi tontonan. Pernah, ada saatnya televisi itu ditaro di tenga-tenga kintal, yang memungkinkan orang bisa nonton bersama.
Beta seng inga persis, sapa pung televisi yang ditaro itu. Mungkin Om Yopi, anaknya Tanta Mimi, yang karja di kapal ikan Filipina. Jadi kalo sore, tivi ukuran 14′ diletakkan agak di tengah halaman, lalu masing-masing orang datang bawa kursi atau bangku sandiri-sandiri, untuk nonton. Karna TV merupakan barang baru, maka apa saja katong nonton. Termasuk akang pung iklan-iklan.
Paling seru itu pas nonton Piala Dunia 1978, antara kesebelasan Argentina lawan Belanda. Bukan cuma seru di Estadio Monumental, Buenos Aires, tempat perhelatan final digelar, tapi juga di tampa katong nonton. Subuh dini hari katong pi manumpang nonton di rumah keluarga Berhitu lengkap dengan sarung. Ale bisa bayangkan jua, bagaimana serunya kalo orang nonton bola. Apalagi ini Belanda yang main.
Tim Tango waktu itu pung pemain yang lagi bersinar, yakni Mario Kempes deng Osvaldo Ardiles. Sedangkan Der Oranje dengan total voetball-nya pung Johan Neskeens dkk. Katong sempat heboh saat pemain Belanda cetak gol, yang bikin kedudukan sama: 1-1. Tapi, setelah perpanjangan waktu, akhirnya Argentina menang 3-1. Kesebelasan Albiceleste itu jadi juara Piala Dunia untuk pertama kalinya. Sejak nonton Final Piala Dunia 1978 itu, beta jatuh hati par kesebelasan Argentina.
Tapi, eiit sabar dolo, karena kesebelasan Belanda juga mencuri perhatian. Apalagi tahun 1979, ada anak Maluku direkrut bergabung dalam Timnas Belanda. Namanya Simon Tahamata. Laki-laki kelahiran Vught, 26 Mei 1956 itu, merupakan pemain andalan Ajax Amsterdam di masa itu. Simon Tahamata tercatat sebagai orang keturunan Maluku pertama di Timnas Belanda.
Setelah nonton Piala Dunia itu juga, beta jadi membayangkan, seperti apa katong kalo lia lapangan bola melalui layar kaca. Suatu hari, kalo seng sala, saat barmaeng di sekitar kampung yang banyak pohon gandaria, beta lia lewat jendela rumahnya Om Penturi, dong ada putar televisi. Kebetulan pertandingan tinju. Begitu pulang, beta bacarita bahwa ring tinjunya itu ternyata berwarna merah deng biru. Pada kesempatan lain, sempat intip siaran bola. Batul-batul mantap e. Rumput hijau kontras dengan garis putih yang mempertegas luas lapangan.
TV warna masuk Indonesia sebenarnya sejak akhir taong 60-an. Tapi balong massal. Ada kendala dari segi dukungan teknologi dan ketersediaan pesawat tivinya. Di Jakarta deng Bandung, orang su bisa tangkap siaran TV warna taong 1977. Hanya saja, harga TV warna saat itu masih tiga kali lipat harga pesawat TV hitam putih.
Sebagai gambaran. Harga TV warna 26′ jenis table (tanpa kaki) Rp600.000. Sedangkan jenis console (dengan kaki) yang bisa dibuka-tutup, akang pung harga Rp725.000. Untuk ukuran kacil, 14′ saja akang pung harga su Rp240.000. Itu harga ruang pamer di Jawa. Balong kalo jatuh ke konsumen nun jauh di Ambon, bisa lebe mahal lagi.
Karena menyuguhkan hiburan, katong sanang sa bisa nonton TV kapan dan di mana pun. Apalagi kalau pertandingan bulutangkis. Final All England di Inggris, misalnya. Ada beberapa pemain badminton legendaris yang bikin katong bertahan nonton, di antaranya Rudy Hartono deng Liem Swie King. Itu di tunggal putra. Kalau diganda, ada duet Tjun Tjun deng Johan Wahyudi. Kalo pemain putri, ada Verawaty Fajrin deng Ivana Lie. Era 70-an itu memang masa keemasan bulu tangkis Indonesia.
Salah satu tontonan fenomenal untuk katong, yang anak-anak di masa itu adalah film serial “Si Unyil”. Film ini dibuat oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN), mulai tayang tanggal 5 April 1981. Beta saat itu masih kelas 6 SD. Film anak-anak ini merupakan karya Drs. Suyadi, yang dalam film berperan sebagai Pak Raden.
Jadi kalau su Minggu pagi, biar katong sementara barmaeng, begitu dengar musik pembuka film ini, langsung permainan bubar. Anak-anak langsung lari cari rumah untuk manumpang nonton. Dong mau lia Unyil, Ucrit, Usro, deng Pak Ogah. Tapi sayang, pas datang di rumah yang biasa manumpang nonton lewat jandela, yang punya rumah ternyata tutup gorden jandela. Katong tambah kecewa, karna dari dalam kedengaran bunyi siaran TV: Unyil, kucing….(*)
Makassar, 20 Juni 2021
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi