Oleh: Saadiah Uluputty (Anggota DPR RI Dapil Maluku)
Indonesia tanpa Maluku bukanlah Indonesia.(Soekarno)
Hari ini, tanggal 19 Agustus, saya bersama akademisi Maluku Doktor Abidin Wakano diundang sebagai narasumber di Kantor RRI Ambon, bertepatan dengan hari ulang tahun Maluku yang ke-76. Nama acaranya Dialog Aspirasi Maluku RRI, dengan tema “Apa Kabar Maluku di usia 76 Tahun”.
Di usianya yang sama dengan Republik Indonesia, mengangkat tema ini menjadi menarik untuk didiskusikan. Karena Maluku menjadi salah satu provinsi yang ikut memproklamirkan Indonesia, dengan menyerahkan segala potensi tanah airnya menjadi tanah air Indonesia.
Setiap membahas tema seperti ini, sebagai orang Maluku dan sebagai politisi Maluku yang melihat kenyataan bahwa Maluku masih menempati urutab ke-4 provinsi termiskin, saya merasa miris. Mengapa? Karena tema ini menjadi sebuah refleksi. Refleksi tentang kemerdekaan, keindonesiaan dan kemalukuan.
Jauh hari sebelum Indonesia merdeka, Maluku sangat terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya. Di bawah Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan, dan lain-lain, kawasan ini telah berinteraksi luas dengan kesultanan lain yang ada di Indonesia.
Posisi strategis Kepulauan Maluku sebagai The Spice Island selain menjadi wilayah konstestasi dan perjumpaan berbagai peradaban dunia, yang sejak itu menjadikan kawasan ini sebagai daerah kosmopolit. Karena itu pula, menurut sejarawan, posisi Maluku yang strategis itu telah mengimajinasi lahirnya Indonesia.
Maluku makmur dan kaya dengan potensi sumber daya alam, rempah-rempahnya dan perdagangannya sehingga negara-negara lain tertarik untuk datang ke Maluku dan Indonesia. Wajarlah kemudian Presiden Pertama RI, Ir Sukarno mengungkapkan bahwa Indonesia tanpa Maluku bukanlah Indonesia.
Dalam perjuangan membela kemerdekaan, tidak sedikit putra-putri Maluku yang ikut berjuang dan menggagas lahirnya Indonesia. Sejak pergerakan kebangkitan nasional tahun 1908, sumpah pemuda 1928 dan pergerakan hingga pra kemerdekaan 1945, ada sejumlah nama yang berderet seperti Kapitan Patimura, Cristina Marta Tiahahu, A.M. Sangaji, A.Y. Patty, J. Leimena dan sederet nama lain, telah ikut berjuang dan tercatat sebagai pahlawan. Mereka ikut berjuang dan menggagas Indonesia.
Gagasan besar tentang bagaimana kemerdekaan dan tentang bagaimana keindonesiaan, dan bagaimana relasi kemerdekaan dan keindonesiaan dalam relasi orang Maluku. Sebagaimana yang diungkapkan oleh presiden Sukarno, bahwa Maluku tanpa Indonesia bukanlah Indonesia, itu haruslah dalam diterjemahkan.
Hal-hal besar apa yang kemudian bisa diwujudkan dan akan dilakukan dengan hal itu. Bagaimana Maluku berjibaku dalam kemerdekaan, masuk ke relung keindonesiaan.
Setelah 76 Tahun Indonesia merdeka, karena gagasan awal Indonesia merdeka adalah bagaimana kita memanusiakan manusia Indonesia. Menjadikan kemandirian sebagai soko guru keadilan. Dan kemandirian itu berwujud pada semua aspek aspek kehidupan.
Suatu relasi komunitas yang harmonis, suatu relasi ekonomi yang baik yang kemudian terwujud dalam bagaimana kita mengadjust program pembangunan, dan bagaimana kita mengelola pemerintahan kita. Itu yang sampai saat ini belum secara utuh bisa diwujudkan.
Hari ini sebagai anggota DPR RI yang berada di komisi IV, dan mengamati pembahasan RUU Daerah kepulauan yang masih belum ada langkah maju dalam pembahasannya, saya jadi berpikir panjang untuk ikut memberi gagasan dan solusi dan ikut menjembatani gagasan itu dengan suatu antitesa baru, dari pembahasan RUU Daerah kepulauan yang mungkin “tidak menarik” bagi pemerintah untuk dibahas. Dan mengambil konteks lain dari pendekatan baru soal potensi kelautan dan perikanan.
Maluku yang secara faktual sebagai daerah kepulauan dan potensi lautnya besar, tidak berbanding lurus dengan kewenangan mengelola potensi ini. Kewenangan diberikannya hanya untuk mengelola dari 0 – 12 mil ke laut dari garis pantai daerah terluar. Selebihnya dikelola dalam kewenangan pemerintah pusat sebagaimana dalam UU no 23 tahun 2014. Akibatnya kapal-kapal asing bisa hilir mudik mengeruk hasil laut Maluku, tapi pajak dan bagi hasil penangkapan disetor kepada negara.
Dari data kementrian Perikanan dan Kelautan,terlihat bahwa lebih dari Rp.40 triliun tiap tahunnya dibawa dari laut Maluku. Dana itu tidak dibagi ke daerah penghasil tetapi masuk dalam gentong penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang tercatat sebagai APBN di sektor PNBP. Dalam kondisi seperti ini apa yang bisa diharapkan oleh Pemerintah Daerah di wilayah yang terkenal sebagai Daerah Maritim berciri kepulauan ini, yang telah ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN). Menang nama sebagai daerah maritim dan lumbung ikan tetapi tak dapat keuntungan yang sebanding.
Transfer fiskal dalam DAU pun tak menghitung area lautnya sementara 92,4 % luasan Maluku adalah laut dan 7,6 % daratan. Tentunya ini sangat sangatlah merugikan Maluku. Atas dasar beberapa pertimbangan itu kemudian, menurut saya dibutuhkan suatu regulasi yang bersifat khusus.
Lalu bagaimana dengan RUU Daerah Kepulauan yang sedang berproses di parlemen? Dalam pengamatan saya setelah 15 tahun RUU ini coba digagas, bahkan kerap masuk dalam prolegnas diusulkan dari pintu DPR lalu, 10 tahun tidak berhasil sekarang diusulkan lagi dari pintu DPD, masuk dalam prolegnas tahun 2020, ada di urutan ke-50 saat penetapannya. Dalam paripurna penetapannya hadir anggota DPRD Provinsi Maluku dan wakil pemerintah daerah.
Dalam paripurna tersebut saya dengan suara lantang mengajukan interupsi disaksikan dan disupport oleh teman-teman DPRD Provinsi Maluku. Harapannya bisa cepat untuk dibahas. Tetapi faktanya, setahun telah berlalu, dan dari masa sidang ke masa sidang ternyata tak kunjung ada berita untuk dibahas. Sudah V (lima) masa sidang berlalu belum ada tanda-tanda akan ada pembahasan.
Saya sudah ditugaskan menjadi koordinator dari fraksi PKS untuk masuk pansus, tapi setelah saya tanyakan ke teman-teman baleg DPR RI, informasinya harus menunggu surat presiden, yang dari surat itu kemudian oleh bamus menugaskan pansus bekerja.
Namun hingga paripurna buka sidang dan penetapan pembahasan RUU DPR RI di masa sidang I (satu) tanggal 17 Agustus 2021, tidak ada RUU daerah kepulauan. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana nasibnya RUU Daerah kepulauan? Akankah nasibnya sama dengan periode kemarin? Bahwa pemerintah tidak respon karena konsekwensi politik dan anggaran menjadi besar karena menyangkut 8 provinsi kepulauan?
Jika nasibnya demikian, maka tentu seluruh komponen dan stakeholder harus berfikir untuk mencari strategi baru untuk memperjuangkan haknya kepada Negara. Apakah dengan otonomi khusus seperti Aceh, Yogja dan Papua? ataukah menggagas RUU baru yaitu RUU Pengembangan pengelolaan Daerah Perikanan atau Kemaritiman. Jadi instrumennya adalah pengembangan dan pengelolaan negara terkait perikanan. Diintegrasikan dengan Lumbung Ikan Nasional yang juga hingga hari ini belum ada kepresnya.
Harapannya adalah dengan regulasi dan payung hukum ini Maluku “memaksa” negara untuk sungguh-sungguh membangun Indonesia dari laut, tidak saja dari darat dan karena itu maka harus diperjuangkan.
Dengan perjuangan ini Maluku akan lebih fokus, lebih mudah mengendalikan dan memaksimalkan konsolidasi internalnya. Mari berjuang bersama semua komponen negeri ini secara kolektif. Pemerintahannya, akademisinya, para pakar dan politisinya. Ini tidak mudah juga, tapi bagian dari tawar menawar kepada Negara. Negara yang kita cintai. Negara yang ada saham Maluku di dalamnya. Ini gagasan saya untukmu Maluku, di hari Ulang Tahunmu. Kupersembahkan untuk didiskusikan. Dirgahayu Maluku Tercinta.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi