Pendapat

Kebaktian…

PENDAPAT

Usai salat ashar saya menuju ruang tunggu ICU. Saya dan dua orang keluarga pasien aplosan menunggu jangan sampai ada panggilan dari perawat ICU berkaitan dengan kerabat kami yang belum siuman dari operasi.

Saya menyuruh dua orang kerabat lain pergi makan dan saya akan stanby di pintu ICU. Setelah mereka usai makan siang, saya akan ke masjid rumah sakit untuk salat dhuhur. Dhuhur kali ini adalah dhuhur yang pertengahan waktunya. Jadi saya akan menunggu ashar sekalian.

Usai ashar kami bertiga berkumpul. Saya mengajari mereka membuat catatan perkembangan pasien secara lengkap. Saya katakan bahwa salah satu yang mempermudah dokter menilai pasien adalah informasi. Kita harus menyiapkan informasi lengkap dan jujur agar dokter dapat berkeputusan secara tepat.

Lalu hari menjelang sore. Saya harus kembali ke rumah untuk persiapan buka puasa. Pasien akan ditunggui oleh adik kandung dan sepupunya di ruang tunggu ICU. Kami berpisah.

Saya melangkah menuju parkiran melewati bangunan Infection Centre (IC). Mata saya melihat banyak anak muda berkaos hitam berkerumun di pintu belakang Infection Centre. Saya tahu bahwa itu tanda ada jenazah penderita Covid-19 yang akan segera dikuburkan.

Gedung IC bukan tempat asing bagi saya. Setidaknya saya sudah tiga kali ikut mensalati jenazah di situ. Dua jenazah tidak saya kenali, satu jenazah adalah tante saya, Allahu yarham Profesor Andi Nuraeni Malawat, ibu dari dokter Tenriagi Malawat spesialis bedah digestif, dan dokter Emiliasari Malawat Malawat spesialis kandungan.

Pada tiap kali salat mayit, ada rasa bahagia karena saya dapat memenuhi hak jenazah. Juga saya akan menyelipkan doa agar kiranya ketika saya berpulang nanti, Allah mengirimkan orang lain mensalati saya dengan hati rela seperti kerelaan saya saat itu.

Sepanjang pengalaman itu saya selalu bertemu dengan jenazah yang beragama Islam. Saya belum pernah dipertemukan Allah dengan jenazah beragama Kristen sampai tadi usai salat ashar.

Saya mendekati kerumunan anak muda, rupanya mereka adalah mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar. Saya lalu membaca tulisan di kaos beberapa anak muda. Ada tulisan GMKI di punggung mereka. Saya menuju samping kanan IC, sudah ada pendeta yg bersiap melaksanakan ibadah pelepasan. Rupanya jenazah akan dibawa ke kampungnya yang cukup jauh dari Makassar.

Saya mengambil posisi berdiri yang menandakan saya serius mengikuti ibadah. Tentu saya tidak ikut melaksanakan ibadah, tetapi setidaknya saya menyatakan kehadiran diri pada jenazah dan semesta bahwa saya menghormati peribadatan tersebut.

Ketika Pak Pendeta mengucapkan amin tanda usai saya beringsut kedepan, berdiri menatap peti jenazah sembari menaikkan doa dan mengucapkan selamat jalan pada pemuda yang terbaring dalam peti yang ada salibnya.

Saya menatap nanar pada peti itu, telah selesai perjalanan pemuda ini.. sekarang dia menuju keabadian. Saya melihat ke diri, ah.. Saya masih sibuk dengan keinginan cepat pulang untuk berbuka puasa.

Makassar, 26 Juli 2021

Penulis: Faidah Azuz Sialana (Sosiolog, alumnus Unpatti, bekerja sebagai dosen di Universitas Bosowa – Makassar)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button