Ambon Dolo-doloMusik

Katong Kompak Lewat Musik dan Lagu

Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)


Suatu hari, katong lagi latihan drama sebagai tugas akhir mata pelajaran kesenian. Saat itu, beta di kelas 3 SMP Negeri 3 Ambon. Beta seng iko maeng, cuma sebagai penulis naskahnya, kalo seng salah. Di sela-sela waktu istirahat, beta ambil gitar, lalu kuti (petik) akang. Seng inga sapa yang pung gitar itu.

Beta kemudian manyanyi lagunya Doel Sumbang, “Aku, Tikus, dan Kucing”. Guru Kesenian SMP Negeri 3, Noce Hahury, yang waktu itu ada di situ, langsung katawa. Juga teman yang lain. Antua minta beta nanti tampil manyanyi di muka orang banyak, setelah upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei.

Beta bilang par antua, “Maaf Pak, beta kuti gitar balong bagus, masih salah-salah.” Tapi antua tetap paksa beta, harus tampil. Antua bilang, “Orang seng dengar ose barmaeng gitar, tapi orang tertarik pada lagunya.” Antua yakinkan beta bahwa orang akan katawa dengar lagu ini.

Lagu-lagunya Doel Sumbang, pada era 80-an itu memang terdengar aneh. Lagu gaya bertutur, seperti orang ngerap. Kasetnya saja, waktu itu katong dapat yang bajakannya. Maksudnya, lagu yang direkam deng menggunakan tape recorder lain. Kasetnya dibawa oleh tetangga, orang Jawa, yang memang penggemar lagu-lagu balada, country, folk, dan sejenisnya.

Dolo-dolo sebelum ada tape recorder dengan 2 kaset, yang fungsinya satu untuk putar lagu dan satunya merekam, biasanya orang rekam pake 2 tape recorder. Jadi saat rekaman, harus suasana tado (sepi), kalau seng, sagala bunyi-bunyian maso. Balong lai, kaset yang dipake itu seng selalu kaset baru. Jadi, ale bayangkan sa, pasti kualitas suaranya jelek. Nah, lagunya Doel Sumbang itu hasil kreativitas seperti itu hehehe.

Tibalah waktunya manggung. Beta tampil di tengah-tengah lapangan sekolah, yang dipagari rang besi tinggi. Lapangan ini memang lapangan tenis, yang punya multi fungsi: sebagai lapangan upacara, tempat olahraga dan kegiatan lain.

Begitu gitar babunyi dan beta mulai manyanyi:  “Aku dilahirkan ke dunia oleh ibuku pada malam Jumat Kliwon tanggal belasan bulan Rewah tahun enam puluhan …” Penonton langsung pica katawa (tawa meledak). Sudah … setelah itu beta lebih santai, dan menuntaskan penampilan dengan sukses.

Sejak itu, beta yang tadinya dikenal di sekokah sebagai orang yang suka menggambar, kini punya predikat baru: penyanyi. Penampilan historis di lapangan sekolah itu, rupanya dijepret oleh Ayub, juga murid kelas 3, yang keluarganya punya studio foto di Toko Enam.

Makanya, beta selalu inga momen itu. Karena dari sanalah beta mulai berani tampil manyanyi di muka umum. Itu samua berkat Pak Hahury. Antua ini pung gaya laki-laki paskali. Jantan, bakumis dan brewok. Antua ini, selain ajar kesenian di skola, juga sering ajak katong, kalau hari Minggu, ke rumahnya di Belakang Soya. Beta, Miko Kibas, Syamsul Maarif, Azis, deng beberapa tamang laeng biasa pi ka antua pung rumah untuk melukis.

Beta sebenarnya su lama suka manyanyi. Pada  tulisan lain Ambon Dolo-dolo, pernah beta carita. Tapi keasyikan manyanyi bertambah sejak beberapa tetangga pung gitar. Katong sering bakumpul, mau itu siang, sore, atau malam, hanya untuk manyanyi. Wajar kalau kemudian Ambon dapat predikat The City of Music oleh UNESCO. Beta sandiri pung gitar Osmond C400. Gitar bekas itu, beta pung Mama yang dibelikan.

Beta biasa manyanyi di Pasar Wainitu deng tetangga, saat kumpul-kumpul. Lagu pertama yang dipelajari, saat itu, adalah lagu Anging Mammiri, entah karena pengaruh darah Makassar atau karena chord gitarnya mudah. Hanya tiga nada.

Setelah itu manyanyi lagu-lagu yang lagi trend, seperti lagu-lagunya Ebiet G Ade, Franky and Jane, atau lagu-lagu penyanyi asal Maluku. Juga tentu lagu-lagu Ambon tempo doeloe. Paling rame itu, kalau manyanyi lagu “O Ulate”, yang bergantian katong angka pantun. Pantunnya kadang spontan dibikin saat manyanyi. Seru dan lucu.

Karena keasyikan manyanyi sampai larut malam beta dapa saki. Kalau pi barobat di suster, usi Ros Leisina, antua bilang, “Bagaimana ose seng saki, biar sampe tengah malam masih dudu kuti gitar di pasar.” Rupanya antua perhatikan beta, kalau antua pulang dinas tengah malam.

Meski beta suka manyanyi, tapi pernah beta pung mata pelajaran kesenian merah di rapor, saat masih di SD. Padahal, ketika itu, beta baru saja juara I lomba menggambar tingkat Provinsi Maluku. Mungkin karena beta seng tau baca not balok hehehe. Sebab guru keseniannya memang lebih cenderung kasi ujian seni musik dengan not balok.

Saat SMA, hobi manyanyi makin menjadi-jadi. Ruang untuk tampil banyak. Kebetulan juga beta dapat partner yang pas. Beta deng Khairul, tetangga sablah rumah, bikin grup Duo Country Anging Mammiri. Katong biasa tampil di acara-acara yang dibikin Remaja Masjid Nurul Bahri, Wainitu.

Katong dua juga pernah tampil di Masjid Raya Alfatah. Walau tampil di acara-acara keagamaan, tapi katong seng manyanyi lagu religi. Lagu biasa saja, yang umum, tema kemanusiaan. Di samping itu, beta juga biasa tampil sandiri, dengan gitar Osmond C400 itu.

Di SMA Negeri 2 Ambon, beta sempat ikut grup qasidah. Di grup ini, selain beta, ada Nurbaiti Kadir, Salama Kaplale, Fahima Bailusi, Khaireni Khaidir, Nurmiati Tuhulele, Teguh Setiabudi, Ramlan Tuarita, deng Salim Karim, gabungan anak kelas 1-3. Sebenarnya, ini juga ‘penyimpangan’ karena selama SMA, beta lebe fokus tangani mading (majalah dinding). Nanti lain tempo beta carita akang ee.

Katong pung guru pembina qasidah waktu itu, Ibu Lesy, dan yang satunya, kalau tidak salah ingat, Ibu Sinai. Ibu Sinai meski berbeda agama, tapi antua bina katong dengan baik.

Pernah juga ada satu bapak yang diundang khusus ajar katong supaya lebe baik saat bawakan lagu-lagu qasidah. Antua seorang nasrani tapi antua dengan tulus bimbing katong, saat latihan di rumah Ibu Lesy. Antua pung pendengaran tajam, bisa koreksi kesalahan —saat manyanyi atau saat main alat musik— sekecil apapun. Ketika lomba, katong pung penampilan luar biasa, deng sadiki berbeda dibanding grup-grup qasidah lainnya. Katong manyanyi mirip paduan suara, di mana kadang katong pica (bagi) suara satu, suara dua, deng suara tiga. Hasilnya, SMA Negeri 2 Ambon Juara 1 Kategori Umum Lomba Qasidah yang diadakan di Gedung Wanita, tahun 1986.

Bicara soal musik dan talenta musik, beta juga jadi inga saat anak-anak muda Remaja Masjid Nurul Bahri bikin musik dapur. Dibilang musik dapur ya karena peralatan musiknya memang dari alat-alat dapur. Baskom, ember, panci, wajan, loyang, parutan kelapa, botol, gelas, serta sendok dan garpu.

Melodi musik dapur ini dari gelas-gelas yang berisi air. Tiap gelas punya air dengan isi yang berbeda-beda. Sehingga, membentuk nada yang berbeda-beda ketika bibir gelasnya dipukul dengan sendok atau diusap dengan jari. Terdengar mirip suara denting piano. Sayang beta lupa nama antua yang jago main gelas ini. Antua ini juga mantap kalau main lead gitar.

Beta sebenarnya seng iko grup ini. Kebetulan beta pung kakak Cully jadi pengurusnya, jadi kadang dong latihan di rumah. Saat dong latihan itulah, beta seng tahang, lalu maso iko rame. Ada satu dua alat beta ‘ciptakan’ hanya supaya bisa ikut nimbrung.

Alat musik yang beta bikin itu kombinasi parutan kelapa, loyang, deng sendok. Cara memainkannya, dipukul dan digesek. Contohnya, coba ale pegang tangkai sendok, lalu digesek pelan pada permukaan parutan yang kasar, kemudian toki (pukul) pinggir loyang 2 kali. Begitu dilakukan secara berulang, dengan mengikuti irama lagu yang dinyanyikan.

Saat latihan, jang tanya lai, apakah ada alat-alat dapur itu yang rusak, penyok, atau pecah. Tapi itulah kreativitas dengan risiko yang musti ditanggungnya. Yang penting hati senang, deng penonton terhibur, bahagia.(*)

Gowa, 11 Februari 2022

Rusdin Tompo
Penulis, Rusdin Tompo.(Foto: potretmaluku.id/Istimewa)

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button