Pendapat

Meriahnya Hari Raya Kacil

PENDAPAT

Tak ubahnya perayaan Idul Fitri, perayaan 7 Syawal dalam tradisi muslim di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon, selalu hikmad dan meriah. Dikenal dengan nama Hari Raya Tujuh Hari atau Hari Raya Kacil, jika dihitung dengan benar even tahunan ini tepatnya jatuh pada 8 Syawal dalam penanggalan tahun Hijriah. Tapi entah kenapa belakangan selalu disebut dengan perayaan 7 Syawal. Hmmm.

Bisa jadi penyebutan Hari Raya Tujuh Hari merujuk pada ritual sunah puasa Syawal selama enam hari yang dimulai pada tanggal 2 hingga tanggal 7 Syawal, dan di hari berikutnya yakni hari ke-8 menjadi puncak kemenangan atau hari raya bagi yang menjalankan ibadah sunah tersebut. Makanya disebut dengan “Hari Raya Kacil”.

Tapi ini hanya dugaan beta pribadi. Sebab tidak ada literasi yang menerangkan tentang asal muasal ritual tahunan ini dengan rinci dan pasti. Sementara dari penuturan orang tatua kampong juga banyak versi dan duga menduga. Namun baiknya katong berfokus pada hikmah dan hal-hal positif yang bisa diambil.

Tak hanya adat Pukul Sapu di Desa Mamala Morela yang menjadi ikon dan pertunjukan khas even tahunan yang sangat terkenal itu. Di sepanjang negeri-negeri pesisir Jazirah Leihitu pun memaknai dan merayakannya dengan istimewa, sebagai momentum silaturahmi ata halalbihalal baik tinggal dan menetap di kampong maupun upu ana yang tersebar dan berdomisili di luar Leihitu.

Beta ingat waktu masih kanak-kanak dan remaja, beta pulang ke rumah nenek di Hitu sehari sebelum perayaan. Seperti halnya jelang Idul Fitri, semua dipersiapkan dengan matang dan penuh suka cita.

Aneka kue dan menu makanan berat untuk jamuan keluarga dan tetamu yang datang sudah disiapkan sehari sebelum. Begitupun katong anak-anak dan remaja akan sibuk mencari dan mengumpulkan bunga dan berbagai dedaunan beraroma wangi, untuk ditabur esok hari dalam ritual ziarah kubur atau makam keluarga. Tak lupa pakaian yang baik dan indah sudah disetrika dan digantung rapi untuk dipakai di Hari Raya Tujuh Hari.

Jadilah suasana pagi itu meriah tak ubahnya Idul Fitri namun tanpa salat Ied tentunya. Orang-orang kampong akan keluar dengan penampilan terbaik mereka dan melangkah menuju makam-makam keluarga dan makam – makam keramat para leluhur Tanah Hitu untuk bermunajat, berdoa dan membaca ayat-ayat suci Al Qur’an di sisi makam.

Didahului oleh Upu Latu atau Raja dan para tetua negeri yang memimpin ritual. Tak lupa taburan bunga, wewangian dan air di atas gundukan tanah, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir para kebarat yang telah mendahului. Suasana terasa syahdu dan haru. Ziarah kubur ini menjadi bagian dari refleksi kita akan datangnya kematian dan perpisahan tiap manusia dengan dunia dan semua orang juga hal-hal yang kita cintai.

Setelah ziarah kubur, masing-masing kembali ke rumah dan berkumpul bersama keluarga dan selanjutnya menanti kunjungan kerabat dan tamu yang datang dari luar kampong. Dalam hal menyambut tamu, masyarakat Jazirah Leihitu selalu all out. Aneka kuliner khas seperti nasi kuning beserta lauk pauk, aneka kue tradisional, minuman dan sebagainya disajikan di atas meja untuk mereka yang berkunjung.

Kadang beta merasa aneh. Banyak dan sedikit makanan yang tersaji selalu cukup bahkan berlebih, tak peduli berapa pun kerabat dan tamu yang menikmati. Bahkan masih bisa untuk dibungkus sebagai oleh-oleh. Mungkin ini yang disebut, berkah. Semua yang kita sajikan dengan ikhlas dan suka cita akan mendatangkan kebaikan dan tentu saja mengeratkan ikatan batin dan tali silaturahmi. Di situlah Allah SWT akan mencukupi. Maasya Allah, tabarakallah

Setelah makan minum menikmati sajian, yang berkunjung jang lupa e, kase siap uang salawat (angpao) untuk anak-anak kecil yang ditemui. Salah satu yang khas dan sangat ditunggu anak-anak. Tak jadi sebuah keharusan, tapi urusan uang salawat sebisa mungkin jangan di-skip. Berapa kecil pun kepeng yang ale kasi akan jadi kegembiraan bagi anak-anak dan jadi keberkahan bagi yang memberi. Hehehe.

Selain “Hari Raya Tujuh Hari”, masih banyak even-even masyarakat adat Jazirah Leihitu dan daerah-daerah lain di Maluku, yang mengandung nilai spiritual dan local wisdom yang patut diapresiasi. Adat dan agama senantiasa tumbuh dan hidup berdampingan secara harmonis. Ini yang menjadi value yang membentuk identitas anak cucu Al-Mulk. Katong patut bangga dan melestarikannya.

Ambon, 8 Syawal 1442 Hijriah

Salam ~ Nona J Pelu

Screen Shot 2021 04 15 at 21.45.13

Penulis: Nona J Peluibu rumah tangga owner Dapur Nayeffa Cake & Cookies, yang suka menulis.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button