Oleh: Joberth Tupan, Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan UKSW Salatiga
Minggu sore (25/4/2021), saya dan istri melewati Pasar Tagalaya, Ambon. Istri saya kemudian bertanya kepada saya, “apakah pasar ini masih beroperasi?” Jujur, saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu karena kurang update. Istri saya kembali bertanya, “apa arti (etimologi) Tagalaya”? Karena itu, tulisan ini saya buat sebagai respons terhadap pertanyaan istri saya tentang Tagalaya.
Mungkin publik di Indonesia mengenal Tagalaya sebagai sebuah pulau indah nan eksotis di Maluku Utara. Namun Tagalaya yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah pulau tersebut. Dalam Kamus Melayu Ambon, Tagalaya adalah tempat penyimpanan bahan makanan (misalnya; sagu dan ikan) – yang dibuat dari anyaman bambu – untuk beberapa hari atau bulan ke depan.
Karena istri saya adalah penggemar game Harvest Moon di konsol Playstation One (PS1), maka saya menggunakan pendekatan game tersebut untuk menjelaskan arti Tagalaya kepadanya. Dalam game tersebut, terdapat harvest bin (bukan tempat sampah). Fungsinya (dalam game tersebut) sebagai tempat menyimpan bahan makanan untuk keperluan subsisten tokoh utama. Tetapi sewaktu-waktu dapat dijual kepada masyarakat desa agar memperoleh gold (mata uang game tersebut).
Saya sendiri baru mengetahui istilah Tagalaya sejak sembilan atau sepuluh tahun lalu. Karena sering melewati Pasar Tagalaya, saya kemudian menanyakan arti Tagalaya kepada ibu saya. Ibu saya lahir dan dibesarkan di Pulau Haruku yang erat dengan tradisi menyimpan hasil panen cengkih, sehingga Tagalaya menjadi bagian dalam teks ingatannya. Oleh ibu saya, Tagalaya disebut sebagai “tempat untuk menyimpan bahan makanan dan hasil panen”.
Sedangkan beberapa masyarakat lokal di Pulau Seram sering menyebut lumbung padi desa transmigrasi sebagai “Tagalaya Beras”. Mungkin karena fungsinya sebagai tempat penyimpanan hasil panen sehingga disebut demikian.
Terlepas dari fungsi Tagalaya sebagai tempat penyimpanan bahan makanan, saya akan menjelaskan Tagalaya dalam sudut pandang yang berbeda sejalan dengan hasil penelitian pribadi, penelitian orang lain dan temuan-temuan literasi.
Tagalaya sebagai Simbol Jaminan Sosial Informal
Beberapa minggu lalu, saya kembali mendengar istilah Tagalaya secara ilmiah melalui ujian promosi Dr. Jeanee Nikijuluw (selanjutnya saya sebut mama Nane) yang diselenggarakan oleh Fakultas Interdisiplin, UKSW. Dalam ujian tersebut, mama Nane membahas Tagalaya di Negri (desa) Ulath, Pulau Saparua, Maluku. Oleh mama Nane, Tagalaya merupakan simbol pemenuhan kebutuhan pangan jangka panjang untuk mengantisipasi musim timor (paceklik).
Pengalaman masa kecil ibu saya di Pulau Haruku juga sama dengan yang disebutkan oleh mama Nane. Tagalaya dibuat dan dipikul sendiri oleh ibu saya untuk mengisi cengkih pada saat musim panen. Setelah memanen dan kembali ke rumah, Tagalaya ibu saya dibuka untuk melepaskan cengkih dari tangkainya. Setelah dijemur, cengkih kembali dimasukan ke dalam Tagalaya, kemudian diletakan di bawah kolong tempat tidur ibu saya.
Bertolak dari temuan-temuan di Lease tersebut, dapat dikatakan bahwa Tagalaya merupakan simbol jaminan sosial informal anggota keluarga. Ibu saya meletakan cengkih di kamarnya agar bisa diawasi setiap saat. Mengapa demikian? Karena segala sesuatu yang disimpan dalam Tagalaya sejatinya merupakan cara masyarakat Maluku tradisional membangun jaminan sosial dalam keluarga. Pangan maupun hasil panen dalam Tagalaya adalah “tabungan” pada saat keperluan mendesak.
Tagalaya membentuk moral ekonomi orang Maluku, yaitu buang suara (meminta ijin). Mereka akan buang suara atau meminta ijin untuk membuka Tagalaya apabila ada keperluan mendesak. Buang suara lebih menyentuh nurani ketimbang bernegosiasi yang sarat akan kepentingan. Tagalaya adalah simbol buang suara untuk memperoleh jaminan sosial informal.
Kosmologi Tagalaya
Temuan di pulau Seram menunjukan bahwa Tagalaya adalah kosmologi orang Maluku. Dikatakan demikian karena Tagalaya dianggap sebagai foodscape (hutan, laut, danau dll adalah sumber pangan) yang berhubungan dengan ritual, solidaritas sosial dan sumber nafkah. Namun saya tidak menggeneralisir seluruh Tagalaya di Pulau Seram berwujud kosmos, hanya bermaksud menarasikan temuan lain.
Saat berada di Waipirit (sebuah desa yang ditempati oleh migran lokal asal Saparua), saya sempat bercerita dengan tuan rumah tentang kesejarahan masyarakat Waipirit. Dalam ingatannya sebagai migran generasi pertama, Waipirit dikenal oleh masyarakat Negri Hatusua sebagai Tagalaya. Karena ditumbuhi pohon-pohon sagu dan menjadi tempat perburuan pada masa lampau. Sehingga untuk masuk ke Waipirit, banyak ritual yang dilakukan (sayangnya beliau lupa ritual-ritual itu).
Sedangkan temuan saya di Hatunuru dan Matapa, danau Tapala dimaknai sebagai Tagalaya. Kendati kedua negri tersebut berada di wilayah pesisir, namun nyaris 80% masyarakatnya bersumber nafkah petani ketimbang nelayan. Situasi tersebut dipengaruhi oleh kosmologi Tapala sebagai ruang hidup (saya lupa istilah lokalnya) sekaligus menambah kesucian Tapala. Untuk masuk ke Tapala, dilarang menggunakan perhiasan berbahan emas, perak dan besi putih. Karena akan tertimpah musibah ataupun nantinya tidak akan memperoleh sagu, ikan dll untuk dibawa pulang ke rumah.
Tagalaya Masyarakat Urban di Ambon
Dalam konteks masyarakat urban di Ambon, Tagalaya merupakan imajinasi yang diperoleh melalui folklore. Sehubungan dengan itu, sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Tagalaya yang adalah toponim salah satu pasar tradisional di Ambon merupakan perwujudan imajinasi atas folklore lokal.
Pengalaman ayah saya lain lagi. Pasca pensiun sebagai karyawan PT. Telkom tahun lalu, ayah saya sibuk mengerjakan hidroponik untuk keperluan usaha kecil-kecilan di dalam lingkungan dan subsisten keluarga. Sambil mengerjakan hidroponik, ayah saya sempat berkata “orang tatua biasa bilang, biking Tagalaya sadiki di muka kintal lai” (artinya: orang tua bahkan leluhur berpesan untuk perlu membuat Tagalaya di halaman rumah). Dalam kasus ini, ayah saya mengartikulasi hidroponik sebagai Tagalaya.
Tagalaya juga muncul dalam folklore yang mengisahkan kesejarahan pela orang Batumerah dan orang Passo. Folklore tersebut menceritakan pertolongan orang Batumerah kepada orang Passo yang kora-kora (perahu) dan tagalaya-nya karam. Di tepi pantai pulau Buru, orang Batumerah membuka Tagalaya milik mereka serta berbagi ikan, sagu dan kelapa. Sejak saat itu, kedua masyarakat adat tersebut menjadi pela.
Kedua temuan tersebut mengindikasikan bahwa Tagalaya dalam masyarakat urban di Ambon hanya muncul dalam imajinasi. Imajinasi yang kemudian lahir dari berbagai cerita-cerita lokal masa lampau. Namun paling tidak, dari cerita Tagalaya, masyarakat di Ambon mengalami reintegrasi sosial pasca konflik komunal 1999-2002. Selain itu, dalam kasus ayah saya, Tagalaya telah masuk dalam ranah pertanian modern sehingga subsisten tidak lagi dipahami sebagai pertanian orang miskin dalam imajinasi kolektif. Kekuatan folklore adalah cara memperkenalkan Tagalaya secara elegan di ranah perkotaan.
***
Bertolak dari ketiga temuan tersebut, dapat dikatakan bahwa Tagalaya merupakan jaminan sosial keluarga dan antar-keluarga. Meminjam istilah Ferguson (2013), maka Tagalaya dapat dikonsepsikan sebagai the rightful share. Maksudnya, Tagalaya adalah artikulasi dari praktik saling berbagi pangan (yang adalah kebutuhan mendasar) antar-tetangga bahkan komunitas.
Tagalaya adalah simbol keberlanjutan pangan dan kebudayaan orang Maluku baik secara fisik maupun imajiner. Tidak hanya digunakan oleh orang Maluku tradisional sebagai tempat penyimpanan bahan makanan secara fisik. Tetapi juga muncul dalam kelisanan lokal. Sehingga kosmologi orang Maluku yang berhubungan dengan sumber pangan dianggap sebagai Tagalaya, bahkan tidak hilang oleh modernisasi. Tagalaya mungkin dapat disebut sebagai tempat menyimpan kisah.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi