Oleh: Ardiman Kelihu (Mahasiswa S2 Fisipol UGM dan Fasilitator pada gerakan Interfaith di Maluku)
“Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana, Maluku untuk cengkih dan Banda untuk Pala” – Ungkapan para pedagang Malaka di abad ke-13 yang ditulis ulang oleh John Villiers (1981:724) dalam Trade and Society in The Banda Island in The Sixteen Century. Membicarakan Makanan, tak lengkap membicarakan rempah-rempah dan Maluku.
Rempah-Rempah
Banyak catatan sejarah telah menyebutkan Maluku sebagai penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah di Maluku tidak saja jadi penyedap cita rasa makanan, melainkan juga digunakan sebagai obat-obatan, bahkan sarana membentuk persekutuan lintas budaya maupun aktivitas ekonomi-politik dunia di masa lalu.
Dalam berbagai catatan kuno di Mesir, Tiongkok, Mesopotamia, India, Yunani, Romawi, serta Jazirah Arab, rempah-rempah mulanya hanya dipercaya sebagai panacea (obat penyembuh) dari pada pecita-rasa makanan (Rahman, 2019:349).
Atau misalnya bangsa-bangsa Arab, China, India, Eropa (Portugis, Belanda, Spanyol, Inggris, Perancis) yang datang ke Maluku untuk berdagang rempah-rempah sekaligus membentuk persekutuan-persekutuan budaya dan politik dengan sejumlah daerah dan kerajaan di Maluku (Widjojo, 2013).
Beberapa catatan klasik juga telah mencatat soal rempah-rempah di Maluku. Seperti, Kitab Romawi dari Phlinius Major, Berita Arab dari Ibnu Batutah di tahun 1350 M, kabar dari Tionghoa yang diterjemahkan oleh Grouenevelt, Catatan Ptolemeus yang ditulis pada abad ke-5 M yang menyinggung soal cengkih dan pala, kitab Pararaton Nagara Kertagama yang bahkan telah menyinggung soal Maluku, Banda, Gorom dan Seram. Atau yang paling klasik semacam sejarah Alkitab yang sudah mengisahkan soal cengkih, pala dan cendana pada abad ke-10 SM.
Belakangan dalam laporan babon setebal 904 halaman karya Thomas Stanford Raffles, The History of Java yang mengakui soal Maluku sebagai pusat rempah-rempah saat ia mengamati Jawa di masa pendudukan Inggris tahun 1811-1815. Raffles misalnya menulis pengantarnya tentang pelayaran Fransisco de Abrew dan rute perdangan rempah, yang menyinggahi pelabuhan pertama di Jawa, Agacai (kemungkinan Gresik) lalu berlayar ke Amboina (pen : Ambon), hingga salah satu perahunya hilang terbawa badai dan singgah di Pulau Banda.
Rempah-rempah di Maluku tidak sekadar cita rasa yang menggiurkan, melainkan juga menyangkut jenis makanan dan jejak politik kebudayaan yang membentuk banyak persentuhan orang Maluku dengan bangsa-bangsa besar di masa lalu. Jauh sebelum penjajahan Eropa, bahkan sejak penulis-penulis Eropa Abad Pertengahan dapat membayangkan surga tanpa harum atau rasa rempah-rempah. Seperti tulisan Wolfgang Schivelbusch dalam Taste of Paradise : A Social History of Spices, Stimulants and Intoxicants yang terbit di tahun 1980, bahwa “orang-orang Eropa telah menganggap aroma rempah-rempah merupakan nafas dari surga yang dihembuskan ke dunia manusia”.
Makanan
Secara historis, rempah-rempah di Maluku telah menyumbang jenis racikan makanan di belahan dunia manapun. Seluruh pelosok, jika ditelusuri jauh ke belakang justru telah berkenalan dengan rempah-rempah dari Maluku. Bahkan Arab, China, India, dan Eropa yang kini jadi pusat kuliner dunia, sejak lama telah berutang pada rempah-rempah yang mereka datangkan dari Maluku. Demikian juga, orang-orang Eropa juga yang harus menempuh jarak yang jauh melalui tanjung harapan di Afrika sebelum datang mengambil rempah-rempah di Maluku. Semua dari mereka turut berutang pada cengkih, pala serta aromanya yang telah melabuhkan perahu-perahunya ke bandar-bandar niaga di perairan Maluku.
Rempah-rempah dan makanan, dengan demikian adalah produk kebudayaan yang dapat menggambarkan pergulatan hidup suatu masyarakat serta keterhubungannya dengan proses sejarah di masa lalu. Makanan kerap menyembunyikan jejak interaksi sosial antar daerah yang semula tak saling tahu, lalu terhubung, lalu berkonflik atau intim. Entah itu melalui bumbu masakan, cara meracik, atau harum aromanya saat disajikan. Itulah kenapa, rempah-rempah telah mengubah selera orang Eropa di meja makan, tempat tidur dan pergaulan sosial sekaligus memberi mereka bayangan tentang tempat asa muasal rempah-rempah itu diproduksi (Budiman, 2019:16).
Makanan dan rempah-rempah menjelaskan kelas sosial, kejayaan hingga situasi-situasi paling rentan yang di alami umat manusia. Dari makanan dan rempah-rempah, kelas sosial dan situasi-situasi rentan yang bercerita tentang keterpinggiran dapat dijelaskan. Seperti ucapan Voltaire (1756) yang bercerita soal sejarah dan negara, bahwa “rempah-rempah adalah sumber konflik yang tak jarang diperebutkan”.
Dari segi kelas sosial, makanan dapat menjelaskan peran dan posisi sosial suatu masyarakat. Misalnya kedudukan masyarakat lokal dari kelas bawah yang beperan sebagai pedagang umumnya menjual makanan dan kebutuhan sehari-hari. Atau saat masa pra-kolonial di Ternate, Maluku Utara, dimana pedagang lokal nusantara yang datang dari Jawa, Malaka, dan Makassar biasanya menjual makanan, sedangkan para pedagang mancanegara dari Asia timur jauh (Arab, China dan Guzarat) menjual perlengkapan dapur dan rumah tangga yang sederhana.
Di pasar-pasar Ternate sekitar abad 14 lalu, rakyat menggelar dagangannya mulai darirempah-rempah, bahan makanan seperti sagu dan ikan, buah-buahan dari Moro, daging, hasil pandai besi seperti parang dan alat-alat pertanian, hingga beragam kebutuhan hidup lainnya. Sementara para pedagang asing dan nusantara menjual tekstil, berbagai perhiasan emas perak dan batu mulia, beras, dan alat-alat keperluan rumah tangga, seperti kaca, piring, mangkuk dari porselen dan sebagainya (Amal, 2006:35)
Demikian juga di masa kolonial Eropa. Bangsa Arab, India dan China yang dianggap menduduki kelas menengah pedagang (trader class) di suatu daerah karena peran penting mereka dalam jual beli rempah-rempah. Tempat-tempat tinggal mereka juga dipisah dari warga pribumi dan Belanda. Sementara orang-orang Belanda justru menjada warga kelas satu karena kendali mereka terhadap aktivitas ekonomi dan politik suatu daerah saat kolonialisasi sedang diperluas
Selain menjelaskan kelas sosial, makanan merupakan model pertukaran politik keseharian. Situasi-situasi politik dapat dijelaskan dengan menelusuri jenis makanan yang disajikan. Misalnya, melalui cerita kesultanan Ternate di Maluku Utara dan perundingannya dengan bangsa-bangsa Eropa. Saat Francis Drake seorang petualang besar utusan inggris yang berlayar dari Australia menuju Ternate (Maluku Utara) harus menyantap ikan bakar setelah berunding dengan Sultan Babullah justru dihidangkan makanan dari sagu, nasi dengan lauk dari kambing, ikan bubara bakar, kepiting kenari dan ayam yang dimasak dengan ramuan cengkih. Perundingan tersebut tidak saja membicarakan pembelian lima kwintal Cengkeh dari Ternate, namun juga merundingkan kepentingan politik antara Ternate, Inggris, Portugis dan Belanda. (Amal, 2006:53).
Dari segi hidangan yang disajikan, seperti ikan bakar dan nasi, umumnya masakan-masakan tersebut hanya dikonsumsi oleh kalangan atas dalam sebuah perayaan atau perundingan politik terhormat di masa lalu. Bahkan nasi di masa lalu, hanya dikonsumsi oleh masyarakat Maluku yang berasal dari kalangan kelas atas atau di hari-hari tertentu seperti Jum’at atau lebaran. Ini juga membuktikan bahwa orang Maluku sejak masa lalu telah pandai membangun praktik-praktik diplomasi politik di “meja makan”, menjamu makan para tamu secara hormat, sekaligus punya keterampilan meracik makanan dengan rempah-rempah yang berasal dari “tanah sendiri”.
Masakan di belahan dunia manapun pada hari ini, bisa dibilang juga berutang pada peran orang Maluku di masa lalu yang telah berjasa menyemai dan memperkenalkan rempah-rempah sebagai bumbu masak sekaligus obat-obatan. Tanpa itu, bisa jadi masakan-masakan di dunia Eropa, Afrika, Asia dan Arab hingga hari ini tak punya cita rasa.
Rempah-rempah di Maluku tidak skadar penyedap makanan, ia adalah jejak sejarah tentang perlawanan, sekaligus ketertindasan. Aromanya yang khas bagi makanan, memang menggiurkan dapur-dapur orang Eropa. Namun, situasi keterpinggiran dan penderitaan yang dirasakan berulang-ulang sejak masa lalu adalah situasi tragis yang menyedihkan. Bangsa-bangsa lain seolah merayakan masakan dari rempah-rempah yang disemai dari kisah penjarahan dan perbudakan di Maluku. Maluku dan rempah-rempahnya adalah masa lalu yang romantis sekaligus liptan tentang kisah-kisah tragis yang memilukan. Seolah merayakan makan malam paling lezat dari bumbu dapur yang diperoleh dari penjarahan paling sadis. Asyik sekaligus menyedihkan. Seperti, ungkapan Tania Muray Li (1992;2) daerah-daerah pinggiran—termasuk Maluku pada akhirnya, adalah situs nostalgia, keterpukauan dan ejekan sekaligus
Maluku
Dari dua bab uraian di atas, dapat dibilang bahwa, Maluku adalah dapur dunia di masa lalu, sekaligus kitab hidup tentang ramuan dan resep-resep makanan. Makanan di Maluku telah lama terintegrasi dengan dunia luar berabad-abad yang lalu. Sehingga membicarakan Maluku adalah tak bisa dilepaskan dari jejak sejarah dan perkenalan-perkenalan masyarakatnya dengan masakan dunia Eropa, Arab, Afrika India, dan China, termasuk Nusantara.
Orang Maluku tidak pergi ke Arab, Eropa, India, Malaka atau China untuk memperkenalkan rempah-rempah, resep makanan, dan ramuan obat-obatan yang mereka hasilkan di masa lalu. Sebaliknya bangsa-bangsa luar itulah yang datang ke bandar-bandar laut di perairan Maluku. Mereka datang, untuk “belajar” meracik masakannya dari rempah-rempah tersebut. Berdagang, berinteraksi, membentuk kelas sosial, menjarah, bahkan menjajah tiap jengkal daerah Maluku. Baik melalui kolonialisasi, ekspedisi dagang, missi pelayaran, maupun pembibitan cengkih dan pala seperti yang dilakukan Prancis, untuk ditanam di daerahnya sebelum akhirnya membuka jalan ke Zanzibar di timur Afrika.
Maluku dan rempah-rempah adalah setali tiga uang yang menghidupi banyak meja makan masyarakat dunia. Bahkan dengan sangat tragis ketika pertaruhannya adalah ketersingkiran, perbudakan dan pembantaian. Orang-orang Maluku telah lama menghasilkan makanan dari tanah dan airnya sendiri. Rempah-rempah yang telah mendarah daging dalam ingatan orang Maluku, tidak saja menyangkut cita rasa, melainkan juga penghormatan terhadap alam dan isinya yang sejak lama telah menyediakan rempah-rempah, bagi dunia luar. Sehingga mereka bisa merasakan cita rasa dan cara meramunya. (*)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi