Harlina Kassim, Pegiat Literasi Asal Malang di Soasiu dan Kotabaru Jayapura pada Masa Trikora 1961-1963
In Memoriam
“Surat kabar atau batjaan-batjaan djuga tidak ada, sehingga rakjat sekitar daerah ini buta sama sekali mengenai Irian Barat dan perkembangan-perkembangan lain. Aku tertarik sekali oleh segi ini. Mungkin lebih baik kalau aku menjeburkan diri dalam dunia penerangan rakjat, walaupun aku bukan pegawai penerangan. Ada baiknya kalau di Soasiu diterbitkan surat kabar, walaupun tidak harian, tjukup mingguan.”
Oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan (Penggiat Literasi, Rumah Baca “HITI-HITI HALA-HALA” Manokwari, Papua Barat/ Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan, BPIP RI Jakarta)
Pengantar
Nama Malang, khususnya Stadion Olahraga Kanjuruhan sontak menjadi perbincangan warga dunia di dunia maya. Bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lainnya. Pasalnya, perhelatan liga sepakbola antara Arema FC dan Persebaya menunai korban jiwa. Tidak tanggung-tanggung, jumlah korban yang tewas mencapai ratusan orang.
Dunia persepakbolaan dunia pun berduka. Dalam sejarah, ini adalah jumlah korban tewas terbanyak sepanjang sejarah perhelatan olahraga lapangan rumput itu. Jumlah korban, mengalahkan peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia, kecuali di Estadio Nacional Disaster, Lima, Peru. Korban jiwa di Peru yang terjadi pada 24 Mei 1964 itu mencapai 328 orang.
Bahkan, beberapa pertandingan sepakbola yang dilakukan oleh FIFA seolah mewajibkan dilaksanakannya mengheningkan cipta untuk tragedi korban di Stadion Kanjuruhan Malang itu. Solidaritas dunia olahraga muncul di berbagai belahan dunia. Mereka bersimpati dengan apa yang terjadi di Indonesia. Bahkan, Presiden Jokowi meminta agar liga itu dihentikan sementara.
Nama Malang, juga pernah mencuat ketika salah seorang warganya menerima penghargaan dari Presiden Soekarno, 1963. Dialah Harlina, sosok sukarelawati Trikora yang mendapatkan pending emas seberat 500 gram dan uang Rp 10 juta dari Presiden Soekarno. Namun, Harlina kemudian mengembalikan lagi hadiah itu dengan alasan bahwa dia berjuang murni untuk bangsa dan negara, bukan untuk mendapatkan hadiah.
Baca Juga: Menelusuri Jejak Landasan Pacu Jepang Dalam Perang Pasifik Di Wasior, Teluk Wondama*)
Harlina Kassim: Sosok Progresif Melampaui Jamannya
Namanya Sitti Rachmah, tetapi nama Harlina Kassim lebih populer dibanding nama aslinya. Harlina dilahirkan di Malang, Jawa Timur pada 24 Februari 1941. Pendidikan dasar diselesaikan di Malang pada 1953 (SD). Sedangkan pendidikan menengah dilakoni di Jakarta: 1956 (SMP) dan 1959 (SMA). Dua tahun kemudian Harlina menjadi wartawan perempuan di Ternate, kini Provinsi Maluku Utara, dan mendirikan Mingguan Karya.
Ketika Presiden Soekarno mencanangkan operasi Trikora pada 19 Desember 1961, Harlina merasa terpanggil untuk ikut dalam operasi tersebut. Berbekal kemampuan jurnalistiknya, Harlina akhirnya lolos dan siap diterjunkan di kawasan Irian Barat. Meskipun secara fisik, awalnya Harlina merasa ragu untuk bisa lolos.
Pandangan Pangdam XVI Pattimura saat itu menyatakan, bahwa senjata pena lebih tajam dari peluru.
Salah satu kemampuan Harlina lainnya adalah kemahirannya dalam berbahasa Inggris dan Belanda. Dengan modal itu, Harlina mudah berkomunikasi dengan orang-orang lain. Ia turut andil dalam membimbing masyarakat setempat untuk menguasai baca tulis, berhias, tata busana. Terkadang untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, Herlina pun mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Baca Juga: Mengenal Negara Curacao Unikameral, Tempat Asal Suami Kopral Costavina “Cosje” Ayal
Soasiu, Ibukota Sementara Irian Barat
Harlina pernah dikenal sebagai sosok perempuan yang berkeliling Indonesia. Dia telah mengelilingi Indonesia, hanya Irian Barat saja yang belum pernah dikunjungi. Oleh sebab itu, selepas mengunjungi Sumatra Utara, timbul keinginan yang kuat di hatinya untuk bisa menginjakkan kaki di provinsi paling timur itu.
Meskipun usianya masih sekitar 20 tahunan, tetapi keinginannya sungguh sangat besar. Untuk menggenapi niatnya itu, Harlina pun sampai tega meninggalkan ibunya. Seorang diri perempuan mungil itu mengarungi lautan dari Pelabuhan Surabaya ke Pelabuhan Makassar dan selanjutnya menuju Pelabuhan Ambon di Maluku. Dari sana, dia menuju ke Soasiu, kini di Maluku Utara.
Tekadnya sudah bulat. Harlina ingin tinggal dan berbakti bagi negeri melalui bidang penerangan masyarakat alias literasi. Soasiu, saat itu, adalah ibukota sementara dari Provinsi Irian Barat. Letaknya tidak jauh dari Ternate, hanya beberapa jam saja ditempuh dengan perahu kayuh. Oleh sebab itu semua kesulitan, dia lalui dengan penuh kesabaran.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi