
Oleh: Bobby Tri Stevan Sopamena (Peserta Lomba Cipta Puisi HUT ke-77 Provinsi Maluku)
sewaktu laut memberi meti
pada gunung anak-anak
dan sejarah sekarang,
di ujung loji Portugis
terebut.
tertancap mata senjata serdadu.
duduk pula kenangan
di kemiringan tanah kota amsterdam.
segala nyanyian kapatah Hila,
dongeng-dongeng para koloni
yang bertobat memekar
seharum bunga jam sembilan,
pertanda pagi.
Baca Juga: Kisah dari Madras
bahkan hari sepenuh–
tubuh takkan kehilangan matahari.
sang Kakek turun di situ.
Bidadari Berjenggot mandi
dengan tanah-tanah di situ.
tumbuh batang bunga gereja.
kerja keras para ibu,
para bapak
di ladang sederhana cengkeh
telah satu bersama biji pala.
Baca Juga: Perut Arumbae
matahari sejak panas dan terbenam,
tetua-tetua menjadi layu,
kering,
tandas.
bau di balik jendela kaca
dan renyah-renyah
suara kursi goyang menghampiri,
hati mereka diketuk.
rumah di hari minggu itu
mengetuk hati mereka.
Baca Juga: Di Timur Air Mata
nangis-nangis terharu,
merayu.
surga bumi sebagai eden lagi.
Allah kemudian menyertai mereka
selama-lama mungkin,
selamanya berserta.
lalu, jauh,
tahun-tahun mengerami masa depan,
senin sampai minggu
hari kini bertambah,
Anak Nasional.
Baca Juga: Berlayar ke Maluku
dunia seakan melihat lagi
suatu sunyi ujung matahari terbit.
anak-anak sempoyongan sejarah,
anak-anak badendang tamasya,
kita saksikan menjadi tertawa.
sebab, pujian komunitas
adalah parang menyebut pena,
harum kabong tertera
–baju seragam,
orang tua membangun doa,
“ayo anak-anak,
lari ke sekolah”
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi