LingkunganPendapat

Bisakah Pembangunan Berkelanjutan Melalui Pembangunan Rendah  Karbon dan Ekonomi Hijau?

LINGKUNGAN

Oleh: Iman Santoso (Mahasiswa Pasca Sarjana) & Gun Mardiatmoko (Prodi Manajemen Hutan, PPS Universitas Pattimura)


Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Sambil Menurunkan Emisi Karbon

Hingga tahun 2020 sebelum munculnya pandemi Covid-19, Indonesia berada pada jalur pertumbuhan yang cukup signifikan, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yang mencapai angka 5%. Tetapi pertumbuhan ekonomi tersebut dinilai tidak bisa dipertahankan secara terus-menerus karena pembangunan Indonesia yang sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam.

Penerapan pembangunan tinggi karbon, penggunaan energi dan sistem transportasi yang tidak efisien, telah berdampak pada polusi udara dan air, penyusutan luas hutan dan sumber daya alam,  hingga perubahan iklim global. Tak pelak lagi, bencana seperti kekeringan dan banjir pada musim tertentu, ditambah dalam jangka panjang terjadinya penyusutan wilayah Indonesia akibat permukaan air laut untuk setiap tahunnya terus meningkat.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendorong semangat inovasi dan kewirausahaan yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan ekonomi sirkular, supaya ada pertumbuhan ekonomi sekaligus menurunkan emisi karbon. Wujudnya adalah dengan pemberian SEED Award.

Penghargaan ini ditujukan untuk para founders dan inovator yang mampu memberikan solusi Pembangunan Rendah Karbon (PRK). Pemilihan tema PRK ini ditetapkan oleh Indonesia melalui KPPN/BAPPENAS pada Oktober 2017 lalu. Rainer Agster, Director of Operation Adelphi dalam keterangannya, Kamis (18/3/2021) mengatakan dibutuhkan usaha dan inovasi yang kolektif dalam ekosistem, dimana tidak hanya dari pemerintah, namun juga para pelaku bisnis. Karena itu diharapkan dengan program SEED Low Carbon Award 2021 dapat membantu mendorong inovasi yang tidak hanya bermanfaat secara lingkungan, namun dapat juga bermanfaat secara ekonomi, sebagai bagian dari rantai ekonomi sirkuler.

Para pemenangnya akan mendapatkan total dana senilai 163,500 Euro (sekitar Rp 2,7 miliar) yang terbagi menjadi dana dalam bentuk hibah sebesar 10.000 Euro (sekitar 170 juta rupiah). Pemenang juga akan dibantu dengan Program SEED Accelerator dan SEED Catalyser supaya bisa mengembangkan bisnisnya agar semakin menarik  dimata investor,  serta membantu pengembangan operasionalnya. Ini penting bagi Indonesia sebab telah menargetkan adanya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 41% pada 2030 dengan bantuan internasional.

Pentingnya Penerapan PRK dan Pembangunan Ekonomi hijau di Indonesia

Indonesia menunjukkan komitmen nyata pembangunan berkelanjutan melalui inisiasi kebijakan PRK (Low Carbon Development Indonesia, LCDI). LCDI bertujuan untuk mendukung: (1) iklim investasi hijau; (2) memperkuat integrasi lintas sektor dalam pengambilan keputusan serta (3) menjadikan Indonesia sebagai leader dalam PRK.

Kementerian PPN/Bappenas selaku sistem integrator dan think tank organization menyusun LCDI melalui pendekatan Holistik, Integratif, Tematik, and Spasial (HITS). Melalui pendekatan ini, potensi trade off yang terjadi selama implementasi LCDI dapat diidentifikasikan dan ditanggulangi agar target pembangunan setiap sektor tetap tercapai.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, PRK yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia memiliki elemen-elemen penting yang meliputi:

  1. Penelitian dan analisis berkualitas tinggi untuk menghasilkan kebijakan berbasis ilmiah yang akurat dan efektif;
  2. Keterlibatan dan pembangunan konstituen yang melibatkan mitra lokal, nasional dan internasional dan
  3. Komunikasi nasional dan internasional yang melibatkan para tokoh nasional dan internasional untuk selanjutnya membuka jalan bagi investasi pendukung PRK. Elemen- elemen tersebut dilaksanakan melalui kerjasama antara Kementerian PPN/Bappenas dan mitra pembangunan, yaitu New Climate Economy, Konsorsium Restore+, IIASA, WRI, World Bank, Danida, ICRAF, GIZ, GGGI, UKCCU, dll.

Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) sebagai satu-satunya lembaga wali amanat perubahan iklim di Indonesia, juga memiliki mandat dalam mendukung implementasi LCDI. Berbagai proyek yang telah berhasil dijalankan di daerah turut memberikan kontribusi nyata terhadap pencapaian target penurunan emisi GRK yang juga mendukung peningkatan pendapatan masyarakat lokal penerima manfaat program. Nah, dari contoh dan pembelajaran dari program-program serupa inilah yang perlu dipromosikan di dalam acara paralel IMF-WBG Annual Meeting di Bali agar dapat direplikasi dan didukung keberlanjutannya di masa mendatang.

Pengarusutamaan PRK menjadi penting guna mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) hingga tahun 2030. Implementasi PRK membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari Kementerian/Lembaga terkait, sektor swasta, mitra pembangunan & donor, akademisi, media hingga masyarakat umum. ICCTF sebagai trust fund untuk program-program perubahan iklim di Indonesia, memiliki kapabilitas dan kredibilitas untuk menyalurkan dana-dana hibah luar negeri ke berbagai lembaga mitra pelaksana program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang tersebar di Nusantara.

Melalui implementasi berbagai program percontohan di daerah yang memiliki pembelajaran dari praktik-praktik terbaik masyarakat lokal, diharapkan para pihak baik pemerintah daerah, kementerian/ lembaga, swasta maupun para mitra pembangunan dapat memberikan dukungan pendanaan ataupun teknis guna replikasi program serupa di daerah lainnya yang serupa permasalahan dan tantangannya.

Ini contoh konkrit adanya kegiatan yang mengombinasikan aksi rehabilitasi lahan bekas tambang dengan peningkatan pendapatan masyarakat lokal di Jawa Tengah. Program mitigasi ini berbasis lahan berupaya memperbaiki lahan kritis bekas tambang melalui penanaman kembali area bekas tambang. Untuk menyediakan nutrisi tanaman, maka masyarakat diajarkan untuk membuat pupuk cair bioslurry melalui biodigester.

Di saat yang sama, biodigester ini juga memproduksi biogas yang dapat dimanfaatkan untuk menyediakan energi bagi rumah tangga masyarakat sekitar. Dengan begitu masyarakat dapat menghemat pengeluaran sehari-hari, mendapatkan produktivitas tanaman  yang naik  signifikan  sekaligus berpartisipasi dalam mengurangi GRK.

Tantangan  Pembangunan  Berkelanjutan  Melalui  Penerapan Sistem PRK dan Pembangunan Ekonomi Hijau

Dunia kini telah berubah dengan cepat, eksistensi kehidupan manusia menghadapi sejumlah tantangan seperti dampak iklim ekstrim dan peningkatan suhu bumi antara 1,50 hingga 40 Celcius yang secara signifikan mempengaruhi produktivitas makanan dan meningkatkan risiko bencana. Selain itu, tingkat deforestasi dan degradasi lahan yang tinggi, polusi udara dari kebakaran gambut dan bahan bakar fosil akan berdampak negatif terhadap produktivitas  dan  kualitas  hidup  manusia.  Faktor-faktor  ini  pasti membuat platform PRK yang penting untuk masa depan negara.

Mempertimbangkan bahwa perubahan iklim berpotensi menghambat laju Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 20 %, Pemerintah Indonesia tengah bekerja keras untuk PRK. Telah banyak daya dan upaya terkait perencanaan PRK di Indonesia termasuk beberapa proyek contoh perencanaan pembangunan rendah karbon yang dikembangkan ICCTF bersama mitra pelaksana di daerah.

Tantangan yang dihadapi dalam mensinergikan transformasi arah pembangunan menuju LCDI tidaklah mudah. Beberapa hal seperti perencanaan lintas sektor pembangunan berkelanjutan yang terintegrasi, perubahan paradigma yang mempertentangkan pembangunan versus lingkungan, memastikan kolaborasi dan komitmen penuh dari pemerintah, institusi keuangan dan sektor swasta, merupakan tantangan-tantangan yang perlu ditaklukan.

Menurut Prof. Bambang Brodjonegoro, Menteri PPN/BAPPENAS dalam Pidato Kunci di acara Low Carbon Development and Green Economy (LCDGE) di Nusa Dua, Bali (11/10/2018): “Sebagai bentuk nyata komitmen dari implementasi LCDI ini, Kementerian PPN/BAPPENAS akan mengarusutamakan laporan LCDI tentang kerangka kerja  PRK  ke  dalam  Rencana  Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Ini akan menjadi rencana PRK pertama dalam sejarah Indonesia”.

Pentingnya Kolaborasi Antara Mitra Pembangunan Dalam Penerapan Sistem PRK dan Pembangunan Ekonomi Hijau

Pembangunan   berkelanjutan   melalui   penerapan   sistem   PRK dan pembangunan ekonomi hijau dapat dicapai jika adanya hubungan kerja sama yang baik atau kolaborasi antara para mitra pembangunan dalam saling mensinergikan rencana sistem pembangunan menjadi satu konsep bersama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pertemuan Tingkat Tinggi dan Kolaborasi Para Pihak Wujudkan PRK & Ekonomi Hijau Indonesia yang diselenggarakan dalam Acara Low Carbon Development and Green Economy di Bali terselenggara melalui koordinasi antara ICCTF dengan Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/ Bappenas, dan kolaborasi bersama dengan UK Climate Change Unit (UKCCU), Global Green Growth Institute (GGGI), New Climate Economy (NCE), dan World Resource Institute (WRI) yang mendapat tanggapan dan respon positif dari peserta yang hadir.

Acara tersebut juga diisi oleh tokoh-tokoh penting yang merupakan tokoh utama mitra-mitra dalam pembangunan Indonesia, seperti Boediono (Wapres selama masa jabatan kedua dari pemerintahan SBY, Mari Elka Pangestu (mantan Menteri Perdagangan), Ngozi Okonjo-Iweala (Co-chair of the Global Commission on the Economy and Climate), Paul Polman (CEO Unilever dan Co-chair of the Global Commission on the Economy and Climate), Lord Nicholas Stern (LCDI Commissioners dan Co-chair of the Global Commission on the Economy and Climate), dll.

“Peringatan terjadinya pemanasan global telah muncul. Saat ini tepat bagi dunia untuk mengatasi perubahan iklim sekaligus mengurangi kemiskinan. ICCTF telah menunjukkan kegiatan dalam konteks PRK dan ekonomi inklusif. Indonesia dalam hal ini merupakan champion pelaksanaan LCDI diharapkan dapat mencapai target PRK dalam waktu dekat. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan LCDI, pihak swasta juga perlu dilibatkan. Ke depan, kita harus memajukan green project,” ungkap Frank Rijsberman. Adanya komitmen kuat dari Pemerintah Indonesia dan kolaborasi hebat semua mitra pembangunannya untuk mencapai PRK dan pertumbuhan ekonomi hijau merupakan kunci sukses masa depan pembangunan berkelanjutan Indonesia.

Perencanaan PRK Indonesia pertama kali digagas dalam United Nation Conference on Climate Change (COP 23 UNFCCC) tahun 2017 di Bonn, Jerman. “Sudah saatnya bagi Indonesia untuk menjalankan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mampu menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Jadi, Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menjadi yang terdepan dalam pembangunan berkelanjutan dengan menginisiasi Perencanaan PRK dan bersiap untuk mengimplementasikan mekanisme green financing,’’ ungkap Prof. Bambang Brodjonegoro dalam pidato pembuka seminar dan diskusi panel tingkat tinggi “Low Carbon Development and Green Economy’’ di Nusa Dua, Bali (11/10/2018).

Pentingnya Koordinasi Antara Pemerintah dan Seluruh Stakeholder dalam PRK dan Pembangunan Ekonomi Hijau Untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan

Menurut Arifin Rudiyanto Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam BAPPENAS selaku Ketua MWA ICCTF, “Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya membangun dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi melalui jalur pembangunan hijau. Melalui Inisiatif PRK dan Ekonomi Hijau Indonesia, pembangunan Indonesia telah bergerak menuju ke arah hal tersebut. Sudah saatnya untuk menempatkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menjadi pelopor sekaligus pemenang pembangunan  berkelanjutan  dengan  memulai  PRK  Indonesia  dan  Ekonomi  Hijau.  Ini  akan  menjadi jantung  dari  rencana pembangunan Indonesia, sekarang dan di masa depan.” Selain itu, “PRK tidak hanya untuk menurunkan kemiskinan, namun juga meningkatkan kualitas hidup. Contohnya, perubahan iklim memiliki risiko, dan bagaimana PRK dapat mengurangi risiko tersebut, seperti pada bidang kesehatan melalui penurunan polusi udara dan air.”

Arah PRK tersebut selanjutnya didefinisikan lebih rinci dalam kebijakan jangka panjang, yang memungkinkan bagi investor untuk melakukan kalkulasi terhadap investasi dan keuntungan yang akan diperoleh dalam jangka panjang. Jika disimak, sebagian proyek PRK memerlukan biaya tinggi. Namun pemerintah harus mendorong hal ini teristimewa melalui BUMN dengan memperhatikan banyak aspek dari sisi peraturan yang ada.

Membangun Konsep Berpikir Dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan

Dunia terus berubah. Perubahan yang terjadi di berbagai arena itu umumnya berjalan dinamis. Salah satunya adalah perubahan dalam pendekatan pembangunan. Sampai beberapa dekade lalu, orientasi pembangunan yang bertumpu pada business as usual masih sangat dominan. Pendekatan ini membawa konsekuensi serius pada over-exploitative terhadap sumber daya alam untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Dampak dari pendekatan pembangunan semacam itu merupakan ancaman terhadap keberlanjutan ekonomi, produksi, konsumsi dan keberlanjutan kehidupan manusia itu sendiri. Para ahli dan pengambil kebijakan kemudian mulai menyadari kekeliruan pendekatan yang sudah digunakan di sejak awal era modern ini.  Karena itu, mereka  mulai  memikirkan  keberlanjutan  kehidupan  manusia, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan bumi itu sendiri.

Kesadaran ini melahirkan perubahan pendekatan, paradigma, dan filosofi baru dalam pembangunan. Muncullah berbagai istilah dalam pembangunan, seperti pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pembangunan hijau (green development), green economy, sustainable production and consumption, dan sebagainya.

Di balik semua istilah itu, ada semangat dan upaya yang dilakukan oleh para ahli untuk menemukan pendekatan, paradigma, dan filosofi baru dalam pembangunan. Bahwa seiring dengan perjalanan waktu, seiring dengan kemajuan peradaban manusia, dan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk bumi, maka pendekatan, paradigma, dan filosofi lama perlu ditransformasikan kepada pendekatan, paradigma, dan filosofi baru dalam pembangunan.

Berbagai pihak, termasuk lembaga-lembaga internasional dan lembaga- lembaga keuangan internasional (IFIs—International Finance Institutions) juga mulai menyadari kekeliruannya selama ini. Mereka kemudian berlomba-lomba merumuskan pendekatan baru dalam pembangunan untuk memastikan adanya keseimbangan dan keberlanjutan.

Kemudian lahirlah sejumlah pendekatan dan dibuatlah standar-standar yang bertujuan untuk memastikan adanya keseimbangan dan keberlanjutan dalam pembangunan, khususnya dalam investasi yang mempunyai dampak pada lingkungan hidup dan masyarakat, seperti IFC Performance Standards, ISO, RSPO, ISPO, SVLK, GRI sustainability reporting, dll. Intinya adalah berkembangnya sebuah semangat baru untuk memastikan bahwa praktik business as usual perlu ditransformasikan kepada praktik keberlanjutan dalam pembangunan, baik di tingkat global maupun di semua negara di dunia. Oleh karena itu, transformasi  ini  perlu dilakukan di tingkat  kebijakan tertinggi  sebuah negara.

PRK  dan Pembangunan Ekonomi Hijau (PEH) merupakan sebuah pendekatan yang mempunyai paradigma sama dan beririsan dengan pendekatan-pendekatan yang sudah disebutkan di atas: pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pembangunan hijau (green development), green economy, sustainable production and consumption,dll. Istilah dan konsep PRK dirumuskan untuk—secara khusus—memperkuat dukungan global dan lokal terhadap upaya adaptasi dan mitigasi prubahan iklim. Dengan menggunakan istilah “low carbon”, maka semua proses pembangunan diharapkan bisa menekan dan menurunkan produksi karbon (emisi CO2) yang berlebihan dari proses produksi dan konsumsi sehingga bisa mengurangi dampak pada perubahan iklim.

PRK dan PEH menjadi lebih strategis karena bisa menyasar semua sektor pembangunan yang berkontribusi pada produksi karbon. Semua aktivitas kehidupan manusia menghasilkan karbon (CO2), bahkan saat kita bernapas pun, juga menghasilkan karbon. Hal yang menjadi perhatian dari PRK dan PEH adalah bagaimana mengendalikan kegiatan ekonomi, produksi, dan konsumsi yang menghasilkan karbon berlebihan dalam kegiatan pembangunan.

Kebijakan PRK dan PEH ini secara resmi sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Dengan demikian, kebijakan PRK dan PEH sudah menjadi sebuah kebijakan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan di Indonesia.

Di Indonesia, PRK dan PEH merupakan transformasi dari kebijakan RAN/RAD-GRK atau Rencana Aksi Nasional/Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca, yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011. Melihat  perkembangan  yang  sangat  menggembirakan  dalam pendekatan pembangunan di Indonesia, yang mana pemerintah sudah mulai mentransformasikan pendekatan pembangunan ke arah pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau, baik dalam tahap perencanaan maupun implementasi pembangunan, maka tantangannya adalah bagaimana publik atau masyarakat atau parapihak dapat terlibat dengan baik.

Tantangan ini sebenarnya gampang dijawab mengingat Indonesia—secara prosedural—merupakan negara demokratis, yang mana proses perumusan berbagai kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah di semua tingkatan, membuka ruang adanya partisipasi masyarakat. Dalam kondisi ini, partisipasi publik tidak sulit dilakukan. Berbeda misalnya saat Indonesia masih berada di era Orde Baru, dimana partisipasi publik merupakan sesuatu yang mustahil dilakukan.

Logika dasar dari urgensi partisipasi publik ini adalah bahwa semakin besar partisipasi publik maka semakin bagus sebuah kebijakan publik itu dihasilkan, dan semakin kuat institusionalisasi kebijakan tersebut dalam masyarakat. Sebaliknya, kebijakan publik yang dibuat dengan partisipasi masyarakat rendah, akan semakin berpotensi melahirkan kebijakan yang parsial dan eksklusif di satu sisi dan melemahkan proses institusionalisasi kebijakan publik dalam masyarakat di sisi lain.

Karena berkaitan dengan kebijakan spesifik,  yakni rendah karbon,  maka penulis menggunakan istilah “green engagement (GE)” untuk menyebutkan kerangka partisipasi publik dalam PRK dan PEH ini. Dengan demikian, GE ini merupakan sebuah framework partisipasi publik untuk memperkuat kebijakan PRK. Bagi penulis, framework ini tetap mengacu pada konsep partisipasi publik yang dikembangkan oleh International Association for Public Participation (IAP2).

Issue pemanasan global dan perubahan iklim secara global merupakan tantangan yang perlu dijawab melalui aksi nyata. Untuk itu maka peran pemerintah dalam menginisiasi penyusunan strategi kebijakan nasional penanggulangan perubahan iklim agar menetapkan PRK dan PEH sebagai sebuah strategi sentral bangsa Indonesia dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan secara sistematis dan tertanggung jawab.

Penutup

Sisa sumber daya alam yang ada sekarang tidak sepantasnya dikuras semaksimal mungkin untuk generasi kita saja tetapi harus semakin arif dikelola menjadi sumber daya alam yang berkelanjutan agar bisa dinikmati juga oleh generasi penerus kita. Mari kita semua mulai melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan Melalui PRK dan PEH untuk kemakmuran dan kesejahteraan kita maupun generasi penerus. Semoga!

Screen Shot 2021 07 14 at 21.19.48
Iman Santoso, Mahasiswa Pasca Sarjana.(Foto: Dok. Pribadi)

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button