
Air itu sumber kehidupan. Carita kali ini akan menggambarkan bagaimana pentingnya air. Bagaimana bedanya katong dolo-dolo bisa dapa air bersih, dengan sekarang, yang serba praktis: tinggal putar keran atau tinggal beli air galon.
Dolo, kira-kira tahun 70an sampe awal 80an, saat beta masih SD, untuk bisa minum air bersih, harus berbasah-basah. Bukan saja basah oleh air. Tapi juga basah karena karingat. Bayangkan saja. Katong yang tinggal di Air Putri harus bajalang kaki ke kali Wainitu, untuk ambil air minum. Jaraknya mungkin lebih 700 meter.
Kali Wainitu ini berada di kampung Wainitu, sebelah selatan Air Putri. Era itu, kali atau Air Wainitu jadi semacam pusat aktivitas yang berkaitan dengan air. Di situ katong bisa lihat orang mandi, orang bacuci, orang ambil air, sampai orang bikin kacang tumbu (tauge) juga ada.
Kali Wainitu ini boleh dibilang terbagi atas 3 area. Sisi kanan, suasananya agak mistis. Jarang beta lihat orang mandi atau berenang di situ. Airnya terlihat agak kehijauan efek bayangan pohon-pohon tua yang rimbun di sekitarnya. Beberapa batang pohon yang usianya mungkin sudah puluhan tahun, menjuntai di atasnya.
Di bagian tengah, yang lebih luas, merupakan sentral kegiatan. Setiap hari, kita disuguhi pemandangan khas. Di situ ibu-ibu mencuci di pinggir, dengan setengah badannya terendam dalam air, sambil tangannya mengucek pakaian di atas bebatuan. Biasanya, untuk pakaian berwarna putih, tidak langsung dibilas, Melainkan ditaburi dengan blau, lalu dijemur, istilahnya dikura, beberapa saat di atas rerumputan atau batu-batu di sekitar kali. Sesudah itu baru dicuci hingga bersih. Di bagian tengah ini, orang-orang mandi atau lebih tepatnya berenang menikmati segarnya air.
Peti-peti berisi kacang hijau, bahan baku pembuatan kacang tumbu, ditaruh pada beberapa lokasi. Pada bagian dalam peti-peti itu tampak daun pisang untuk melindungi kacang yang dalam beberapa hari akan berubah wujudnya jadi tauge. Peti-peti itu disusun rapi, dirapatkan pada dinding-dinding batu. Jadi, orang yang mencuci maupun yang mandi tidak merasa terganggu.
Ke arah kiri, orang-orang antre bergantian untuk mandi. Kalau di bagian tengah, mandinya langsung menyelam atau cukup sesekali berendam maka di sisi kiri ini, orang yang mandi harus menggunakan timba (gayung). Dong timba air dengan hati-hati agar airnya tidak keruh. Begitu juga saat dong basabong badan, busa sabunnya diusahakan langsung mengalir. Saling pengertian sangat tampak di situ.
Mata air kali Wainitu ini lancar, keluar dari sela-sela batu karang hitam yang kokoh. Di sisi kiri inilah katong biasa datang ambil air minum. Waktu pengambilan air minum ini harus subuh-subuh atau dini hari. Biasanya, air ditimba lalu dimasukan ke dalam wadah yang dibawa. Bisa jerigen, ember atau buah kalabasa, yang isinya sudah dibuang dan dibersihkan. Beta lihat, ada beberapa cara orang angkat air. Ada yang barembeng (menjinjing), ada yang pikul, ada juga yang bakeku (menjunjung) air.
Jadi, kalau pi ambil air minum, biasanya katong sekalian su mandi di sana. Atau kalau pigi mandi, pulangnya sekalian bawa air. Karena jarak yang cukup jauh, sementara jerigen yang dijinjing berisi air, mau tidak mau harus berhenti beberapa kali. Ukuran jerigennya lumayan berat, yakni 10 liter. Setiap kali mengangkat jerigen eh air, tangan dipastikan berubah merah, panas, dan kapalan.
Beta ada ingat satu kejadian. Suatu hari, beta lagi main deng beberapa teman. Kebanyakan anak perempuan yang seng jauh umur dengan beta. Seng tahu sapa yang kemudian ajak pigi mandi ke Wainitu. Sapa seng mau, pi mandi siang-siang, main-main air di kali, saat Ramadan. Ini cara paling asyik siasati dahaga hehehe.
Sampai di Wainitu, langsung pi menuju ke arah tengah, sondor (tanpa) ganti baju lebih dolo. Langsung mandi, berendam, berenang deng baju yang ada di badan. Katong molo (menyelam) di bagian yang seng talalu dalam. Katong molo sambil main tangkap kaki di dalam air. Kalau su rasa kedinginan, katong brenti sejenak. Naik ke pinggir, memeluk lutut sambil menahan gigil.
Jika pohon ketapang yang ada di sekitar kali lagi berbuah, katong ambil akang pung buah untuk dimakan. Buah ketapang ini punya tempurung yang dilindungi serabut. Buah itu dipukul-pukul dengan batu sampe pecah. Saat buah ketapangnya pecah, tak bisa langsung dimakan. Untuk bisa makan isinya yang berwarna putih, katong harus cungkil pake peniti. Diambil pelan-pelan agar tidak patah dan jatuh. Rasa buah ketapang ini mirip kenari. Ada manis-manisnya hehehe.
Meski katong mandi di kali Wainitu dan ambil air minum di sana, sebenarnya untuk kebutuhan hari-hari katong juga pake air sumur. Tepat di muka katong pung rumah, ada satu sumur yang banyak juga dimanfaatkan oleh katong pung birman (tetangga). Sumur pung dalam kira-kira 5 sampe 6 meter.
Sebelum disemen, sumur ini tadinya hanya berdinding papan. Pada waktu-waktu tertentu, katong cuci sumur dan kuras airnya. Dinding sumur yang berlumut disikat, batu-batu di dasar sumur diatur kembali agar mata airnya keluar lancar. Tetangga yang tidak sempat ikut bantu cuci sumur biasanya bermurah hati menyumbang kue-kue, pisang goreng atau membuatkan aer panas (teh). Kebersamaan dan saling pengertian begitu kuat.
Sumur ini pernah bikin katong satu rumah sport jantong. Suatu siang, katong pung ade parampuan kacil main di luar. Namanya Rosmini (Mini), umurnya mungkin baru 3 tahun waktu itu. Dia badang talanjang, seng pake baju. Maklum siang itu panas. Dia yang tadinya, terlihat bajalan di sekitar sumur, tiba-tiba seng kelihatan. Katong cari dia. Begitu arahkan mata ke dasar sumur, langsung kaget. Ya Tuhaaan. Katong pung ade terlihat di dalam sumur. Badannya meringkuk. Untung air sumur lagi dangkal. Mini selamat. Setelah itu, sumur disemen, dengan mulut sumur dibikin agak tinggi.
Urusan angkat air minum di Wainitu tak lagi dilakukan sejak “sumber air su dekat”, meminjam bunyi iklan produk air mineral. Memang masih angkat air, tapi seng jauh lagi. Karena sudah ada air ledeng atau air PAM. Tapi air ledeng tersebut seng langsung ke rumah-rumah. Mula-mula, pipa ledeng itu dipasang di belakang rumahnya om Randa, yang posisi rumahnya di pinggir jalan.
Air ledeng kala itu hanya mengalir pada waktu-waktu tertentu. Sehingga, katong musti hapal atau inga waktu-waktu krusial itu. Begitu tau air akan mengalir, katong su tunggu, antre. Bahkan ada yang datang bawa ember atau jerigen sebelum air bajalang. Antrean ember dan jerigen ini lumayan panjang, bisa lebih 10 meter. Semua yang antre begitu sabar menunggu giliran. Begitu yang di depan sudah terisi air, yang di belakang maju satu-satu. Sialnya, pas tiba giliran, airnya mati. Astaga.
Makassar, 21 April 2021
Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar, kelahiran Ambon)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi