PendapatGaya Hidup

Berjalan Dalam Bayang-bayang Covid-19 (12)

KETIKA KEMATIAN MENGINTAI

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-12 dari tulisan bersambungnya.

Obat-obat dari rumah sakit ternyata tidak dapat menurunkan demam dan panas tinggi. Masih 38 derajat. Tenggorokan masih tetap sakit. Makanan masih terasa hambar.

Pagi itu masih sama dengan pagi-pagi sebelumnya sejak tanggal 22 Maret 2020. Kondisi belum berubah meski rumah sakit sudah menyatakan kondisi saya baik-baik saja. Kelelahan luar biasa terasa. Hasil diagnosa rumah sakit sedikit melepaskan saya dari ketegangan dan tekanan psikologi. Namun, tidak melepaskan saya dari kelemahan fisik.

Tanggal 26 Maret 2020 saya melaporkan kondisi dan hasil pemeriksaan pada tenaga kesehatan yang bertugas berkomunikasi dengan saya selama ini. “Selamat pagi bapak/ibu, saya mau melaporkan bahwa dua hari ini suhu saya masih 38 derajat. Saya sudah memeriksakan diri di rumah sakit. Setelah minum obat, panasnya turun. Pagi ini panas naik lagi,” jelas saya. Demam dan panas ini seperti melekat pada diri saya, tidak mau keluar.

“Baik, kami akan observasi lagi, tetapi isolasi mandiri di rumah dulu selama 14 hari,” kata tenaga kesehatan. Sejak pulang dari Amerika Serikat, saya tidak pergi dari rumah. Kegiatan saya hanya berpusat di dalam rumah dan berjemur di depan rumah. Itupun ketika lihat tetangga akan lewat, saya langsung mengambil jarak minimal lima meter atau cepat-cepat masuk ke rumah. Isolasi mandiri saya lakukan dengan cukup ketat.

Isolasi dan jaga jarak agak longgar sedikit setelah diagnosa rumah sakit tanggal 25 Maret itu.Hasil pemeriksaan dari rumah sakit kami rayakan kecil-kecilan, sendiri, di rumah. Makan pisang goreng. Saya memang suka sekali pisang goreng. Ponakan-ponakan di rumah sangat memahami kecintaan pada pisang goreng ini. “Om kita bikin pisang goreng yah, “ kata Danny. Kami makan pisang goreng sambil ngobrol di depan TV. Jarak saya dan Danny kurang dari satu meter.

Hasil pemeriksaan rumah sakit menjadi jebakan di rumah kami. Indonesia memang belum siap menghadapi pandemi Covid-19 waktu itu Meskipun sudah lebih lega dan perayaan kecil-kecilan, hari itu, nafas saya terasa lebih berat. Retno sudah merasa nafas saya berat ketika kami bercerita melalui telpon. Katanya suara saya di telpon terasa lebih lambat dan nafas terdengar berat.

Sesak nafas ga sekarang. Koq nafasnya agak berat yah?” tanya Retno. Saya sendiri tidak merasa nafas terlalu berat. Kelihatannya orang yang memiliki gangguan nafas sering tidak merasakan itu langsung. Ternyata orang lain yang mendengar, meski hanya lewat telpon, merasa nafas saya berat.

Sebenarnya Retno sudah sangat yakin bahwa saya terinfeksi Covid-19. Dia berusaha tidak frontal menyampaikan dugaannya. Hasil print laboratorium dan foto x-ray dari rumah sakit saya dan Danny fotokan. Kami kirim ke Retno.

“Sebenarnya ada yang aneh di paru-paru,” kata Retno dalam hatinya. Dia tahu saya tidak merokok dan sangat rutin berolahraga. Sebelum pindah olahraga ke renang, saya sering bermain sepakbola. Ketika kuliah S1 di Salatiga saya sering bermain di pertandingan antarkampung di Jawa Tengah. Saya masih sering bermain sepakbola dengan teman-teman mahasiswa di kampus sebelum pandemi.

Screen Shot 2021 03 16 at 19.54.30
Penulis yang sering bermain sepak bola, berpose mengenakan kostum tim sepak bola favoritnya, Persipura.(Foto: Dok. Penulis)

“Coba periksa lagi ke rumah sakit. Kayaknya ada yang ga beres dengan paru-paru,” desak Retno. Saya masih enggan kembali ke rumah sakit. Membayangkan bertemu dengan tenaga medis dan alat-alat pemeriksa itu sudah menakutkan.

“Ga apa-apa itu. Hanya periksa saja. Nanti kasih tahu kalau mulai sesak nafas berat,” usul Retno pagi itu. Kami berdiskusi cukup panjang tentang periksa ke rumah sakit ini. “Rumah sakit kan sudah periksa dan hasilnya negatif. Mengapa harus ke rumah sakit lagi?” saya tetap berpegang pada hasil diagnosa rumah sakit.

Hasil pemeriksaan rumah sakit, saya rasa, membenarkan asumsi pribadi soal jetlag dan capek. Memang jetlag ketika kembali dari perjalanan lintas benua sering menyebabkan tidak nyaman dan sulit tidur. Indikasi yang sudah dibaca Retno sebenarnya sudah sangat jelas. Tanda-tanda orang terinfeksi Covid-19: panas tinggi, demam, batuk, sakit tenggorokan, hilang penciuman dan sesak nafas sudah terlihat semua.

Alasan perjalanan jauh, jetlag dan hasil pemeriksaan dari rumah sakit menjadi selubung indikasi. Saya pakai sebagai tameng. Ketakutan terhadap Covid-19 dan semua implikasinya juga menjadi alasan kuat yang tidak muncul dalam diskusi dengan Retno. “Kita liat, kalau sampai sore ga ada perubahan, aku balik ke rumah sakit,” kata saya menutup diskusi dengan Retno pagi itu.

Saya memang waktu itu terperangkap dalam ketakutan terhadap kematian, dihakimi dan dianggap tidak berarti. Kematian memisahkan dari keluarga. Membayangkan wajah Mama dan kakak-adik, senyum Retno yang mengandung anak kami yang ketiga. Baru dua bulan usia kandungan. Mengingat Jessica baru akan berumur 11 tahun dan membayangkan Jenny baru memasukin usia delapan tahun. Tidak sanggup saya. Bagaimana jika mereka tumbuh tanpa ayah.

Semua pikiran itu memenuhi kepala saya. Angka kematian pasien Covid-19 yang tinggi menjadi ketakutan global waktu itu. Termasuk takut terpisah dari orang-orang yang dicintai.

Baca Juga:

Ketakutan untuk dihakimi juga bagian dari drama pandemi ini. Beberapa pemuka agama mengganggap orang terinfeksi Covid-19 sebagai kutukan. “Virus adalah sejata Allah memerangi orang-orang yang memusuhi orang percaya,” begitu kata seorang telelama (penghkhotbah agama di TV) Indonesia melalui “telemisi.”

Saya menyebutkan telemisi karena TV atau channel youtube ini khusus dibangun untuk misi agama. Telelama melalui telemisi ini menggunakan alasan ilahi untuk membangun stigma baru atas orang terinfeksi Covid-19.

Beberapa gereja fundamentalis Kristen di Amerika berteriak Covid-19 adalah kutukan. Orang yang rajin beribadah dan percaya sungguh-sungguh pada Tuhan tidak akan terinfeksi, menurut mereka. “Jangan menggunakan masker sebab masker menutupi wajah Allah,” kata beberapa partai yang mendukung Trump di Amerika Serikat.

Kelompok fundamentalis ini menganggap wajah manusia adalah wajah Allah (imago Dei). Jadi, masker menutup cahaya dari yang ilahi , katanya. Mereka merasa sebagai juru bicara Tuhan dan menempel suara Tuhan pada lidah sendiri.

Ketakutan dianggap tidak berarti juga membayangi terduga Covid-19. Pasien Covid-19 pada Maret 2020, belum mendapat perhatian secara spiritual. Protokol penanganan pasien Covid-19 dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) sama sekali tidak memasukan elemen agama. Mungkin karena para tokoh yang merumuskan protokol ini hidup dalam konteks tembok pemisah agama dan negara. Namun, tidak di Indonesia. Agama sangat berpengaruh dalam kehidupan publik.

Beberapa pengambilan paksa mayat keluarga yang terinfeksi Covid-19 terjadi karena alasan agama. “Saudara kami tidak didoakan secara agama. Jadi, harus kami ambil dan doakan sebelum dimakamkan,” demikian komentar keluarga ketika ditanya mengapa nekat mengambil jenazah terinfeksi Covid-19.

Tanggal 26 Maret, malam, saya merasa kesulitan bernafas. Baru pertama kali dalam hidup saya merasa maut begitu dekat. “Saya mulai sulit bernafas kayaknya,” kata saya waktu telpon Retno malam itu. “Coba tidur pakai bantal tinggi yah,” usul Retno.

Setelah berdoa bersama Retno malam itu saya berusaha tidur. Mati-matian saya berusaha tidur, sama sekali tidak bisa tidur. Bolak-balik badan, ambil minuman hangat, pakai minyak kayu putih tetap tidak bisa tidur malam itu.

study 862994 1920
Ilustrasi berdoa.(Foto: Free-Photos/Pixabay)

“Mama beta takut,” kata saya memulai pembicaraan dengan Mama saya. Pukul dua pagi waktu Kaki Merbabu dan empat pagi waktu Ambon. Mama sedang berada di rumah Kakak saya. Beberapa kali jika Kakak saya dan suaminya berangkat untuk tugas di luar Pulau Ambon, Mama selalu datang dari Uraur-Hunitetu di Pulau Seram, untuk menemani ponakan saya. Mama memang pagi-pagi sudah bangun.

Jam tiga atau empat pagi Mama biasanya mulai berdoa. Doanya cukup panjang. Semua anak dan cucunya di Indonesia, Amerika Serikat dan Jepang didoakan oleh Mama. “Takut kenapa nyong?” tanya Mama di ujung telpon. “Kayaknya maut mengintai terus Mama,” jawab saya dengan kekalutan yang luar biasa. “Rasanya seperti sudah akan dijemput,” lanjut saya.

Mama menguatkan saya dengan doanya. Kami berdoa bersama pagi itu. Mama mengingatkan untuk jangan takut. “Berdoa terus ee nyong. Mama bantu doa terus dari sini,” kata Mama menutup telpon. Kami bicara lewat telpon sampai jam lima pagi itu.

Setelah telpon Retno dan Mama malam itu, hati lebih lega, tetapi nafas tetap berat. Saya merasa malam itu akan menjadi akhir dari perjalanan hidup saya. Nafas semakin berat, oksigen rasanya sangat sedikit di otak. Udara yang ditarik ke dalam paru-paru rasanya tidak masuk secara maksimal. Kayaknya ada yang menahan udara sehingga tidak bisa masuk ke paru-paru.

Mata berusaha saya jaga untuk tidak tidur sama sekali. Saya takut kalau tidur, akan tidur terus, “bablas.” Malam tanggal 26 Maret 2020 itu sangat berat. Batas antara hidup dan mati sangat tipis.

(bersambung besok)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button