
Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-9 dari tulisan bersambungnya.
Sejak sampai di rumah, saya tidak kemana-mana. Kegiatan setiap hari hanya rumah dan sedikiti berjemur di luar. Tidak ada rasa sakit apapun, kecuali jetlag karena perbedaan waktu 12 jam Salatiga – New York.
Jam lima pagi saya baru bisa tidur. Selama itu hanya bisa nonton TV dan coba membaca buku. Sulit sekali bisa terlelap meskipun sudah berusaha bermesaran dengan batal. Selain jetlag, pesan-pesan singkat di WA dan SMS yang terus berdatangan sangat mengganggu pikiran.
Saya meminta Mbah Saniyem yang bekerja di rumah untuk tidak masuk. “Mbah, ga usah masuk dulu yah. Nanti setelah 14 hari Mbah baru ke sini,” saya berusaha menjaga protokol isolasi 14 hari.
Biasanya Mbah akan datang pagi-pagi dan pulang sore. Kadang-kadang Mbah juga tidur bareng anak-anak. Sudah hampir lima tahun sejak Juni 2015, Mbah bersama dengan kami. Kami tidak menganggap beliau sebagai pembantu, tetapi sebagai orang tua.
Jangan ada yang mampir dulu ke rumah. Teman-teman dan mahasiswa yang mau ke rumah untuk beberapa kepentingan, saya batalkan. Beberapa mahasiswa yang mendesak ingin ke rumah untuk tandatangan skripsi dan tesis atau bimbingan disertasi, saya batalkan. Jika ditubuh saya telah bersarang virus Covid-19, jangan sampai menyebar pada orang lain. Sebaiknya tidak perlu kontak dengan orang lain. Para ponakan, termasuk Danny, di rumah pun saya minta jaga jarak.

Kegiatan dilakukan secara online melalui WA atau Zoom. Tanggal 21 Maret saya masih memberikan kuliah online di CRCS UGM, bersama Mbak Irma, melalui Zoom. Biasanya jika tidak ada pandemi, saya sudah berangkat pagi ke Yogya untuk memberikan kuliah. Sore kembali lagi. Sudah hampir dua tahun sejak 2018 saya diundang mengajar di almamater S2 saya ini.
Sekarang tidak perlu ke Yogya. Kuliah masih mengandalkan Zoom gratis. Zoom jenis ini akan mati dalam 45 menit. Setelah masuk lagi dengan account email yang lain. Asal bisa jalan kuliah waktu, sudah sangat bagus.
Kelas membahas bagaimana perlunya relasi lintas agama. Cara beragama yang tidak cepat marah menanggapi berbagai gejolak agama.
Tujuan perkuliahan hari itu adalah dinamika masyarakat lokal dalam membangun relasi lintas agama. Kebetulan tulisan saya yang dimuat di Annual Review of The Sociology of Religion Volume 10, 2019, dibahas di kelas ini.
Pembicaraan sangat ramai seputar peran masyarakat dalam membangun relasi-relasi beragama yang lebih tulus. Inisiatif masyarakat ini berlawanan dengan model dialog lintas agama oleh pemerintah. Model pemerintah justru dalam banyak hal melayani kepentingan agama terkuat pada satu wilayah.
Kuliah selesai, saya harus menuju poliklinik, fasilitas kesehatan (faskes) ini hanya berjarak 100 meter dari rumah yang kami tempati. Saya belum merasakan apapun. Hanya perlu datang ke faskes untuk melapor. Begitu protokol kesehatan. Saya masuk kategori “orang dalam pengawasan” (ODP) menurut ketegori pemerintah waktu itu. Semua orang yang pulang dari luar negeri atau daerah rawan Covid-19, masuk ODP. Harus melapor ke faskes, dapat vitamin dan isolasi mandiri 14 hari.
Baca Juga:
- Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19 (8)
- Berjalan dalam Bayang-bayang-Covid-19 (7)
- Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19 (6)
Saya ambil masker dan berjalan menuju poliklinik. Banyak orang mengantri waktu itu. Semua menggunakan masker. Saya mencari tempat duduk yang akan sepi. Giner, dosen fakultas sains dan matematika, adik saya dari masohi, duduk di kursi depan saya. “Bu baru datang?” kata Giner memulai percakapan. Kami bercerita tentang keadaan Salatiga waktu itu. Bagaimana kondisi kampus dan teman-teman yang lama tidak bertemu. Saya tetap menjaga masker tidak turun ketika berbicara dengan Giner.
Nomor antiran saya dipanggil. Saya masuk ke dalam ruang dokter. Berusaha menjaga jarak dengan dokter yang bertugas hari ini. “Dokter, saya baru kembali dari Amerika Serikat. Jadi sesuai prosedur protokol kesehatan, saya harus melapor,” begitu kata saya menjelaskan alasan bertemu dokter.
Dokter menggunakan masker bedah, sama seperti saya. “Sudah berapa lama sampai Indonesia,” tanya dokter. Dokter bertanya lagi tentang bagaimana kondisi. Apa yang dirasakan. “Saya merasa baik-baik saja dokter. Tidak ada masalah sama sekali,” jawab saya.
Saya memang belum merasakan sakit apapun waktu itu. Tidak ada obat yang diberikan, kecuali vitamin. Selama perjalan pergi – pulang Amerika, Retno sudah melengkapi saya dengan vitamin. “Biar kondisi kesehatan tidak drop,” kata Retno waktu menjelaskan mengapa saya harus membawa vitamin ke Amerika. Vitamin yang diberikan oleh dokter di fasilitas kesehatan, sama dengan vitamin dari Retno. Hanya karena prosedur protokol kesehatan saya harus melapor ke faskes.
Saya berusaha berolahraga sendiri di rumah. Mulai dari sit up sampai tarian sajojo. Kebetulan waktu masih menjadi mahasiswa pada Asrama Mahasiswa di Jalan Kartini 11a (Askarseba) saya bisa sajojo. Tahun 1990-an akhir sampai 2000-an tarian sajojo ini seperti kurikulum wajib mahasiswa baru di Asrama. Harus tahu sajojo supaya bisa melantai waktu pesta asrama. Salatiga itu kota kecil, persis di segitiga Jogya, Solo dan Semarang (Joglosemar). Jarang ada hiburan seperti kota besar. Kami menciptakan hiburan sendiri. Setiap tahun ada tiga sampai empat pesta asrama.
Setiap pagi saya berjemur di luar. Waktu itu ada teori sinar matahari dapat mematikan virus Covid-19. Berita dan analisa di Amerika Serikat mengatakan, musim panas Covid-19 akan menurun. “Covid-19 akan menurun. Bahkan hilang di musim panas 2020,” begitu berita yang saya dengar dalam siaran TV di Amerika. Indonesia negara tropis, tidak perlu tunggu musim panas seperti Amerika. Setiap hari panas. Saya berjemur di depan rumah, sambil duduk-duduk di pembatas jalan. Jam 9 – 11, saya duduk membaca buku atau berselanjar dengan HP di sana.
Setiap kali ada tetangga mau lewat, saya akan masuk atau mengambil jarak jauh dari mereka. “Kalau saya bawa virus, jangan sampai ada tetangga yang terinfeksi,” begitu pikir saya. Beberapa tentangga yang lewat menyapa. Sekedar “Hi dan Bye.” Unggah-ungguh atau tatakrama bertetangga. Saya tetap berusaha menyapa dari jarak minimal lima meter. Unggah-ungguh perlu dijaga, tetapi kesehatan orang lain wajib diperhatikan. Saya akan merasa sangat bersalah jika tetangga ikut terinfeksi.

Danny, Olin dan Mey di rumah saya minta jaga jarak. Apalagi tanggal 22 Maret saya mulai merasakan batuk dan flu. Saya pikir, mungkin ini karena capek perjalanan jauh. Biasanya ketika pulang perjalanan jauh, Mbah akan memijit atau mengerok badan saya. Asal sudah Mbah pijit dan kerok saya sudah sembuh. Kali ini Mbah tidak saya perbolekan datang ke rumah.
Mey sempat memijit kaki. Kami sama-sama menggunakan masker waktu kaki saya dipijit Mey. Mey dan Olin adalah anak adik dan kakak saya yang melanjutkan kuliah di Salatiga. Mey masih belajar di program Bahasa Inggris dan Olin sudah lulus dari Keperawatan.
Batuk, flu, pegal dan mulai sakit tenggorakan. Saya telpon Retno. “ Koq batuk dan sakit tenggorokan yah?” Retno sebenarnya mulai panik, tetapi berusaha tenang. Dia mulai menduga saya terinfeksi Covid-19. Belum sepenuhnya yakin. Saya masih merasa ini karena capek perjalanan. Saya telpon juga Mbak Irma, “Mbakyu saya agak batuk, flu dan sakit tenggorokan. Mbak Irma dosen senior UIN Yogya dan CRCS UGM ini sudah seperti kakak saya sendiri. Kami pernah mengajar bersama di Austria tahun 2017 dan sejak 2018 mengajar bersama di CRCS UGM.
Mama, kakak-kakak dan adik saya tahu kalau segala sesuatu baik-baik saja sampai hari itu. Makanan masakan Olin, Mey dan Danny rasanya tidak enak sekali. “Koq makanan masakan anak-anak di rumah ga enak. Ga ada rasa,” tanya saya pada Retno satu waktu.
Saya ternyata sudah tidak bisa mencium atau merasakan apapun. Makanan yang disediakan di meja rasanya sangat hambar. Saya masih belum dapat informasi bahwa salah satu ciri terinfeksi Covid-19 adalah tidak dapat merasakan apapun.
Beta mati rasa. Begitu kalau pakai judul lagu. Mati rasa karena virus Covid-19 menyerang tenggorakan dan hidung yang mematikan penciuman dan rasa di lidah. Saya sama sekali belum menyadari terinfeksi karena masih mengganggap ini semua capek biasa. Retno sebenarnya sudah mulai stress. Padahal dia sedang mengandung dua bulan, anak kami yang ketiga waktu itu. Retno juga tidak ingin membuat saya stres, jika tahu kemungkinan terinfeksi Covid-19.
(bersambung besok)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi