Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-11 dari tulisan bersambungnya.
Berat sekali rasanya menuju rumah sakit. Ketidakjelasan informasi, angka kematian yang tinggi dan stigma terhadap pasien Covid-19 seperti menjadi tembok antara saya dan rumah sakit. Tanggal 23 hingga 25 Maret 2020 masyarakat belum mendapat informasi jelas bagaimana proses pemeriksaan jika terindikasi infeksi Covid-19. Belum semua rumah sakit memiliki kemampuan memeriksa kemungkinan terinfeksi Covid-19.
Ketidaksiapan alat-alat kesehatan dan pengetahuan tenaga medis terhadap Covid-19 masih sangat rendah. Hanya 25 persen pasien yang berhasil selamat dari Covid pada bulan Maret itu.
Duka bagi banyak orang. Teror bagi msyarakat global. Namun, beberapa kelompok menganggap Covid-19 adalah kutukan. Hanya orang berdosa dan tidak sembahyang yang teinfeksi Covid-19, kata beberapa tokoh agama seperti yang saya baca di media.
Tanggal 25 Maret jam 19.00, saya menuju rumah sakit. Danny sudah menemukan mana rumah sakit rujukan. Saya pernah baca di surat kabar lokal, beberapa orang asing pernah dirawat di rumah sakit itu. Expatriat ini diduga terinfeksi Covid-19, ternyata bukan.
Sebelum berangkat, saya masih berharap hanya sakit flu dan demam biasa, bukan Covid-19. Mobil kecil milik Danny dipacu menuju rumah sakit. Semua jendela mobil dibuka. Hanya 15 menit sudah tiba di rumah sakit.
Kami berhenti di depan Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit rujukan nasional di Kaki Merbabu. “Ada keperluan apa?” tanya Satpam yang berjaga di depan ruang UGD. “Saya mau periksa karena baru kembali dari Amerika Serikat,” kata saya menjelaskan maksud kedatangan. Mendengar dari Amerika dan menuju UGD di era pandemi, Satpam mundur beberapa langkah. Terkejut dan agak gugup. “Sebentar-sebentar,” kata Satpam sambil berlari ke dalam ruangan UGD memanggil tenaga kesehatan.
Oleh tenaga kesehatan yang masih memakai alat pelindung diri (APD) sangat minim, hanya masker bedah dan setengah gaun, saya diarahkan menuju ruang periksa.
Beberapa orang yang akan diperiksa sudah ada di dalam ruangan itu. Di dalam ruang selebar kira-kira 4 x 5 meter , tiga tempat tidur pemeriksaan dijejer. “Tunggu di sini yah,” kata tenaga kesehatan tadi sambil masuk ke dalam ruang khusus tenaga medis.
Panas badan saya masih tetap tinggi, 38 – 39 derajat. Tenggorokan masih sakit, badan pegal, dan demam. Sangat tidak nyaman. Menunggu dalam keadaan seperti ini tidak mengenakan. Rasanya seperti mau pingsan.
Saya berusaha tidur di tempat tidur ruang UGD, tetap saja tidak bisa membaringkan badan. Danny tidak boleh masuk, hanya menunggu di tempat parkir. HP saya tinggalkan di mobil, tidak bisa menghubungi siapapun. Sama sekali tidak bisa menghubungi Retno untuk sekadar mengabarkan kondisi.
45 menit setelah menunggu di ruang UGD, tenaga medis datang. Darah saya diambil, dada dan perut diperiksa dengan stetoskop. Saya diminta memeriksaan paru-paru ke dalam ruang rontgen. Masuk ke dalam ruang UGD, belok sana-sini, sampai di ruang rontgen.
Bangun rumah sakit ini cukup tua. Rumah sakit ini berdiri tahun 1930-an, masih jaman kolonialisasi. Ruangan rontgen juga terlihat cukup tua. Horor juga pikir saya. “Tolong berdiri tegak dan tarik nafas yah Mas,” kata tenaga kesehatan sambil mempersiapkan foto rontgen. Satu menit, selesai.
Saya dan beberapa pasien yang diterima di ruang khusus pemeriksaan Covid-19 tidak mendapat pemeriksaan khusus Covid-19. Belum ada pemeriksaan PCR atau polymerase chain reaction malam itu di rumah sakit. Stock PCR belum banyak di Indonesia dan tidak tersedia secara merata di semua rumah sakit. Rapid test juga belum sampai di Kaki Merbabu. Rapid test masih dipakai melayani kepentingan politisi dan keluarganya di Jakarta. Belum diperuntukkan bagi rakyat kecil seperti saya.
Dua jam menunggu setelah pemeriksaan di ruang UGD, tenaga medis datang menyampaikan hasil. “Tidak apa-apa Mas. Ini bukan Covid-19. Mungkin hanya capek karena perjalanan jauh,” kata tenaga medis menjelaskan kondisi saya. “Hasil pemeriksaan darah dan paru-paru menunjukkan hasil baik. Tidak ada tanda terinfeksi Covid-19,” lanjut tenaga medis ini dengan ramah.
Wajah saya berseri-seri mendengar hasil luar biasa itu. “Terimakasih banyak. Saya lega. Ini bukan Covid-19,” timpal saya dengan senyum bahagia. “Sudah bisa pulang ke rumah. Ini obat anti-demam dan vitamin lain supaya bisa cepat sembuh,” jelas tenaga medis tadi sambil mengantar saya keluar UGD.
Bisa pulang ke rumah. Rasanya seperti lepas dari beban sangat berat, ketika kaki saya melangkah keluar dari gedung UGD. Lepas dari momok virus yang sudah mengambil banyak jiwa, memutuskan jutaan rantai solidaritas dan memenjarakan masyarakat dalam belenggu stigma. Mungkin kalau ada yang memperhatikan, saya berjingkrak-jingkrak sepertinya waktu itu, saking senangnya. Ternyata benar hanya capek setelah perjalanan panjang, pikir saya waktu itu.
Baca Juga:
- Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19 (10)
- Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19 (9)
- Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19 (8)
Saya buru-buru menuju mobil Danny di tempat parkir. “Odang, syukur, bukan Covid-19. Hanya capek biasa kata tenaga medis,” jelas saya dengan wajah berbinar-binar. Senangnya melebihi senang dipanggil Doctor Lattu untuk pertama kali oleh chair/promotor utama komite disertasi waktu mengumumkan saya lulus S3. Lulus S3 juga menyenangkan karena beban pendidikan berkurang. Kalau tidak luluspun masih tetap hidup, meskipun beberapa teman kuliah meninggal selama proses S3. Namun, kali ini persoalan hidup dan mati. Tidak terjangkit Covid-19 berarti lolos dari intaian maut karena pandemi ini.
“Syukurlah Om. Ayo sudah kita pulang,” kata Danny dengan senyum senang. Kali ini kaca mobil sudah tidak lagi diturunkan. Masker saya dan Danny sudah kami buka. Retno saya telpon untuk mengabarkan berita gembira ini. Bukan Covid-19 jadi agak bebas pikir saya.
Mobil kecil Danny menuruni bukit-bukit kota menuju perumahan tempat tinggal kami. Lampu-lampu terlihat lebih cerah. Suasana hati sangat bahagia dalam perjalanan itu. Kami bercerita banyak tentang proses pemeriksaan tadi. Karena ketidaktahuan informasi, saya merasa semua tes Covid-19 sudah dilakukan. Belum ada pengetahuan cukup tentang PCR waktu itu.
Mobil memasuki perumahan, melewati pos satpam dan parkir di garasi di bawah pohon alpukat. Saya masuk lewat pintu belakang rumah. “Odang tolong buka pintu belakang yah, biar tidak masuk ke dalam rumah karena baru dari rumah sakit,” ujar saya.
Dalam perjalanan tadi, saya sudah meminta Olin dan Mey untuk memasak air panas. Biar bisa mandi air panas waktu sampai di rumah. Kota ini memang dingin, apalagi saya masih demam. Kadang-kadang pada musim kemarau di bulan Mei sampai Juli suhu kota ini bisa mencapai 12 derajat. Bulan-bulan itu memang sedang musim dingin di Australian dan sekitarnya.
Jadi kota di kaki Gunung Merbabu ini ikut tersapu hawa dingin. Bulan Maret memang tidak begitu dingin, hanya 19 sampai 21 derajat di malam hari. Mandi air dingin di kota ini pada pukul 11 malam bukan ide bagus.
Pakaian dari rumah sakit saya buka dan masukan ke mesin cuci. Kebetulan mesin cuci ada di belakang rumah. Olin dan Mey saya suruh masuk ke dalam kamar masing-masing. Semua pakaian saya buka supaya masuk rumah tidak bawa virus dari rumah sakit. Air panas sudah disiapkan Olin dan Mey di kamar mandi sebelum mereka masuk ke kamar.
Malam itu, air panas serasa segar sekali. Rasanya seperti air panas membersihkan beban yang melekat pada tubuh sejak 22 Maret yang lalu. Guyuran air hangat dari gayung tidak hanya menghangatkan kulit, tetapi juga hati yang tertekan sebelumnya.
Saya dan Danny belum sempat makan malam ketika kami berangkat ke rumah sakit. Malam itu makan yang disediakan terasa hambar di lidah, tetapi enak di hati. Saya masih pikir para ponakan yang menyiapkan makan ini tidak bisa memasak. Enak di hati mengalahkan rasa di lidah.
Setelah mandi, pakai minyak kayuputih saya berusaha tidur. Badan masih terasa tidak nyaman karena panas masih tinggi, demam belum berhenti, tenggorokan masih sakit, letih tidak berunjung dan nafas mulai terasa berat.
Diagnosa atau hasil dari rumah sakit ini menjadi obat tidur malam itu. Saya merasa tes darah dan paru-paru ini sudah menjadi hasil akhir. Tidak terinfeksi Covid-19. Hasil pemeriksaan malam itu menjadi pembenaran pada perasaan saya sejak mulai merasa demam dan panas tinggi. Ini capek biasa karena perjalanan jauh. Mungkin kurang beristirahat sehingga kondisi tubuh menurun.
Bagi orang awam seperti saya, pada bulan Maret 2020 itu, hasil pemeriksaan ini sudah valid. Saya belum menyadari ketidaklengkapan hasil tes. Setidaknya, pikiran dan hati terbebas, meskipun hanya kesadaran palsu.
(bersambung besok)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi