Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-10 dari tulisan bersambungnya.
Tanggal 24 Maret 2020, batuk, letih, sakit tenggorokan dan rasa hambar makanan belum juga turun. Malah, sejak pagi saya sudah mulai merasa demam dan panas tinggi. Angka suhu di thermometer menunjukkan 39 derajat. Tinggi sekali. Demam sudah mulai akrab dengan saya. “Jika ada demam, pasti ada infeksi,” begitu kata Retno menjelaskan melalui telpon waktu saya bilang panas tinggi. Dia masih saja tidak berani bilang kemungkinan besar saya terinfeksi Covid-19.
Saya mulai sangat kuatir hari itu. Kekuatiran itu saya luapkan dengan memposting, di media sosial lagu, “Pass Me Not, O Gentle Savior. Hear my humble cry” (mampirlah dengar doaku). Rasanya berat sekali menjalani hidup hari-hari itu. “Sudah tes kesehatan belum? Ada warga yang nanya,” pesan WA baru dari agen negara seperti tekanan 200 kilogram di dada. Sangat berat. Pesan ini memang bermaksud menjalankan tugas negara dan masyarakat, tetapi dibaca oleh ODP, seperti saya, sebagai memvonis. Empati tidak ditemukan dalam pesan ini.
Belum lagi WA dari petugas kesehatan. “Sedang berada di mana? Apakah ada keluhan hari ini? Batuk, pilek, sakit tenggorokan atau sesak napas?” bunyi WA petugas tadi. Petugas kesehatan memang sedang menjalankan tugas.
Namun, oleh ODP, dengan begitu banyak tekanan, pesan ini dibaca sebagai memata-matai. Maksudnya sangat baik, tetapi dimensi rasa dalam pendekatan ini sama sekali tidak hadir. Menjalankan tugas tanpa empati menjadi tekanan lain bagi orang terduga infeksi Covid-19.
Tulisan di WA memang tidak dapat mengekspresi apa yang dimaksud. Sama sekali tidak ada telpon dari petugas-petugas negara waktu itu. Semua dilakukan dengan mengetik menggunakan WA.
Jika komunikasi dilakukan melalui telepon, ODP seperti saya, dapat menceritakan apa yang dirasakan. Petugas-petugas negara waktu itu belum memahami bahwa Covid-19 tidak hanya menyerang tubuh, tetapi juga merusakkan pikiran dan hati.
Dimensi kemanusiaan waktu itu belum dikedepankan. Indonesia masih belajar menghadapi pandemi Covid-19. Mungkin juga karena ODP di kota tempat kami tinggal waktu itu sangat banyak. Tidak mungkin ditelpon satu persatu. Bisa jadi, petugas-petugas negara tidak dibekali dengan kemampuan konseling untuk membantu ODP.
Orang terduga infeksi Covid-19 juga perlu didengarkan. Negara waktu itu masih sibuk mencari obat untuk menyembuhkan virus yang menyerang tubuh. Belum memikirkan aspek perasaan terduga infeksi Covid-19. Perasaan ini ikut memengaruhi imun tubuh dan mematikan.
Indonesia memang negara yang sangat setia dengan rigiditas bidang ilmu. Regim liniaritas atau belajar satu ilmu saja memang menjadi pilihan pendidikan di Indonesia.
Orang hanya belajar satu bidang ilmu secara sangat mendalam. Belajar bidang lain yang bukan bidangnya dianggap tidak penting. Tenaga kesehatan lebih banyak belajar membunuh virus dan penyakit lain di dalam tubuh pasien. Namun, belum menekankan aspek psikosomatis ketika berhadapan dengan orang sakit. Hati yang gembira adalah obat. Virus Covid-19 ini tidak hanya menyerang tubuh, tetapi juga pikiran dan hati.
Pendekatan-pendekatan interdisiplin dalam menghadapi kehidupan tidak begitu ditonjolkan. Alumni perguruan tinggi terasing, teralienasi, dari kehidupan.
Lulusan perguruan tinggi, termasuk ilmu kesehatan, hanya diajarkan untuk menjadi ahli di bidangnya. Tidak diajarkan menjadi sarjana. Dalam konsep sarjana, lulusan perguruan tinggi memiliki aspek tinggi ilmu dan tinggi pengabdian. Bekerja bukan hanya soal menjalankan tugas dan mengaplikasi ilmu, tetapi mengabdi kepada kemanusiaan.
Tekanan virus dan tekanan sosial membuat kondisi kesehatan saya terus memburuk. Virus dan stigma dalam pesan-pesan pendek ini sama-sama berpotensi membunuh. “Panas dan demam ini koq makin parah yah. Padahal setiap hari sudah minum obat turun panas. Masih sama, Belum ada perubahan. Kenapa yah?” tanya saya pada Retno lewat telpon. Tanggal 24 Maret itu kondisi saya sudah mulai parah. Tidur malam sudah sangat sulit. Kali ini, bukan karena jetlag, tetapi tekanan psikologis dan sesak nafas.
Saya hanya bisa tidur tiga – empat jam malam itu. Kekuatiran semakin memuncak. Dugaan terinfeksi Covid-19 juga makin kuat. “Ke rumah sakit saja,” kata Retno lewat telpon.
Baca Juga:
- Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19 (9)
- Berjalan dalam Bayang-bayang Covid-19 (8)
- Berjalan dalam Bayang-bayang-Covid-19 (7)
Meskipun semakin yakin terinfeksi Covid-19, saya belum berani memeriksakan diri ke rumah sakit. “ Angka infeksi Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Hari ini, total orang terinfeksi sebanyak 500 orang. Hanya 100 orang berhasil sembuh, 100 orang masih dirawat, sedangkan 300 orang meninggal dunia,” begitu berita di salah satu TV nasional. Kemungkinan selamat kecil sekali pada 23 – 24 Maret itu. Terinfeksi Covid-19 berarti akhir hidup. Kesan yang saya tangkap dari berita begitu. Bisa selamat hanya karena mujizat.
Kondisi saya makin menurun tanggal 25 Maret. “Ayo ke rumah sakit saja Om,” kata Danny. Belum berani kata saya. Danny yang melihat kondisi saya makin menurun, meminta istrinya, Pendeta di Solo untuk berdoa. Dengan masker lengkap dan jaga jarak, Ibu Pendeta berdoa sore hari. Kondisi saya cukup buruk waktu itu. Nafas mulai sesak. Doa Ibu Pendeta ini menguatkan saya. “Periksa ke rumah sakit segera Ka,” setelah selesai berdoa, Ibu Pendeta menyarankan begitu.
Sangat berat memang. Tekanan secara psikologis karena angka kematian begitu tinggi. Doa dan saran Ibu Pendeta ini menguatkan niat untuk menuju rumah sakit. Kebetulan saya baru mendengar kesaksian orang yang saya kenal, sembuh dari Covid-19.
“Saya bersyukur bisa sembuh. Dokter dan perawat di rumah sakit tempat saya dirawat memotivasi saya untuk meningkatkan imun tubuh,” begitu hasil wawancaranya dengan stasiun TV nasional. Setelah dua minggu dirawat, beliau sembuh.
Kesembuhan beliau ini menjadi motivasi luar biasa bagi saya. Beliau bisa sembuh, saya juga pasti bisa, begitu pikir saya memotivasi diri sendiri. Apalagi beliau lebih tua sekitar lima tahun dari saya. Dian dan Rahul juga memotivasi bahwa orang di bawah 50 tahun memiliki peluang sembuh lebih besar. “Kalaupun Om terinfeksi, kemungkinan Om sembuh sangat tinggi. Rahul sudah cek statistik. Angka sembuh orang 40 tahunan seperti Om sangat tinggi,” Dian mencoba memotivasi saya untuk berani periksa di rumah sakit.
Cerita kesembuhan beliau, motivasi dari Retno, doa dari Ibu Pendeta dan masukan scientifik dari Dian-Rahul seperti memberikan saya energi besar untuk keluar dari kekuatiran saya. “Pass me not o gentle Savior, hear my humble cry. Jika orang lain Tuhan sembuhkan. Pasti saya juga disembuhkan,” begitu doa dan keyakinan saya. Saya jadi ingat lagu “mampirlah dengar doaku” yang baru dipost di account media sosial. Cerita kesembuhan beliau seperti petunjuk bagi saya untuk segera menuju rumah sakit.
Danny mulai mencari informasi sana-sini tentang fasilitas kesehatan di kota ini. Faskes mana yang dapat melakukan tes Covid-19. “Tante, kami bawa Om ke rumah sakit yah,” Danny mulai berkoordinasi dengan Retno untuk segera memeriksakan kondisi saya. Entah bagaimana caranya Danny berkoordinasi sampai menemukan rumah sakit yang tepat untuk pemeriksaan.
Di kota ini memang terdapat banyak rumah sakit. Kota kecil dengan cukup banyak fasilitas kesehatan. Tempat saya mengajar juga memiliki rumah sakit, tetapi karena satu dan lain hal membuat rumah sakit itu mangkrak. Sayang sekali. Padahal rumah sakit ini dapat menjadi rujukan bagi masyarakat akademiknya yang sakit. Jadi, Danny mencari informasi ke beberapa orang tentang rumah sakit yang tepat.
Saya semakin termotivasi untuk memeriksakan kesehatan ke rumah sakit. Secara fisik saya tidak punya masalah. Apalagi saya rutin berenang. Seminggu dua kali pasti saya berenang selama 30 – 45 menit di kolam, tanpa berhenti. Teman-teman saya pernah bercanda. Saya sering berenang koq tidak kunjung kurus. “Ikan paus berenang setiap detik. Pernah lihat ikan paus kurus?” seperti itu jawaban saya membalas candaan para sahabat. Renang rutin ini membuat saya merasa tubuh cukup kuat melawan Covid-19, jika bersarang di badan.
Dukungan komunitas, keluarga, berita-berita positif, spiritualitas dan motivasi diri menjadi kunci saya berani melawan. Pasrah bukan pilihan. Mencoba jalan-jalan alternatif dan berserah adalah cara terbaik. Meskipun stigma, tekanan sosial dan pola kerjakan agen-agen negara, tanpa empati, menurunkan imun, dukungan orang-orang dekat menjadi jalan keluar. Pandemi Covid-19 tidak bisa dilawan sendiri. Orang terduga infeksi, kontak erat atau pasien positif tidak mampu melawan sendiri. Virus ini hanya dapat dilawan dengan solidaritas sosial yang kuat. Virus, stigma dan relasi tanpa empati sama-sama dapat menjadi senjata pembunuh yang efektif.
(bersambung hari Senin)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi