Pendapat

Anisah Usman, Puisi, dan “Pappasangta” RRI Makassar

Para pendongeng dari komunitas DONGKEL (Dongeng Keliling), yang biasa mendongeng di hadapan anak-anak, kami ajak mendongeng di studio dalam rangka Hari Anak Nasional (HAN), 23 Juli 2017. Kami mengundang Chaeruddin Hakim, membawakan sastra tutur Makassar, berupa Kelong Appatinro Anak (syair menidurkan anak berirama royong moderen).

Kami juga membuat strategi branding agar orang meminati acara ini. Kami membuat tahapan, mula-mula yang membaca puisi hanya teman-teman komunitas Makkareso, lalu orang lain di luar komunitas. Teman-teman di Makkareso hanya men-trigger saja supaya mereka yang menyukai puisi mau datang membaca puisi, supaya mereka yang punya komunitas mau mengajak anggotanya dan jejaring komunitasnya hadir membaca puisi, seperti dilakukan Ruang Abstrak Literasi, Pecandu Aksara, Komunitas Menulis Lego-Lego, Rumah Teduh, Kata Kerja, dan IPASS (Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra) Sulawesi Selatan. Masih ada lagi Forum Lingkar Pena (FLP), UKM Seni Budaya eSA UIN Alauddin, dan Kelas Literasi Paradigma Institute (KLPI). Pada bagian ini, kami mengandalkan perkawanan sesama penulis, juga pertemanan di jagat maya.

Tahapan berikutnya, kami mengundang penyair senior dan orang-orang yang sudah ‘punya nama’ untuk memperkuat eksistensi dan legitimasi acara ini. Sebut di antaranya Nawir Sulthan, Dr. Syahriar Tato, Yudhistira Sukatanya, Bahar Merdu, Sri Rahmi, Idwar Anwar, Muhammad Amir Jaya, Andhika Mappasomba, dan Mariati Atkah. Cara ini terbukti efektif. Kami tak lagi kekurangan pembaca puisi.

Sejak periode Maret hingga Agustus 2017, tercatat lebih dari 80 pembaca puisi. Mereka yang pernah hadir, masih bersedia datang lagi, sedangkan yang belum malah bertanya-tanya, kapan mereka diundang datang membaca puisi di acara “Pappasangta”. Rata-rata dalam semalam ada 4-6 pembaca puisi. Bahkan pernah semalam hadir 12 pembaca puisi.

“Pappasangta” boleh dikata menjadi forum silaturahmi para penyair, sekaligus momen pengikat kebersamaan. Pernah dalam suatu malam, guru SMA Negeri 2 Makassar membaca puisi bersama belasan muridnya, ibu dan anak membaca puisi bersama, juga satu keluarga terdiri dari ayah-ibu-anak membaca puisi secara bergantian.

Forum membaca puisi ini juga berhasil mempertemukan beberapa sahabat yang belasan tahun tak lagi bersua. Belum lagi pertemuan ‘tak sengaja’ antara pembaca dan penulis buku yang sebelumnya hanya mengenal karya-karya sastra dan puisinya.

Proses pembelajaran mengelola “Pappasangta” tampaknya mulai membuahkan hasil. Paling tidak, RRI mendapat pendengar baru, terutama dari kalangan generasi muda. Ini bisa dipastikan, karena sejumlah tamu yang diundang mengaku baru kali itu datang ke RRI, dan siaran mereka didengar oleh keluarganya di rumah.

Program “Pappasangta” juga mendapat publikasi yang cukup luas di media sosial, lantaran sebelum, selama, dan setelah acara, biasanya berseliweran postingan status dan foto-foto para pembaca puisi malam itu.

Itulah success story mengelola program acara “Pappasangta” RRI Pro4 Makassar. Meski begitu, usia saya mengelola acara ini dengan sentuhan para penyair yang sarat nilai pesan, tak sampai setahun. Tentu kami tak berpuas diri dengan capaian ini.

Memang butuh daya tahan untuk mengembangkan acara ini sebagaimana idealnya. Padahal ada rencana mengembangkan acara ini dalam bentuk siaran off air dari sekolah-sekolah, kampus-kampus dan komunitas-komunitas yang dikemas lebih variatif dan lebih atraktif, atau siaran live streaming tanpa mengurangi kekuatan theater of mind  yang justru merupakan karakteristik siaran radio.

Kami sesungguhnya hanya berikhtiar menerjemahkan makna RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik, yang telah berkomitmen menjadi rumah rakyat Indonesia. Apa yang kami lakukan ini bagian dari gerakan literasi, untuk menumbuhkan semangat menulis dan membaca puisi, yang akarnya sesungguhnya dapat dilacak dalam jejak sastra dan kebudayaan Nusantara.

Kami berharap, program acara “Pappasangta” akan menjadi bagian dari spirit budaya Bugis dan Makassar yang tak menguap dan tak tergerus oleh zaman, yang jejaknya bisa mendatangkan pembelajaran, bagi dunia sastra, dunia literasi, dan dunia penyiaran. (*)

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Rusdin Tompo
Penulis, Rusdin Tompo.(Foto: Dokumentasi Pribadi)

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Previous page 1 2 3

Berita Serupa

Back to top button